Konten dari Pengguna

Mengenal Lebih Jauh tentang Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana

Fikki Nurcahyo
Karyawan BUMN (PT Pos Indonesia), penulis artikel, penulis cerita, musisi, dan selengkapnya silakan kunjungi media sosial saya yang lain. IG: @fikkinc Linkedin: Fikki Nurcahyo
27 Oktober 2021 11:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikki Nurcahyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah mendengar tentang asas legalitas yang berlaku di hukum pidana? Pernah tidak kalian sepintas berpikir bahwa bagaimana jika ada suatu kejadian atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di mana perbuatan yang dilakukan itu ternyata belum ada aturan atau regulasi yang mengaturnya? Apakah perbuatan ini akan dibiarkan saja terjadi dan berulang-ulang dilakukan oleh orang lain bahkan masyarakat seterusnya tanpa adanya tindakan represif dan preventif atau perbuatan tersebut dapat diterapkan suatu aturan hukum yang baru atau aturan hukum lain terhadapnya?
ADVERTISEMENT
Untuk lebih mempersempit bahasannya, saya memberi gambaran bahwa perbuatan yang dimaksud di sini adalah perbuatan hukum dalam lingkup pidana, di mana perbuatan pidana ini dilakukan oleh subjek hukum dan menimbulkan akibat hukum terhadapnya. Saya akan rangkum secara singkat dan mendalam, dan mari kita kupas tuntas semua soal ini, di sini.
Dalam hukum pidana dikenal yang namanya asas legalitas, retroaktif, nasional aktif, nasional pasif, universalitas dan lainnya. Namun di sini saya akan lebih memberi penjelasan dan gambaran yang jelas perihal apa itu asas legalitas? Bagaimana penerapannya? Seperti apa contoh kasusnya?
Pada perkembangannya dalam hukum pidana, pernah ada suatu perbuatan pidana atau delik yang mana perbuatan pidana ini belum diatur dalam kodifikasi di Indonesia, sedangkan akibat perbuatan pidana ini menimbulkan kerugian materiil dan non materiil, contoh nyatanya adalah peristiwa terorisme Bom Bali pada tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Pada masa itu terjadi aksi terorisme yang dilakukan oleh Ali Imron dan Amrozi yang membuat publik takut serta bingung akan kejadian yang ada. Bom Bali meledak pada 12 Oktober 2002, sedangkan PERPU yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia yaitu PERPU Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme baru ditetapkan tanggal 18 Oktober 2002. Sekilas kita akan bertanya, apakah aturan tersebut dapat diterapkan untuk mengatasi aksi terorisme Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002?
gambar hanya sebagai ilustrasi, sumber: unsplash.com
Asas Legalitas adalah asas di mana suatu perbuatan pidana hanya dapat dijatuhi pidana jika telah ada aturan yang mengatur sebelum perbuatan pidana tersebut terjadi, dengan kata lain definisi tersebut sejalan dengan apa yang telah tertuang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali). Asas legalitas disebutkan juga dalam Pasal 6 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Perbuatan pidana jika telah dilakukan oleh pelakunya, sedangkan belum terdapat aturan tertulis yang mengaturnya maka pelaku tersebut tidak dapat dipidana, meskipun jika sudah ada aturan yang mengatur tentang perbuatan pidana tersebut tetapi tidak jelas dan lengkap serta tidak dapat dibuktikan apa yang terkandung dalam rumusan aturan tersebut terhadap keseluruhan rangkaian perbuatan hukum dari si pelaku, maka secara hukum perbuatan itu tidak dapat dipidana menggunakan aturan tersebut. Contoh dari penjelasan ini adalah kasus penggunaan zat cathinone di mana zat ini belum terdaftar dalam UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga Raffi Ahmad dibebaskan oleh BNN pada 27 April 2013.
Terlihat jelas bahwa UU Narkotika ini sudah lahir sebelum adanya kasus Raffi Ahmad pada 2013. Namun dalam lampiran daftar narkotika yang tertera di dalamnya tidak menyebutkan zat cathinone sebagai salah satu jenis narkotika yang dilarang penggunaannya di Indonesia, sehingga pelaku pengguna zat tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman maupun sanksi sesuai UU Narkotika. Jelas bahwa perumusan aturan yang tidak lengkap pun dapat menjadi celah tidak dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana meskipun sudah ada aturan tertulisnya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya mengenai perbuatan saja yang harus didefinisikan dan dijelaskan secara lengkap di dalam Undang-Undang atau aturan tertulis lainnya, akan tetapi objek dan subjek hukum tentang apa dan siapa juga harus dijelaskan secara lengkap di dalam aturan tertulis untuk dapat digunakan sebagai sumber hukum penjatuhan sanksi pidana bagi pelakunya.
Mari kembali lagi kepada topik inti, bahwa asas legalitas pada dasarnya dapat diterapkan terhadap seluruh perbuatan pidana di mana sudah ada aturan yang mengatur sebelumnya dan aturan tersebut haruslah lengkap dan jelas definisinya. Apabila dalam faktanya terdapat perbuatan pidana yang terjadi sedangkan di Indonesia sama sekali tidak atau belum terdapat aturan tertulis yang mengaturnya, maka secara penalaran hukum perbuatan pidana tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi.
ADVERTISEMENT
Lantas timbul pertanyaan: Apakah asas legalitas ini berlaku terhadap semua perbuatan pidana? Bagaimana jika seseorang melakukan suatu perbuatan pidana dan merugikan banyak orang tetapi belum ada aturan yang mengaturnya? Bukankah ini merupakan kemunduran hukum?
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu dipahami bahwa terdapat pengecualian penerapan asas legalitas, yaitu asas retroaktif.
Asas retroaktif adalah asas di mana hukum dapat berlaku surut, apa itu berlaku surut? Ini artinya aturan tertulis dapat diterapkan terhadap perbuatan pidana yang lebih dulu terjadi. Namun, tidak semua perbuatan pidana dapat diterapkan asas retroaktif, Pengecualiannya terdapat dalam penjelasan Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan disebut dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. Pengecualian terhadap asas legalitas ini tertuang juga dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama.
ADVERTISEMENT
Dari sini kita sudah bisa menyimpulkan bahwa dalam kasus Bom Bali tahun 2002, Pemerintah Republik Indonesia dalam faktanya sudah menerapkan asas retroaktif terhadap kasus terorisme tersebut, di mana perbuatan pidana terorisme ini merupakan pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan korban jiwa sampai 203 orang serta menimbulkan ketakutan terhadap orang banyak. Untuk saat ini, pemberlakuan asas retroaktif sebagai pertentangan asas legalitas hanya dapat dikecualikan untuk perbuatan pidana seperti yang disebutkan dalam pasal 104 UU No. 39 Tahun 2009 tentang HAM.
Prinsip dasarnya bahwa, asas legalitas merupakan prioritas utama yang harus diterapkan terhadap segala bentuk perbuatan pidana. Suatu perbuatan haruslah dipidana sesuai dengan aturan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Namun, apabila suatu perbuatan pidana telah terjadi dan belum terdapat aturan tertulis yang mengaturnya, maka asas retroaktif dapat diterapkan dengan pengecualian yang telah disebutkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup artikel ini, saya ingin mengajukan pertanyaan yang bisa menjadi bahan diskusi bersama, Jika asas retroaktif dapat diterapkan terhadap kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM, apakah pemerintah Republik Indonesia dapat menerapkan aturan yang suatu saat dapat digunakan terhadap kasus korupsi? Korupsi merupakan tindak pidana yang sudah terdapat aturan tertulisnya saat ini dalam UU Tindak Pidana Korupsi, tetapi ada kemungkinan suatu saat dilakukan revisi dan mengubah ketentuan yang ada di mana sanksi terhadap koruptor dapat lebih berat dari sebelumnya.
Sebagai tambahan, sesuai dengan Doktrin International Covenant Economic and Social Right, bahwa tindak pidana korupsi itu dapat dimasukkan dalam kriteria pelanggaran HAM berat. Korupsi merupakan kejahatan yang mengakibatkan kerugian yang besar terhadap negara serta mengakibatkan penderitaan rakyat secara besar.
ADVERTISEMENT
Penulis: Fikki Nurcahyo