Di Ujung Hari Perempuan Sedunia

finaisme
Wander Mother. @finaisme @totallyrendang
Konten dari Pengguna
8 Maret 2018 22:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari finaisme tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hari Perempuan Sedunia  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hari Perempuan Sedunia (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Jam menunjukkan pukul 10.30 malam saat saya mulai mengetik tulisan ini. Dalam 1,5 jam Hari Perempuan Sedunia (Women International Day) akan berakhir. Tapi justru di heningnya malam ini, saya bisa meresapi sesungguhnya makna hari yang diperjuangkan sejak lama, jauh sebelum lembaga PBB meresmikan tanggal 8 Maret sebagai hari peringatan atas perjuangan kesetaraan perempuan di tengah masyarakat dunia yang patriarkis.
ADVERTISEMENT
Saya menjalani hari ini seperti biasanya. Bangun sebelum jam 6 pagi, membuat sarapan untuk seluruh anggota keluarga, membantu 3 anak bersiap lalu mengantar mereka ke sekolah, bebersih rumah, mengurus cucian, mengecek sosial media sambil menghitung pesanan pelanggan, menjemput anak dari sekolah, mengantar les, berbelanja bahan makanan, memastikan suami makan malam dengan baik, menjemput les dan makan malam bersama anak-anak. Lalu menyetir pulang dan tiba di rumah menjelang pukul 9 malam. Benar, hari ini adalah hari yang biasa kok buat saya.
Tapi ada yang luar biasa. Yaitu mengingat bahwa di hari Kamis sebelumnya, dengan 'tuntutan' rutinitas yang sama, semua proses di rumah tangga saya yang panjang ini dituntaskan oleh suami seorang diri. Ya, Pak Suami merasakan menjadi single parent, alias working Dad + houseDad selama satu minggu. Lho, saya di mana? Tanya Anda. Saat itu saya sedang bepergian ke Jakarta, pulang ke rumah ibu, bercengkrama dengan teman-teman dan keluarga, tiga ribu kilometer jauhnya dari rumah. Apa perlu saya tambahkan kalau saya juga habis menonton Dilan yang fenomenal itu? hahaha.
ADVERTISEMENT
Di sepanjang hari ini, saya mencoba meresapi bagaimana suami saya harus menata agenda hariannya agar mampu mengerjakan tugas yang biasa saya lakukan, tanpa harus meninggalkan pekerjaannya di kantor, dan terutama, tanpa saya harus merasa bersalah karenanya. Lebih jauh lagi, saya meresapi betapa beruntungnya saya, di jaman ini, untuk dapat memiliki 'me-time' berkualitas, berkat dukungan 3 anak perempuan saya dan ayah mereka. Mungkin jika saya menjadi ibu dan istri sebelum 1977 (saat PBB menetapkan Hari Perempuan Sedunia), atau bahkan jauh sebelumnya, apa yang saya lakukan minggu lalu adalah penistaan atas fungsi saya sebagai perempuan yang juga istri dan ibu. Mungkin juga, jika saya hidup di masa itu, saya akan jadi bagian dari para perempuan yang menuntut hak mereka atau bisa saja sebaliknya! Menjadi perempuan yang pasrah pada keadaan atau mungkin saja memiliki gangguan jiwa dan raga karena diskriminasi yang dialami.
ADVERTISEMENT
Hari ini, tidak hanya saya berbahagia karena adanya Hari Perempuan Sedunia, tapi juga bersyukur karena orangtua saya telah sukses mendidik saya menjadi perempuan yang utuh. Perempuan yang tidak hanya pasrah pada kodrat tapi juga mampu meraih kesetaraan, sekurangnya di lembaga perkawinan yang saya jalani. Saya tidak perlu menjadi wanita karir, wanita seksi, wanita kaya, wanita sempurna untuk dihargai suami dan anak-anak. Saya boleh menjadi diri saya sendiri tanpa harus merasa berkecil hati di mata mereka.
Jangan salah, kita semua tahu kalau sistem patriarki yang kronis telah membuat banyak perempuan tidak merasa perlu untuk memperjuangkan hak mereka. Baginya, semua itu adalah kodrat, sepaket dengan anatomi tubuh yang diberikan Tuhan untuknya. Padahal tidak benar! Tidak benar hanya karena perempuan saja yang dikodratkan hamil dan melahirkan, maka perempuan saja yang boleh disalahkan jika pasangan tidak kunjung memiliki anak. Tidak benar perempuan korban pelecehan seksual bahkan perkosaan harus memaklumi para laki-laki yang bernafsu atas tubuhnya, bahkan disalahkan jika tidak berpakaian tertutup atau berjalan sendirian. Tidak benar jika seorang ibu yang merangkap karyawan diminta iklhas ketika promosi di kantor diprioritaskan untuk laki-laki, dengan alasan efektivitas. Tidak benar jika ibu rumah tangga boleh dilecehkan karena bergantung secara finansial pada suami, bahkan kadang oleh anak sendiri! Tidak benar seseorang dianggap lemah, cengeng, labil, emosional, amatiran, dan banyak stereotip lain hanya karena dia seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Seperti puzzle, yang menjadi utuh jika semua kepingannya tersusun dan terkait dengan rapi dan benar, maka kesejahteraan perempuan di dunia juga membutuhkan banyak kepingan dari berbagai aspek di masyarakat yang hingga hari ini masih banyak yang tercecer di sana sini. Terbukti dengan masih banyaknya berita miris tentang penyiksaan dan diskriminasi pada perempuan (yang banyak juga dilakukan oleh sesama perempuan!). Tapi harus kita akui kalau puzzle tersebut telah mengalami perbaikan dan terus membaik sampai hari ini. Sudah ada kepingan yang bertemu, tinggal diteruskan, diperbaiki, hingga seluruhnya utuh. Sudah banyak perempuan yang merasakan hasil perjuangan pendahulunya melalui terciptanya kesetaraan gender di berbagai bidang. Hari ini juga semakin banyak warga dunia, perempuan maupun laki-laki, yang sudah terbuka pikirannya.
ADVERTISEMENT
Saya sadar, tidak semua perempuan seberuntung saya. Masih panjang perjuangan mendobrak sistem patriarki yang entah kenapa sulit sekali diterjang. Dan inilah tugas besar yang masih harus dipikul 3 anak perempuan saya di masanya. Tugas besar para orangtua hari ini adalah terus mendidik anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan, bahwa tidak ada tuh warga kelas dua bernama perempuan.
Di ujung Hari Perempuan Sedunia tahun ini, saya mengantar 3 gadis kecil saya ke peraduan dengan pesan dan harapan pada mereka untuk menjadi manusia berguna untuk masyarakat bahkan dunia, apapun pilihan profesi mereka kelak. Semoga bekal yang terus menerus diperjuangkan orangtuanya, baik itu berupa pendidikan formal maupun informal serta pembentukan moral dan karakter positif, dapat dikembangkan lebih luas lagi saat mereka berkarya. Mereka harus bangga menjadi perempuan. Well, seperti ibunya, saya yakin mereka PASTI bangga menjadi perempuan, karena Tuhan memang menciptakan mereka dan semua perempuan dengan formula yang luar biasa. Saya harap, kalian juga berbangga, wahai perempuan di manapun dirimu berada. Selamat merayakan hari kita.
ADVERTISEMENT