Konten dari Pengguna

Anak Budaya Ketiga dan Masa Depan

finaisme
Wander Mother. @finaisme @totallyrendang
25 Januari 2018 22:43 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari finaisme tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak Budaya Ketiga dan Masa Depan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mendengar istilah ini sebelumnya? Menurut Ruth Van Reken, penggiat isu ini, Anak Budaya Ketiga atau Third Culture Kids (TCK) adalah 'a person who has spent a significant part of his or her developmental years outside their parents’ culture.' Tingginya mobilitas manusia berpindah lalu menetap di suatu negara, membuat fenomena TCK ini makin meluas.
ADVERTISEMENT
Sesuai definisi namanya, Anak Budaya Ketiga dipahami sebagai anak yang menjalani masa pertumbuhannya di tempat yang sama sekali berbeda dengan budaya asal orangtua, dalam durasi yang signifikan. Misal Bapak dari Inggris, Ibu dari Indonesia dan mereka tinggal di negara bukan Inggris ataupun Indonesia. Atau bahkan 'sesederhana', bapak dan ibu dari Indonesia, anak dibesarkan di Australia.
Sayangnya, latar belakang campur-campur ini juga melahirkan masalah: krisis identitas. 'The third culture kid builds relationships to all the cultures, while not having full ownership in any.' Kurang lebih begitu. Anak-anak ini membangun relasi dengan berbagai budaya, tetapi tidak sepenuhnya memiliki satupun budaya (asli).
Contoh saja kisah Seruni, anak Indonesia yang bersekolah di Jepang. Ia bisa melihat dan membandingkan kedua budaya ini dengan cukup jelas. Tentang cara makan misalnya. Meskipun di Indonesia dan Jepang umumnya makan nasi, kedua orangtuanya yang berasal dari Indonesia juga cukup mudah menjelaskan mana budaya asal mereka dan mana budaya Jepang. Bahwa di kampung halaman pakai piring dan sendok/tangan dan di Jepang pakai mangkok dan sumpit. Lalu setelah dijalani, ada sebagian dari budaya pertama yang ia adopsi dan sebagian dari budaya kedua. Percampuran ini menghasilkan set budaya baru bagi Seruni. Rupanya ia cocok makan nasi dalam mangkok tetapi pakai sendok.
ADVERTISEMENT
Lebih 'seru' lagi jika ia pindah ke Perancis yang hobi makan kentang! Hm.. kentang di dalam mangkok dimakan pakai sendok?
Itu hanya ilustrasi sangat sederhana, 'masalah' yang dihadapi anak budaya ketiga. Seruni masih 'beruntung' karena ayah dan ibunya memiliki kesamaan akar budaya. Bayangkan jika sang anak memiliki ayah dan ibu yang berlainan akar budayanya.
Sedangkan ciri khas anak TCK itu bisa dilihat saat perkenalan pertama kali mendapatkan pertanyaan: where are you from? (lebih pas diterjemahkan menjadi: kamu orang mana?)
Bagi anak-anak TCK pertanyaan 'where are you from' tidaklah mudah untuk dijawab. Mungkin untuk anak-anak pada umumnya bisa sederhana menjawab: saya dari negara X. atau saya orang Y.
Sedangkan untuk Anak Berbudaya Ketiga pertanyaan tersebut ditanggapi dengan: 'dari mana, maksudnya tempat tinggal sebelum ini atau asal usul?' Jika Seruni kemudian pindah sekolah ke Perancis, maka di sekolah barunya, ia kemungkinan menjawab, "Saya orang Indonesia yang besar di Jepang." Kalau kemudian dia fasih berbahasa Perancis dan Jepang, lalu berkarir di Meksiko, maka kolega barunya agak bingung, setidaknya di awal, tentang identitas dia. "Katanya orang Indonesia, tapi aksen dan kebiasaannya kadang Eropa kadang Jepang... orang mana sih sbenernya?" Begitu kira-kira. Familiar dengan ini?
ADVERTISEMENT
Soal krisis identitas ini sangat wajar terjadi. Anak-anak mendapatkan beragam pengalaman baru karena tinggal berpindah. Begitu banyak asal-usul kebiasaan yang dia jalani, serap atau bahkan ingin lakukan.
Hingga bulan lalu, anak bungsu saya masih saja salah kaprah kalau sholat itu adalah budaya orang Indonesia. Sebab dia lihat orang sholat ramai-ramai ya saat mudik. Pas kembali ke perantauan di Korea, dia hampir tidak pernah lihat orang sholat, kecuali ibunya yang orang Indonesia, dan teman-teman si ibu yang orang Indonesia juga.
Padahal ada orang berkebangsaan lain di sekolahnya yang juga muslim, bahkan berjilbab. Tetapi simbol-simbol itu telah membaur dengan sempurna. "Oh iya di kelas saya ada yang berkerudung. Lalu kenapa? Yang rambutnya gimbal, pirang, dan botak juga ada. Si bungsu tanpa sadar terbiasa untuk melihat persamaan: mereka semua teman sekelas saya. Indah sekali sebenarnya!
ADVERTISEMENT
Budaya ketiga bisa berubah, tergantung di mana anak tersebut pindah/tinggal. Sebab setiap berdomisili di tempat baru, tentu ada hal baru, kebiasaan maupun pemikiran, yang sengaja maupun tidak, diadopsi. Bayangkan betapa bingungnya jika anak tersebut berpindah berulang-ulang kali. Dan ini sangat mungkin terjadi!
Oleh karena itu Anak Berbudaya Ketiga rentan memiliki kendala dalam menemukan jati dirinya. Sulit baginya untuk membangun memori kolektif, rasa memiliki yang kuat pada budaya asal, dan di banyak kesempatan, mereka seperti anak 'hilang', tidak mengakar pada suatu tempat pun.
Anak-anak Berbudaya Ketiga senang mengobservasi suatu hal baru di tempat tinggal yang baru. Terkadang mereka enggan juga untuk mencoba produk budaya baru, seperti bahasa, tarian, perayaan, karena banyak hal. Bisa jadi bertentangan dengan budaya yang sebelumnya sudah mereka adopsi, atau lelah. I need a break from digesting all of this, kira-kira begitu.
ADVERTISEMENT
Ada sedikit rasa kasihan pada anak-anak TCK ini. Walaupun di luar terlihat baik-baik saja, bahkan terkesan luar biasa karena begitu banyak warna di awal hidupnya, tetapi sesungguhnya mereka cukup rapuh. Mereka punya PR ekstra untuk membangun ruang aman di dalam hati masing-masing, menaruh di dalamnya sekeping demi sekeping puzzle aneka jenis budaya yang mereka temui di sependek hidupnya ini. Dipilih mana yang matching dengan budaya sebelumnya, mana yang langsung cocok dengan identitas 'sementara' mereka, mana yang paling mudah dibaurkan, mana yang rasanya memanggil untuk menjadi bagian baru dari identitasnya.
PR yang lebih nyata adalah ketika berada di tengah komunitas yang cukup homogen, masuk sekolah umum (bukan internasional), atau menjadi bagian dari masyarakat yang 'kurang piknik'. Anak sulung saya, meskipun supel bergaul dengan semua anak, tanpa disadari merapat pada sebagian kecil teman yang juga TCK, seperti ada rasa senasib di antara mereka. Sementara si tengah mencoba low profile, melatih kesabaran dan belajar lagi melihat hal baik diantara yang kurang baik. Karena pada dasarnya, semua manusia pasti punya sifat baik.
ADVERTISEMENT
Konsistensi di dalam keluarga dalam memperkenalkan dan menumbuhkan budaya asal orangtua pada anak TCK sangat membantu mereka untuk mengakar dan membentuk identitas yang solid. Namun pada prakteknya, hal ini cukup sulit dilakukan karena begitu banyak ragam di dalam masyarakat yang mempengaruhi pola pikir anak bahkan orangtua itu sendiri.
Meskipun menghadapi tantangan dalam membentuk identitas pribadi, anak-anak TCK umumnya tumbuh menjadi lebih resilien dan adaptif. Lebih sulit bagi mereka untuk bersikap diskriminatif karena lebih mudah untuk mereka mencari persamaan, dibandingkan perbedaan. Sebab selama mereka bertumbuh, mereka perlu untuk mencari persamaan agar mudah untuk fit-in. Di sisi lain, mereka sangat terbiasa untuk dibedakan oleh masyarakat. Alasannya mudah saja. Diawali perbedaan bahasa, dialek atau warna kulit yang berbeda. Perlakukan 'diskriminatif' semacam itu sudah tidak terlalu terasa menganggu. Sudah biasa!
ADVERTISEMENT
Dengan dunia yang semakin mengglobal, populasi anak-anak TCK ini makin banyak, bisa jadi mereka ada di sekitar Anda, anak Anda atau ternyata Anda sendiri! Biasanya, ketika menjadi dewasa, anak berbudaya ketiga, berpikiran lebih terbuka, tidak chauvinist, toleran, tangguh dan sangat mudah beradaptasi. Ini semua terjadi tanpa harus dipengaruhi dan didikte oleh siapapun! Dengan begitu, masyarakatnya lebih kondusif menerima apapun identitas yang dimiliki seseorang. Karena terbiasa untuk melihat persamaan. Bukan lagi perbedaan. Mungkin kita bisa belajar dari mereka untuk masa depan dunia yang lebih harmonis.
(Ditulis untuk memperingati Australia Day, untuk tiga bocah semi-Indonesia kami).