Konten dari Pengguna

Narasi Ada Uang Ada Suara Saat Pemilu: Politik Masih Abu-abu di Mata Masyarakat

Fiderman Gori
Penulis Merupakan Penggiat Literasi Sosial
22 November 2023 10:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fiderman Gori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Politik Uang. Foto: ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politik Uang. Foto: ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Spektrum politik menjelang pemilihan umum (pemilu) serentak 2024 semakin sengit dan menarik perhatian banyak orang. Keseruan politik menuju pemilu kali ini terlihat masifnya perbincangan dan perdebatan politik di media massa maupun media sosial yang mendominasi lini kehidupan sosial masyarakat saat ini.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, pemilu sebagai implikasi demokrasi yang tinggal menghitung bulan merupakan ajang pertarungan narasi, perspektif maupun gagasan untuk mempersuasif publik.
Dalam pekan depan sebagaimana tradisi demokrasi, partai politik dan kontestan pemilu akan memasuki fase yang disebut masa kampanye atau dalam pengertian lain adalah masa sosialisasi pemaparan visi-misi atau program kerja politik dalam lima tahun ke depan.
Di mana pada masa tersebut partai politik atau gabungan partai politik dan kontestan akan melakukan berbagai safari politik dari panggung ke panggung hingga ke kota dan pedesaan.
Tahapan ini menjadi momen penting bagi para petualang politik dalam mendulang dukungan atau suara pemilih, dan juga referensi politik bagi masyarakat dalam memahami dan menentukan pilihan politik yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Menjelang hari H pemilu sudah bukan rahasia umum lagi jika masyarakat adalah objek dan subjek dari proses demokrasi politik. Karena kedudukan masyarakat dalam pemilu memiliki pengaruh besar dalam proses penentuan kemenangan atau kekalahan setiap kontestan.
Dari sini dapat dipahami bahwa keagungan masyarakat dalam sistem demokrasi ibarat seorang raja dengan kewenangan absolut dalam menentukan siapa yang layak mendapat suatu mandat tertentu. Jadi, suara masyarakat dalam proses pemilu menjadi satu-satunya keputusan dan ukuran akhir bagi kontestan untuk dapat menduduki kekuasaan, baik sebagai legislatif maupun eksekutif.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kedaulatan masyarakat dalam demokrasi tersebut telah bersikap jujur dan adil terhadap pilihan politiknya atau tidak? Sebab, pada pemilu yang sudah berlangsung implementasinya masih jauh dari nilai demokrasi sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Menguaknya narasi tentang “Ada Uang Ada Suara” saat pemilu merupakan suatu kondisi yang menunjukkan bahwa demokrasi politik kita masih abu-abu di mata masyarakat. Sehingga, demokrasi pemilu yang seharusnya diselenggarakan sebagai representasi kedaulatan rakyat yang jurdil berbanding terbalik akibat anomali politik yang dibangun yakni, politik uang (money politics).
Munculnya narasi masyarakat seperti di atas bukan tanpa alasan subjektif. Tradisi politik uang yang selama ini dipraktikkan oleh partai politik maupun para politikus setiap pemilu, menjadi alasan kuat bagi masyarakat jika politik uang dalam pemilu hal yang mutlak. Akhirnya fenomena brutal nan biadab ini terpatri di dalam alam sadar masyarakat secara alamiah dalam menentukan preferensi mereka dalam memilih calon legislatif dan eksekutif.
Lantas, apakah praktik politik uang tersebut sepenuhnya kesalahan tunggal para politisi? Inilah yang perlu direfleksikan secara seksama, jangan sampai praktik politik uang ini hanya lihat dari satu lanskap politik saja. Akan tetapi alangkah baiknya kondisi amoral ini juga dilihat dari sisi sosial masyarakat yang memahami pemilu sebagai pasar jual beli suara seperti yang terjadi selama ini.
ADVERTISEMENT
Praktisnya, realitas politik uang di era demokrasi terjadi bukan hanya keinginan para kontestan pemilu. Tetapi jauh dari bayangan selama ini politik uang juga disebabkan oleh sikap apolitis masyarakat yang mengedepankan uang sebagai alat tukar suara saat memilih.
Pandangan masyarakat “Ada Uang Ada Suara” diyakini sebagai satu frasa untuk mempengaruhi pola politik para kontestan agar bisa bagi-bagi sembako maupun uang, dan sadar tidak sadar masyarakat menikmatinya. Jadi, di sini semakin terang bahwa sumbu dari pola politik jahanam ini tidak serta-merta dari para politisi, namun masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi/pemilih (voters) juga berperan di dalamnya.

Bahaya Politik Uang

Warga melihat mural bertema Pemilu 2019 di Stadion Kridosono, DI Yogyakarta. Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Sejak pemilu langsung dilaksanakan semua pihak telah mengecam bahwa politik uang (money politics) adalah musuh demokrasi. Politik uang dapat merusak tatanan demokrasi politik menjadi buruk serta berdampak negatif terhadap kemajuan masyarakat secara umum.
ADVERTISEMENT
Dari aspek hukum, politik uang merupakan sebuah bentuk pelanggaran pemilu yang dapat mencederai demokrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu), secara eksplisit ditegaskan seperti Pasal 280 ayat (1) huruf j menyebutkan “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada kepada peserta kampanye pemilu”.
Undang-Undang ini menunjukkan praktik politik uang (money politics) tegas dilarang dalam pemilu di Indonesia, karena satu dan lain hal dapat membahayakan sistem maupun prinsip demokrasi yang jujur dan adil, profesional, akuntabel, efektif dan efisien.
Ada beberapa alasan kenapa politik uang dilihat sebagai bahaya/ancaman bagi demokrasi politik. Pertama, politik uang dapat menghambat partisipasi masyarakat yang sehat dalam politik. Ketika masyarakat menganggap bahwa pemilu itu adalah jual beli suara, maka mereka akan kehilangan pemahaman yang objektif terhadap esensi pemilu itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kedua, politik uang akan berdampak buruk kepada kontestan yang tidak memiliki sumber daya logistik politik yang memadai. Misalnya, politisi muda yang baru terjun ke politik yang tidak memiliki bekal ekonomi yang cukup sehingga sulit bersaing melawan politisi mapan, sehingga demokrasi tidak berjalan semestinya.
Ketiga, politik uang merupakan cikal bakal terjadinya pemimpin yang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Di mana calon kontestan cenderung mengutamakan kroni-kroninya dari pada kebutuhan masyarakat.

Masyarakat Sadar Pemilu

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Masyarakat sebagai aktor sosial serta pemegang kedaulatan tertinggi dalam pemilu mempunyai tanggung jawab politik atas jalannya demokrasi yang efektif. Masyarakat harus paham bahwa pemilu tidak hanya berbicara tentang siapa pilih siapa, siapa bayar berapa atau jual beli suara.
ADVERTISEMENT
Namun, esensi sesungguhnya dari sebuah pemilu adalah proses masyarakat melahirkan pemimpin yang berintegritas dalam menyikapi setiap persoalan masyarakat serta mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di segala lini kehidupan sosial.
Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan harapan-harapan itu? Kesadaran kolektif masyarakat tentang esensi pemilu menjadi solusi dalam mewujudkan sikap politik yang profesional. Semua masyarakat harus sadar dan proaktif bahwa pemilu jalan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan bersama, bukan sebaliknya pemilu dijadikan kegiatan jual beli suara atau perhitungan untung dan rugi.
Oleh karena itu, menjelang pemilu 2024 masyarakat sebagai pemegang hak suara dapat menjaga napas demokrasi dalam sistem politik yang jujur, adil dan bebas dari politik uang (money politics).
ADVERTISEMENT