Nasib Berbocah Bule

finaisme
Wander Mother. @finaisme @totallyrendang
Konten dari Pengguna
19 Januari 2018 10:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari finaisme tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menikah dengan warga asing, apalagi yang kulit putih, membuat hari-hari penuh warna. Dijamin nggak putih aja warnanya. Salah satunya adalah perbedaan rupa anak hasil kawin campur ini dengan masing-masing orangtua, umumnya warna kulit si anak juga campur. Bapak kaukasian bercampur ibu asia tenggara seringkali menghasilkan anak campur berkulit coklat susu dan gradasinya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, lagi-lagi perempuan yang kurang beruntung atas situasi ini.
Kalau si suami berdampingan dengan si anak, maka komentar yang saya dengar itu: wah, anaknya lucu ya.. kulitnya jadi agak eksotis kayak ibunya. Sementara kalau si istri berdampingan dengan si anak, maka komentar yang saya dengar: wah, dasar anak bule ya, cakep.. padahal ibunya gitu aja. Selain si ibu dianggap beruntung karena perbaikan keturunan, sering juga diragukan kebenaran pertalian darahnya!
Anda pikir ini dongeng lama yang sudah lekang dimakan jaman? Kenyataannya tidak. Justru semakin kreatif sekarang komennya. Sebagai bagian dari kaum si ibu seperti contoh di atas, saya sih sudah menyiapkan mental kalau harus mendengar celetukan gak asik kayak gitu.
ADVERTISEMENT
Tapi yang paling gak asik adalah ketika saya diragukan keberadaannya sebagai ibu. Saya nih tidak hanya menyumbang dalam komposisi darah anak-anak saya, tapi tentunya yang menjalani hamil, melahirkan dan membesarkan mereka. Ga gampang, Gan!
Kejadian perdana yang nggak mungkin saya lupa adalah di bandara. Saat saya menggendong si sulung yang baru berusia 2 bulan, kami travelling berdua saja. Petugas keamanan menjelang boarding gate merasa 2 boarding pass kami belum cukup valid.
Awalnya dia nanya: 'Berdua aja Bu?' dan saya ngangguk.
Dan pas dia balikin boarding pass... jeng jeng.... dia bertanya: 'ini anaknya, Bu?'
Saya masih santai menjawab: "Iya Pak, anak saya. Kenapa memang?"
Lalu dia scan saya dari atas ke bawah dan minta dokumen identitas dong!
ADVERTISEMENT
Saya masih inget ya, tatapan scan dari atas ke bawah itu terasa merendahkan. Untunglah saya lolos pemeriksaan ini dengan bermodal akte lahir. Tapi kesalnya cukup traumatis sampe sekarang.
Di kabin, setelah narik napas panjang (beberapa kali), saya sebagai orangtua, akhirnya berprasangka baik bahwa si bapak hanya menjalankan kewajibannya sebagai petugas keamanan. Siapa tahu perempuan tersebut (baca: saya) adalah penculik anak. Lesson learnt: bawa dokumen yang cukup ke manapun pergi!
Dari beberapa kejadian yang pernah saya alami, di beberapa negara tempat kami pernah tinggal, yang cukup menohok pernah terjadi di KL, Malaysia.
Tau dong, ada banyak pekerja imigran di sana. Salah satu tugas yang umum dilakukan mereka di Kuala Lumpur adalah mengasuh anak. Daaaan, ternyata salah satu karakter majikan adalah tidak banyak bercakap-cakap dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Ceritanya saya lagi duduk di pinggiran, nungguin anak main di mall. Tempat main indoor yang aman untuk balita gitu deh. Jadi anak saya gak perlu didampingi terus menerus.
Entah gimana awalnya, saya akhirnya ngobrol sama seorang wanita usia 30an asal filipina yang pindah duduk ke samping saya. Setelah agak lama, terpotong pas anak saya nyamperin minta minum. Dia komen dong pas anak-anak udah pergi: 'Cakep-cakep yaaa ANAK MAJIKANMU. Umur berapa?' (your boss' girls are pretty. how old are they?)
Sejujurnya saya udah menduga kalo ibu-ibu ini pengasuh. Tapi pas anak asuhnya nyamperin, saya cukup nanya "how old is she?" basa-basi umum gitu lah. Nggak pake embel-embel 'anak bos'.
ADVERTISEMENT
Setelah saya jelaskan kalo mereka anak-anak saya, dia minta maaf (karena salah tebakan.. atau 'tuduhan?') soal anak majikan barusan. Dia pikir, dengan warna kulit saya yang beda, plus tampilan casual saya tanpa make up (bahasa halusnya 'gak cakep dan meyakinkan'), saya gak kliatan kayak majikan pada umumnya. Such a moment of truth! *jleb*
Meskipun saya maafin dan senyum atas penjelasannya, percakapan tetap menjadi agak kaku, sebab menurutnya lagi, para majikan kalo nungguin anak itu jarang sendirian, jarang ngobrol, apalagi sama pengasuh anak orang. Teman-teman dekat saya tau banget, kalo saya suka ngobrol, termasuk dengan tukang, pembantu, asisten, supir, dsb. Jadi, sapa tau saya memang ga berbakat jadi majikan?
Untung aja nih, setelah si bungsu udah agak besar, satu persatu anak saya mulai menunjukkan fitur mirip ibunya. Plus, ibunya mulai berkurang dikit cueknya dan bertambah banyak ketabahannya menghadapi dugaan-dugaan ajaib, cenderung diskriminatif dan rasis semacam itu.
ADVERTISEMENT
Saya juga yakin, banyaaaaaak perempuan di luar sana yang mengalami perlakuan serupa. Jangan-jangan Anda juga korbannya? Tapi kalau misalnya Anda pelakunya, silakan direvisi persepsinya selama ini yah. Tenkiu lho!