Konten dari Pengguna

Media Sosial Tempat Belajar

Fiderman Gori
Penulis Merupakan Penggiat Literasi Sosial
5 Oktober 2023 15:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fiderman Gori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Media Sosial (Magnus Mueller/Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Media Sosial (Magnus Mueller/Pexels.com)
ADVERTISEMENT
Saya mungkin bukan satu-satunya orang yang pernah menggunakan media sosial penuh waktu. Saya memprediksi di era kecanggihan media sosial seperti saat ini, banyak orang yang sadar atau tidak juga merasakan hal yang sama seperti saya.
ADVERTISEMENT
Alih-alih kecanggihan media sosial dewasa ini banyak mengubah segala lini kehidupan kita, mulai dari interaksi sosial, cara mendapatkan informasi hingga pilihan lain yang didapat secara instan/cepat.
Realitas perubahan sosial ini tak perlu dikutuk dengan sikap pesimisme, apa lagi di tengah hiruk-pikuk perkembangan digitalisasi saat ini. Toh, kita mendapatkan banyak keuntungan darinya, meski disisi lain dengan segala konsekuensi kita terima.
Agar tulisan ini memiliki makna dan tidak diasumsikan basa-basi oleh pembaca yang budiman, saya menceritakan sedikit pengalaman saat pertama kali memiliki smartphone atau yang dikenal “ponsel pintar” yang sekarang ini Anda akses untuk membaca tulisan ini. Smartphone kala itu saya memiliki ketika saya pertama duduk bangku perkuliahan.
Memiliki barang secanggih itu buat saya sebuah kebahagiaan tersendiri saat itu. Di mana saya tidak perlu malu lagi ketika saya nongkrong dengan teman dan tidak repot-repot ke warnet untuk mengerjakan tugas kuliah.
ADVERTISEMENT
Dan ambigunya lagi, smartphone yang saya miliki itu tidak hanya dikonotasikan sebagai tuntutan zaman, tetapi juga untuk keperluan gaya-gayaan (gengsi)—agar dibilang keren, agar tidak dibilang ketinggalan zaman.
Sejak memiliki “benda pintar” itu, saya mulai bermedia sosial dari aplikasi yang satu ke aplikasi yang lain. Facebook memilik Zuckerberg adalah saksi bisu sebagai aplikasi media sosial pertama yang saya kenal saat itu. Diikuti oleh beberapa aplikasi lainnya seperti Instagram, Twitter dan beberapa aplikasi yang terus berkembang sangat cepat.
Media sosial yang kerap disebut dunia maya ini tidak sedikit memberi saya pengalaman baik dan juga pengalaman buruk selama berkecimpung di dunia ini . Kalau diukur secara statistika mungkin dampak buruk yang saya dapat dari media sosial saat itu sangat mencederai intelektualitas saya sebagai mahasiswa. Bagaimana tidak, saya sangat ketergantungan dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan waktu itu, saya mengakses media sosial tanpa batas waktu (gila-gilaan bermedsos). Bagi saya perangkat media sosial menjadi kebutuhan pokok tanpa tawar-menawar untuk memudahkan segala aspek hidup saya. Baik untuk mendapatkan informasi maupun demi pencitraan diri yang dikreasikan untuk mendapatkan sensasional di medsos.
Kurang lebih modelnya seperti yang kalian praktikkan di akun media sosial kalian masing-masing—yang kalau dipikir secara logika sebenarnya tidak ada arti dan maknanya dalam proses pendewasaan hidup.
Media sosial telah merampas banyak bagian dari diri saya dan kehilangan kendali tentang esensi dari medsos tersebut. Saya merasa tanpa bermedia sosial agaknya saya tidak lagi utuh sebagai manusia yang hidup era teknologi.
Menggunakan media sosial hingga berjam-jam, namun saya tidak mendapatkan feedback apa-apa selain menikmati konten warga medsos yang berseliweran dengan membabi buta di beranda akun medsos saya.
ADVERTISEMENT
Saya bahkan pernah menjauhkan pergaulan dunia nyata dan sebaliknya. Relasi tatap muka dengan teman di warkop Pak Ucok menurun drastis. Dan beberapa fenomena lain yang rentan dengan pengaruh buruk di media sosial yang tak ada gunanya. Meski belakangan saya sadar bahwa perilaku konsumtif terhadap media sosial sangat berbahaya terhadap perkembangan diri saya.
Fenomena medsos saat ini mengingatkan saya sepenggal kalimat dari Iqbal Aji Daryono, praktisi medsos yang beliau tulis dalam bukunya “Sapiens di Ujung Tanduk”. Belau mengatakan medsos adalah produk teknologi, dan teknologi sering kali merampas banyak bagian dari diri kita. Ini fakta, saya alami sendiri beberapa tahun silam.
Jika dirunut apa saja yang dirampas teknologi (medsos) dari diri kita? Salah satu bagian krusial adalah waktu kita. Waktu yang seharusnya kita isi dengan kegiatan keluarga, diskusi kelompok, mengerjakan tugas dan lain-lain, namun kita dianulir oleh medsos kita sendiri. Di mana, kita sibuk membalas dan menyematkan komentar di akun orang yang tidak dikenal, sibuk menonton drakor, sibuk belanja online, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Jika kalian sedang berada di lingkaran ini, saya menyarankan agar kalian cepat bertobat. Maksud saya segera merefleksikan sejauh mana diri kalian mendapatkan dampak medsos itu sendiri.
Buat keputusan sendiri agar medsos tersebut benar-benar berpengaruh positif dalam aspek kehidupan kalian. Maaf, saya tidak bermaksud menggurui, tetapi sebagai manusia yang jauh dari kata sempurna ada kalanya kita saling mengingatkan, bukan.

Medsos Tempat Belajar

Ilustrasi sosial media. Foto: Shutter Stock
Bulan lalu saya sempat mengikuti salah satu webinar tentang “Bertumbuh di tengah Distraksi Media Sosial”. Webinar itu menurut saya memiliki relevansi terhadap keadaan sosial di tengah penggunaan medsos yang salah saat ini.
Di waktu yang singkat dalam webinar tersebut digambarkan bagaimana supaya tantangan medsos sekarang ini menjadi fondasi kuat untuk bertumbuh produktif dan kreatif. Melihat kondisi medsos banyak mengalihkan konsentrasi kita ke arah gejolak penggunaan medsos yang tidak bermutu.
ADVERTISEMENT
Dalam webinar yang dipaparkan secara komprehensif itu, saya menarik satu kesimpulan sederhana bahwa di tengah tantangan medsos saat ini, maka medsos kita jadikan sebagai tempat belajar bukan sekadar selfi-selfian. Dan bukan juga sebatas masalah eksistensi semata.
Jadi, jika dikaitkan dengan cerita/pengalaman saya di atas dalam menggunakan medsos penuh waktu. Di mana, efek negatif media sosial berpotensi membawa kita pada masalah diluar nalar dan kesadaran kita. Akibatnya kita semakin lama tumbuh tumpul bukan tumbuh tajam dan pelan-pelan otak kita kehilangan fungsinya.
Di balik dampak negatif yang ditularkan medsos di dalam lini kehidupan kita, tentu bukan berarti kita meninggalkan medsos begitu saja. Karena menurut saya itu juga sesuatu yang mustahil terjadi, apa lagi di era digitalisasi saat ini.
ADVERTISEMENT
Namun, garis imajiner yang harus dilalui adalah memanfaatkan medsos sebagai tempat belajar untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman. Atau untuk mengembangkan hobi, pekerjaan atau kegiatan menarik lainnya yang bermutu.
Terlepas medsos sebagai tempat belajar dalam meningkatkan keterampilan diri, medsos juga tempat belajar dalam memahami berbagai fenomena di medsos.
Hal ini tentu sebagai refleksi kepada kita di tengah maraknya masalah sosial yang muncul akibat kemajuan teknologi informasi. Sebenarnya masih banyak perlu saya jelaskan tentang medsos ini. Tetapi saya yakin kalian mempunyai literasi media sosial yang mumpuni, kecuali kalian tidak peduli dengan diri kalian. Hehehe...