Konten dari Pengguna

Jelang Seabad Waterleiding di Ranah Kelahirannya Haji Agus Salim

Fikrul Hanif Sufyan
Penulis, pengajar sejarah, dan dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne, Australia
2 Februari 2025 18:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikrul Hanif Sufyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi bak Gobah waterleiding yang telah berusia 92 tahun. Sumber: dokumentasi Fikrul Hanif Sufyan
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi bak Gobah waterleiding yang telah berusia 92 tahun. Sumber: dokumentasi Fikrul Hanif Sufyan
ADVERTISEMENT
Hampir seabad usia waterleiding (baca: pipa air) di ranah kelahirannya Haji Agus Salim, Nagari Koto Gadang Kabupaten Agam, Propinsi Sumatra Barat. Tepatnya pada 30 Januari 1933, pekerjaan besar yang dibiayai oleh masyarakat Koto Gadang, terakhir diselesaikan melalui dana pemerintah afdeeling Agam itu pun diresmikan.
ADVERTISEMENT
Bermula dari Kebutuhan Air Bersih
Nagari Koto Gadang di masa Kolonial Belanda berada di bawah Onderdistrict IV Koto, afdeeling Agam. Di negeri inilah kampung halaman dari orang-orang besar di pentas pegerakan nasional, semisal Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, A. Karim, Djamaluddin Tamim, Jahja Datuk Kajo, Roehanna Koeddoes, dan lainnya.
Kisah waterleiding bermula dari tingginya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh air bersih di Nagari Koto Gadang. Berbagai upaya telah mereka tempuh sebelum tahun 1918, untuk mengalirkan sumber air yang berada di kaki Gunung Singgalang.
Melalui ide yang digulirkan demang Pajacombo asal Koto Gadang bernama Jahja Datuk Kayo, dimulailah pekerjaan besar tersebut. Pekerjaan waterleiding itu dimulai pada 9 Juli 1918. Sasaran sumber airnya adalah Bulakan Batupai 1.054 dpl– yang terletak di kaki Gunung Singgalang. Jarak sumber air ini dari Koto Gadang adalah 4,5 kilometer.
ADVERTISEMENT
Sejak dilaksanakan pada pertengahan tahun 1918, semua warga Koto Gadang maupun yang di rantau, beriuran untuk membiayai pembangunannya. “Anak negeri semuanya mau dan suka mengeluarkan uang” – demikian Berita Kota Gedang memberitakannya. Sampai tahun 1919, keseluruhan uang yang terkumpul baik dari negeri maupun rantau adalah f 3000 (baca: tiga ribu gulden).
Empat tahun pelaksanaan waterleiding belum menampakkan hasil. Bahkan uang yang telah dihabiskan beribu-ribu gulden itu, belum menampakkan hasil. Seijers – Asisten Residen Agam pada 1922 pun menegaskan, bahwa masyarakat tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk mengalirkan air dari Bulakan Batupai ke Koto Gadang.Apa sebabnya?
Fort de Kock Butuh Waterleiding
Rupanya W.J Cator – asisten residen Fort de Kock (kini: Bukittinggi) memang membutuhkan pasokan air bersih tambahan. Pasalnya, kebutuhan air bersih untuk kota rang Agam yang berasal dari Sungai Tanang tidak lagi mencukupi.
ADVERTISEMENT
Kalau Cator menginginkan pasokan air dari Bulakan Batupai, tentu pipanya akan melewati dua nagari, yakni Nagari Koto Tuo dan Koto Gadang. “Kalau KG meminta sebagian pada air ini kepada Gemeente tentu sudah tentu diberinya, jadi beruntunglah Kota Gedang” – demikian Ketua Comitte Waterleiding dalam sambutannya pada 30 Januari 1933.
Gayung bersambut. Cator kemudian mengutus empat orang Belanda, masing-masing dua orang ahli air, seorang insinyur, dan seorang arsitek. Gambar dari arsitek itulah yang menjadi dasar dari aliran waterleiding dari kaki Gunung Singgalang hingga ke jantungnya Fort de Kock.
Pada 1924, terjadi pergantian pucuk pimpinan di Agam. Seijers digantikan oleh Rookmaaker. Ia mendengar keluhan, bahwa uang yang dikumpulkan warga Koto Gadang sekitar f 4000 – belum mencukupi untuk pemasangan pipa waterleiding.
ADVERTISEMENT
Rookmaker kemudian mencari terobosan. Ia memerintahkan pada pegawainya untuk membangun penangkap air di Bulakan Batupai. Pembangunan bak penangkap air ini juga direstui oleh Datuk Tumanggung – kepala negeri Koto Tuo, serta Datuk Rajo Malintang – hoofd Onderdistrict IV Koto. Namun, pasca pembangunan penangkap air, Rookmaker pun pindah. Kelanjutan pembangunan waterleiding pun terhenti.
Lima tahun kemudian, proyek pemasangan pipa kembali dimulai Tepatnya pada 1929, Groeneveldt menjabat selaku asisten residen Agam. Setelah melihat terbengkalainya waterleiding, Groeneveldt yang baru menjabat beberapa bulan itu, segera menyurati Gubernur Jendral Hindia Belanda Bonifacius Cornelis de Jonge.
Ia menyurati de Jonge, agar pemerintah mengucurkan pinjaman tanpa bunga sebesar f 20.000. Namun, permintaan dari Groeneveldt ditolak. Apa pasal? Tentunya jumlah pinjaman yang diajukan ini sangat besar Groeneveldt, mengingat Hindia Belanda dihadapkan dengan dampak awal dari depresi ekonomi yang menghantam dunia.
ADVERTISEMENT
Kembali pengerjaan waterleiding tertunda terhitung sejak 1924 sampai 1932. Pasca berakhirnya kepemimpinan Groeneveldt, posisi asisten residen Agam pun beralih tangan pada A.I Spits.
Persoalan finansial yang membelit proyek waterleiding, menemui titik cerah pasca Datuk Sutan Perpatih – seorang hoofd district Bukittinggi, menyampaikan penjelasan Comitte Waterleiding pada Cator.
Sang Asisten Residen Fort de Kock pun mengundang para ninik mamak untuk menghadiri rapat tertutup pada 27 April 1932. Acara rapat itu dihadiri oleh Datuk Sutan Perpatih, AI Spits, juga para ninik mamak Koto Gadang. Palu pun diketuk. Cator menginginkan proyek waterleiding kembali dilanjutkan.
Pada Agustus 1932 waterleiding resmi dilanjutkan proyeknya di bawah pengawasan Jazid Dt. Rajo Mangkuto – seorang supervisor yang juga putra dari Koto Gadang.
ADVERTISEMENT
Pada awal Januari 1933, pemasangan pipa pun rampung. Air sudah bisa mengalir dari penangkap air Bulakan Batupai 1.054 dpl, ke bak Galudua 1.020 dpl (1932) di Nagari Koto Tuo, bak Gantiang 980 dpl, menuju Bak Gobah 925 dpl di Nagari Koto Gadang, untuk nantinya berakhir alirannya di Fort de Kock.
Meriahnya Pesta Waterleiding
Pasca waterleiding rampung dilaksanakan, masyarakat dan para pembesar di Nagari Koto Gadang pun bersiap untuk melaksanakan pesta hajatan, untuk membuka kran dari sumber bak air yang ada di Koto Gadang.
Pada 30 Janauri 1933 tamu yang diundang pun hadir, di antaranya Asisten Residen Fort de Kock W.J Cator, AI Spits (Asisten Residen Agam), dr A Saleh Sutan Perpatih (hoofddistrict Bukittinggi), Imam Batoeah (hoofddistrict Biaro), Theunissen (Passerfonds), Jazid Rajo Mangkuto, dan Boehar dan Noezer (kepala tukang waterleiding). hoofd penghulu dari Nagari Guguak, Datuk Temanggung dari Nagari Koto Tuo, dan lainnya (de Sumatra Post, 5 Februari 1933).
ADVERTISEMENT
Dalam pesta yang yang dilaksanakan meriah. Anak-anak dan keturunan dari Koto Gadang pun sudah membanjiri perayaan tersebut. Para perantau Koto Gadang yang berasal dari Sabang sampai ke Fakfak Papua pun menghadiri acara – yang direncanakan dibuka oleh Residen Sumatra Westkust, B.H.F Van Heuven (Sumatra-bode, 3 Februari 1933).
Namun, di hari yang ditunggu-tunggu warga Koto Gadang itu, Heuven berhalangan hadir. Ia pun mengutus Fanoy – asisten residen Padang, untuk memberikan sambutan dalam acara peresmian waterleiding di Koto Gadang (De Waterstaats Ingenieur No.3, 1933)
Dalam sambutannya, Fanoy memuji Koto Gadang harus dicontoh oleh negeri lainnya di Sumatra Westkust. “Anak negerinya selalu berusaha bagi kemajuan negerinya. Orang K.G yang di rantau menolong usaha dengan uangnya, walaupun sekarang adalah waktu susah. Tetapi kebutuhan negerinya selalu dipentingkannya” – demikian Fanoy menyanjung tinggi uletnya orang Koto Gadang membangun saluran air bersih untuk negerinya.
ADVERTISEMENT
Sambutan Fanoy jelas mengindikasikan, hadirnya waterleiding bersumber dari semangat kebersamaan dari warganya baik di Koto Gadang maupun yang berada di perantauan. Bukan berasal dari perorangan, maupun orang yang berpengaruh di Koto Gadang.
Di akhir sambutannya, Fanoy pun meneriakkan, “Hiduplah Koto Gadang dengan waterleidingnya!” Ucapan Fanoy ini segera disambut dengan gemuruh tepuk tangan dari massa yang hadir. Pasca Fanoy memberi sambutan, dilanjutkan dengan antaran kata dari AI Spits (asisten residen Agam).
W.J Cator asisten residen Fort de Kock yang dinanti-nanti meresmikan dan membuka kran di bak Gobah, pun memberi sambutan. Dalam arahannya, Cator menyanjung kerja keras dari Jazid Rajo Mangkuto yang membuktikan baktinya untuk negeri kelahirannya. Di akhir pidatonya, Cator meminta massa meneriakkan tiga kali untuk kerja keras Jazid, “Hiduplah engku Jazid dengan pembantunya!”
ADVERTISEMENT
Setelah pidatonya, Cator pun menuju ke bak Gobah yang terletak di Bukit, Koto Gadang. Ketika kran dibuka dan diresmikan oleh Cator, dilanjutkan dengan foto bersama bersama plakat yang bertuliskan, ”Pimpinan toean Spits dan atas oesaha toean W.J Cator waterleiding Kota Gedang 30_1_33” (Berita Kota Gedang, Februari 1933).