Petaka dalam Seporsi Sate Hindia Belanda

Finariyah
Bachelor of Humanities, Diponegoro University
Konten dari Pengguna
21 Juni 2024 13:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Finariyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sate (Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Sate (Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sate tidak hanya menjadi olahan yang populer ketika hari raya Idul Adha tiba. Makanan satu ini menjadi salah satu kuliner kebanggaan Indonesia yang bahkan telah disorot orang asing. Ketenarannya membuatnya sangat mudah ditemukan di semua sudut kota di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Makanan yang asalnya masih simpang siur dari Arab atau mungkin China ini menemukan titik kepopulerannya pada abad ke-19. “Sate mulai menjadi populer pada abad ke-19 ketika banyak imigran Arab terutama dari Hadramaut di Hindia Belanda,” tulis Fadrik Aziz Firdausi dalam tulisannya “Menusuk Sejarah Sate” di Historia.id.
Sate tidak pernah absen dari pusat-pusat keramaian. Dalam laporan Bataviaasch nieuwsblad 21 Januari 1928, semerbak harumnya sate turut mengisi pasar malam di Lapangan Glodok. Acara besar ini berhasil menarik banyak pengunjung baik pribumi maupun orang Eropa hingga mereka harus berjalan selangkah demi selangkah karena berdesak-desakan.
Semenjak menjadi makanan populer, penjual sate mulai menjamur di mana-mana. Tidak jarang beberapa penjual melakukan aksi-aksi nakalnya demi kelancaran bisnis yang semakin bersaing ketat.
ADVERTISEMENT
Sate Bangkai Kuda Tanah Abang
Salah satu pusat kuliner di Batavia adalah Tanah Abang. Berbagai penjual menjajakan dagangannya di lingkungan ini. Lagi-lagi penjual sate turut serta dalam pusat keramaian ini.
Namun berbeda dengan kekhasan dari sate lainnya, sate di Tanah Abang dikenal dengan rasanya yang kurang sedap. Usut punya usut penjual sate kambing di tempat ini kerap menggunakan daging kuda yang tidak sehat atau bahkan sudah menjadi bangkai.
Dilansir De Nieuwe Vorstenlanden 24 Januari 1927, polisi mendapat laporan dari warga setempat bahwa ada seorang penjual sate yang menjajakan sate dari daging bangkai kuda. Pada suatu malam Minggu mantri bersama polisi Karet melakukan penyelidikan. Ditemukan seorang Wahab di rumahnya yang diam-diam sedang menyembelih kuda yang sakit. Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa kuda tersebut terkena penyakit berbahaya yang dapat membahayakan manusia jika dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
Sang Wahab tersebut kemudian diintrogasi dan mengaku ia membeli kuda tersebut dari sesamanya di Tanah Abang. Penyelidikan kembali dilakukan dan ditemukan pemilik kuda sebelumnya tersebut juga sedang menyembelih kuda yang terkena penyakit menular di rumahnya.
Kasus Penggelapan Sate
Tidak semua penjual sate menjual sate dari hasil olahannya sendiri. Mulai dari daging hingga bumbu yang dibawanya berasal dari seorang pemasok. Pemasok sate memberikan sejumlah tusuk sate kepada para penjual sate untuk dijajakan.
Semenjak sate menjadi kuliner yang populer, semakin banyak orang yang menjual sate di Hindia Belanda. Para penjual saling bersaing untuk menjual dagangannya. Para penjual yang mendapat pasokan sate dari pemasok memiliki target jual beberapa tusuk sate layaknya seorang sales.
ADVERTISEMENT
Dilansir De Locomotief 22 Januari 1929, seorang penjual sate harus dipenjara selama satu bulan setelah melakukan penggelapan 120 tusuk sate milik pemasok sate. Seorang pemasok melaporkan kasus tersebut kepada landrechter.
Terdakwa menjelaskan dihadapan hakim bahwa ia diminta untuk menjual 120 tusuk sate dari pemasok. Namun target itu hanya mampu ia penuhi 50%. Sate hanya mampu terjual 60 tusuk dan 60 tusuk lainnya ia makan. Sayangnya uang hasil penjualan tersebut tidak pernah sampai ke tangan pemasok sate. Penggelapan sate ini menyebabkan penjual sate harus dipenjara selama satu bulan lamanya.
Hingga kini sate masih menjadi kuliner favorit masyarakat Indonesia. Kuliner ini terus berkembang hingga muncul berbagai macam variasi baru.