Masyarakat Berketuhanan atau Ketuhanan Bermasyarakat?

Fikri Gali
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
17 September 2022 18:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Gali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
Mengapa masyarakat wajib berketuhanan? Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki keragaman. Hal itu meliputi agama, ras, budaya, dan bahasa. Karena keragaman tersebut, Indonesia juga dapat dijuluki sebagai negara multikultural. Dalam kehidupan bermasyarakat, pancasila mempunyai andil besar pada prinsip kehidupan bangsa Indonesia. Ia menjadi ideologi sekaligus falsafah hidup.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sila pertama Pancasila, terdapat “Ketuhanan yang maha esa” Hal tersebut mengidentifikasikan bahwasanya setiap warga negara diwajibkan memiliki kepercayaan terhadap Tuhan. Selain itu, kita juga dapat memastikan setiap masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan melalui identitas KTP (Kartu tanda penduduk). Namun apakah dapat dibenarkan? Bagaimana apabila seseorang tidak memiliki kepercayaan? Atau agama dijadikan identitas semata, hanya karena melihat kewajiban beragama bagi warga negara?
Menurut istilah zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial, makhluk politik dan makhluk bermasyarakat. Dalam praktik sosial, setiap manusia mempunyai tujuan. Tiada yang dapat mengetahui pikiran seseorang. Tujuan utama manusia bukan sepenuhnya pada kebenaran atau kebaikan. Ketika dunia seluruhnya benar, tidak ada cara lain untuk mengidentifikasi kebenaran tanpa adanya prinsip kesalahan.
ADVERTISEMENT
Realitas menunjukan ketidakstabilan ratio antara kebenaran dan keburukan. Ada banyak fenomena absurd yang menghantui setiap gerak-gerik manusia. Dia menampakan wujud aslinya dalam langkah demi langkah. Tindak kriminalitas merajalela dan korupsi yang tak ada habisnya. Menyiasati manusia saat maklamat semakin dekat dengan dalih kesejahteraan masyarakat. Membuat legitimasi dengan menciptakan manipulasi hingga society berpikir secara pragmatis. Lantas ketika itu terjadi, tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa seseorang memiliki landasan kepercayaan kepada Tuhan. Lalu siapa yang patut untuk disalahkan? Aturan atau realita kehidupan?
Berbicara mengenai ketuhanan, setiap masyarakat mempunyai perspektif memori yang berbeda pada penjelasan tentang eksistensi Tuhan. Secara obyektif, seseorang diharuskan mampu memberi sekat antara kehidupan bermasyarakat dan kehidupan terhadap Tuhan. Mengapa hal itu harus dilakukan? Tidak memungkinkan mencari relasi pada dua sisi yang berbeda. Dogmatisme agama yang diluncurkan untuk menentang dan mendapatkan kekuasaan semakin massive dilakukan. Kebenaran terhadap permasalahan akan runtuh karena logical fallacy. Pernyataan diverifikasi bukan berdasarkan logika, melainkan status. Sehingga cenderung memanifestasi sifat-sifat feodalisme.
ADVERTISEMENT
Roda kehidupan selalu berputar, sedangkan ilusi akan kekuasaan semakin kental. Seorang politisi berupaya mencari elektabilitas terhadap masyarakat. Mereka cenderung menggunakan strategi yang dilarang dalam konstitusi. Misalnya politik uang, politik identitas dan fitnah atau hoax. Hal itu semata-mata digunakan untuk mencapai kepuasan atas hasrat sebagai otoritas publik. Pembodohan yang dilakukan otoritas terhadap publik mencerminkan kualitas sumber daya manusia yang berada dalam ranah masyarakat. Fenomena tersebut hanya dapat dirasakan oleh seseorang yang berpikir kritis atas hajat para pelaku politik.
Seluruh aspek pada kehidupan manusia tidak lepas dari politik. Di Indonesia sendiri ada beberapa permasalahan yang terjadi ketika sedang menyongsong pesta demokrasi. Salah satu skema paling berbahaya adalah politik identitas sebagai indikator dalam berpolitik. Politik identitas dapat diartikan sebagai suatu strategi dalam berpolitik. Dia menggunakan dalih identitas agama atau etnis untuk menggerakan massa dalam rangka menggulingkan lawan politiknya. Terciptanya politik identitas juga dapat didasarkan dengan adanya sesat berpikir pada setiap diri masyarakat.
ADVERTISEMENT
Doktrinasi yang dilontarkan oleh seorang tokoh akan dapat dengan mudah diterima dalam hati masyarakat berkat eksistensi status seseorang. Kurangnya pemahaman atas manipulasi pernyataan dan perkataan yang diberikan oleh tokoh sangat dominan. Sehingga timbul penjeratan pada pemikiran. Tentunya hal itu memunculkan kegaduhan pada sistem persatuan dan kesatuan.
Lebih dari itu, dalam kehidupan politik dan demokrasi tidak relevan jika memasukan unsur kepercayaan atas eksistensi Tuhan. Kegelisahan hati akan mudah terprovokasi karena adanya intimidasi atau gesekan dari pihak yang bukan sejalan. Sehingga melahirkan sikap fanatisme dan etnosentrisme berlebihan pada kelompok tertentu. Apabila masalah-masalah semacam itu tidak diatasi, besar kemungkinan potensi untuk perpecahan di negeri ini.