Konten dari Pengguna

Di Pelabuhan Raha Ini, Ada “Spiderman” Juga, lho (Bagian II)

Fino Boeton
Wartawan, Dosen, Musisi Amatiran, Pembual Paruh Waktu.
20 Juli 2017 10:44 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fino Boeton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memang tidak semua anak-anak yang berkativitas di Pelabuhan Nusantara Raha ini tidak bersekolah atau putus sekolah, sebab ada beberapa dari mereka yang masih sekolah. Namun tidak menutup kemungkinan, mereka yang masih bersekolah tersebut, jika terus-terusan berada dan menjadi pekerja cilik di pelabuhan ini, akan putus sekolah juga.
ADVERTISEMENT
Ketika saya coba menanyakan ke salah satu ibu pedagang yang mempunyai lapak di area pelabuhan dan diketahui anaknya juga berjualan di kapal, enggan banyak berkomentar. Dia hanya mengatakan, tidak pernah memaksakan anaknya untuk berjualan apalagi harus putus sekolah.
“Saya tidak pernah paksa dia (anaknya) berjualan apalagi harus berhenti sekolah. Dia sendiri yang mau,” kata ibu berjilbab tersebut.
Edy Canra, mantan Komandan Pos Polisi Militer (POM) Kabupaten Muna mengungkapkan, sejak tahun 90-an, dimana saat itu belum ada kapal cepat (kapal jenis fiber), yang ada hanya kapal kayu, pemandangan banyaknya anak-anak yang menjual di pelabuhan atau menjadi buruh angkut barang, sudah ada dan tak asing lagi.
Bahkan kapal kayu yang memakan waktu lebih lama dibanding kapal fiber untuk sampai di daerah tujuan seperti Kota Kendari, tidak menyurutkan semangat anak-anak yang berjualan untuk ikut berlayar juga.
ADVERTISEMENT
“Anak-anak yang berjualan itu, biasanya ikut kapal. Nanti keesokan harinya saat kapal balik lagi ke Pelabuhan Raha, barulah mereka ikut pulang juga. Jadi saat itu, mungkin mereka terpaksa mengorbankan sekolahnya,” kisahnya.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Muna yang saat itu dijabat, LM Satri saat ditemui di kediamannya mengaku jika saat ia menjabat sebagai Kepala Dinsos beberapa tahun lalu, hal itu yang menjadi perhatiannya adalah soal anak-anak yang biasa menjual dan menjadi buruh angkut barang di Pelabuhan Nusantara Raha.
Namun, saat melakukan pengecekan langsung, ternyata anak-anak tersebut tidak termasuk dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), jadi Dinsos tidak bisa “masuk” ke ranah tersebut untuk mengurusnya. Ia menyebutkan bahwa ini merupakan ranah dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
ADVERTISEMENT
“Saat saya kroscek langsung di lapangan, ternyata anak-anak ini bukan masuk pada kategori PMKS. Jadi kami juga tidak bisa berbuat apa-apa,” kilahnya.
Ia menjelaskan, yang masuk dalam PMKS kategori anak adalah, anak balita atau anak atau terlantar usia hingga 18 tahun, anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak nakal, anak jalanan dan anak cacat. Sementara anak-anak tersebut, tidak termasuk di kategori itu.
“Mereka punya orang tua, tempat tinggal dan sebagian juga bersekolah. Kita pernah mau membuatkan mereka rumah singgah, tapi untuk apa kalau saat sudah sore di mana tidak ada lagi jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal, anak-anak tersebut pulang ke rumah mereka masing-masing. Jadi mereka bukan termasuk anak terlantar atau sebagainya,” ulasnya.
ADVERTISEMENT
Satri menegaskan, persoalan ini bukan ranah Dinsos untuk mengatasinya. Yang dibutuhkan adalah peran dan pengertian orang tua dari anak-anak itu. Semua harus sadar bahwa, anak-anak hanya menjalankan dua perannya yakni belajar dan bermain.
“Namun, ini memang dilematis ketika diperhadapkan dengan persoalan ekonomi. Tidak mungkin kita larang jika orang tua membutuhkan bantuan anaknya yang masih dalam usia sekolah untuk ikut membantu berjualan,” terang Satri.
Sementara itu, Sitti Sahara, pendiri sekaligus pengurus LSM Komunitas Pemerhati Perempuan dan Anak (Kompak) Sultra mengatakan, fenomena atau kondisi seperti itu dikarenakan tidak adanya sebuah kebijakan dari pemerintah daerah yang ramah anak. Di mana persoalan yang berkaitan dengan anak, bukan menjadi prioritas pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan.
ADVERTISEMENT
Dan, maraknya anak-anak yang menjadi pelaku ekonomi di Pelabuhan Nusantara Raha yang sudah terjadi sejak berpuluh-puluh tahun lalu, bukan menjadi alasan untuk tidak bisa menghilangkan fenomena tersebut. Karena hal ini bisa menjadi bom waktu.
“Saat ini mungkin anak-anak itu hanya menjadi penjual ataupun buruh angkut barang. Tapi yang harus diperhatikan adalah terjadinya premanisasi anak dan peluang itu sangat besar terjadi. Berawal dari pertengkaran mulut yang terjadi dengan alasan tertentu hingga berujung pada perkelahian. Dan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja dan dianggap sebagai sebuah fenomena atau potret kehidupan anak di pelabuhan,” terangnya.
Ia juga menyinggung soal peran orang tua yang harus paham bahwa mungkin dari segi ekonomi anak-anak tersebut diharuskan membantu orang tuanya berjualan. Namun yang harus diingat bahwa posisi anak di sini hanya sebatas bagaimana ia mencoba belajar berwirausaha sejak dini dan tidak boleh ada patokan yang mengharuskan anak tersebut mendapat penghasilan tertentu.
ADVERTISEMENT
“Karena posisi anak ketika diminta orang tuanya untuk berjualan, bukanlah sebagai pekerja. Mereka hanya mencoba membantu sekaligus belajar berwirausaha. Jadi jangan pernah dipatok berapa besar hasil dari mereka berjualan,” tegasnya.
Saya sempat menanyakan masalah ini ke Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka Sirait saat itu. Ia mengaku perihatin mendengar kabar adanya anak-anak yang beraktivitas di pelabuhan tersebut baik yang berjualan maupun yang jadi buruh angkut barang.
Ia menegaskan bahwa apa yang terjadi di Pelabuhan Nusantara Raha tersebut yang sudah bertahun-tahun merupakan hal yang bertentangan dan melanggar undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dimana itu termasuk dalam kategori tindak pidana eksploitasi anak secara ekonomi.
“Apapun alasan orang tua mereka yang mengatakan anak-anak mereka menjadi penjual atau buruh angkut barang di pelabuhan karena tuntutan ekonomi atau inisiatif anak itu sendiri dan tidak ada paksaan, sama sekali tidak dibenarkan,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
“Tidak mungkin anak-anak itu tidak ada beban saat melakukan pekerjaannya. Ingin mendapatkan uang, itu termasuk beban. Dan saat ada pembiaran seperti ini, ini merupakan tindak pidana,” tambahnya.
Arist juga membantah apa yang dikatakan Kepala Dinsos Kabupaten Muna, LM Satri yang menyebutkan Dinsos tidak bisa masuk ke ranah itu karena anak-anak tersebut bukan anak terlantar. Justru pemerintah daerah dalam hal ini Dinsos Kabupaten Muna melindungi dan tidak melakukan pembiaran-pembiaran seperti itu. Apalagi sampai menyebutkan tidak bisa masuk ke ranah itu karena bukan kategori PMKS.
“Pemerintah harus mencari solusi, karena apa yang dilakukan anak-anak itu termasuk pekerjaan terburuk yang dilarang dalam undang-undang. Dan selain Dinsos, pihak yang bertanggung jawab lainnya adalah Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Karena yang dilarang bukan anaknya tapi pihak-pihak yang melakukan pembiaran tersebut,” terang Arist.
ADVERTISEMENT
Ketua KPAI ini meminta agar Pemerintah Kabupaten Muna dalam hal ini Dinsos dan Disnaker harus melakukan upaya-upaya preventif dengan memfasilitasi anak-anak tersebut agar tidak lagi bekerja lagi seperti itu. “Persoalan ini harus segera diatasi,” pungkasnya.
Baca Juga: