Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Digital Otoritarianisme: Tidak Terpenuhinya Hak Asasi dalam Cyberspace
27 November 2023 18:18 WIB
Tulisan dari Alfira Prashanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, di berbagai negara pemerintah kerap kali melakukan pengawasan yang cukup ketat terhadap aktivitas masyarakatnya di internet. Pemerintah menggunakan teknologi digital untuk memantau, mengendalikan, bahkan membatasi aktivitas serta informasi yang didapatkan masyarakatnya dari internet. Pengawasan seperti itu dapat disebut sebagai digital authoritarianism. Kerap tidak disadari bahwa sebenarnya pengawasan dan pengendalian yang berlebihan dapat melanggar hak asasi manusia, yaitu melanggar freedom of speech dan freedom from fear.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang biasanya dilakukan dalam pemerintahan yang menerapkan otoritarianisme digital adalah menggunakan filter atau sensor untuk memblokir akses atau konten yang dianggap sensitif ,tidak sejalan, atau mengancam bagi otoritas mereka, melakukan pemblokiran aplikasi atau platform tertentu, dan dengan teknologi yang canggih pemerintah juga dapat melacak bahkan melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap berpotensi menggiring opini publik agar melawan pemerintah.
Pemerintah sepertinya memang sadar betul akan kekuatan opini publik, karena itu tak jarang pemerintah suatu negara berusaha keras mengendalikan opini masyarakat yang mencuat di internet. Dalam otoritarianisme digital, pemerintah biasanya mencoba mem-filter opini yang sekiranya tidak sejalan dengan kebijakan dan kepentingan pemerintah negara tersebut.
Contoh kasus dimana hak untuk bebas menyampaikan pendapat (freedom of speech) individu direnggut adalah di Cina pada 2021 lalu. Ketika pengguna sosial media sedang merasakan euforia karena ada platform Clubhouse yang dapat mewadahi mereka untuk saling bertukar pikiran dan mengobrol dari topik ringan hingga serius, pemerintah tiba-tiba memblokir aplikasi tersebut. Rupanya aplikasi Clubhouse tidak lagi diperbolehkan untuk digunakan tidak lain tidak bukan karena dalam suatu obrolan Clubhouse, ada pembahasan mengenai isu yang cukup sensitif, yaitu mengenai kamp reedukasi Xinjiang dan kemerdekaan Taiwan. Padahal, sebelumnya obrolan-obrolan dalam Clubhouse tersebut sempat luput dari sensor pemerintah Cina. Pemblokiran situs-situs tertentu juga dapat mengganggu privasi individu dalam hal akses ke informasi yang dianggap penting atau relevan dan independen.
ADVERTISEMENT
Pemblokiran aplikasi Clubhouse tentu bukan merupakan sesuatu yang baru di Cina, mengingat adanya The Great Firewall of China yang diterapkan oleh pemerintah Tiongkok untuk mengendalikan serta membatasi akses informasi yang masuk dan keluar dari Tiongkok melalui internet. Penggunaan Great Firewall of China jelas telah membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, serta akses terhadap informasi bagi masyarakat Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa terbelenggunya kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia merupakan suatu hal yang cukup menghambat masyarakat karena mereka tidak bisa menyuarakan pendapat tanpa ketakutan akan represi dari pemerintah.
Selain pelanggaran terhadap hak kebebasan berpendapat (freedom of speech), otoritarianisme digital juga memberi dampak yang cukup signifikan pada tidak terpenuhinya perlindungan data pribadi (freedom from fear). Pemerintah yang menerapkan hal tersebut kerap melakukan pemantauan yang intensif terhadap aktivitas online masyarakat. Hal ini mencakup penyadapan komunikasi pribadi, pengawasan terhadap jejak digital, dan analisis data secara besar-besaran. Dengan demikian, privasi individu dalam berkomunikasi secara online terganggu karena potensi adanya akses yang tidak sah terhadap informasi pribadi.
ADVERTISEMENT
Pada intinya, sebenarnya tujuan dari implementasi digital authoritarianism ini adalah untuk mempertahankan kekuasaan politik, menjaga stabilitas sosial, atau melindungi kepentingan tertentu dari pemerintahan yang otoriter. Namun, praktik ini seringkali bertentangan dengan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan juga prinsip-prinsip demokrasi.
Terkait upaya internasional untuk mencegah berbagai kejahatan siber, sebenarnya sejak Mei 2021, negara-negara anggota PBB telah menegosiasikan perjanjian internasional untuk melawan kejahatan siber. Jika diadopsi oleh Majelis Umum PBB, ini akan menjadi instrumen PBB pertama yang mengikat mengenai masalah siber. Namun lagi-lagi ada kekhawatiran tersendiri terkait adanya The UN Cybercrime Treaty ini. Dikhawatirkan jika tanpa adanya ruang lingkup yang jelas dan perlindungan yang memadai, perjanjian ini dapat mencederai pemenuhan HAM karena pemerintah yang represif berpotensi menyalahgunakan ketentuan-ketentuannya untuk mengkriminalisasi kebebasan berbicara secara online. Selain itu perjanjian ini juga berpotensi mengancam hak-hak digital dengan legitimasi investigasi yang mengganggu dan akses penegak hukum tanpa hambatan ke informasi pribadi.
ADVERTISEMENT
Otoritarianisme digital menciptakan kendala serius terhadap kebebasan berbicara, membatasi akses informasi, dan merugikan privasi individu melalui tindakan pemblokiran konten sensitif dan pemantauan berlebihan. Pelanggaran privasi individu dalam konteks otoritarianisme digital tidak hanya mengancam kebebasan berbicara, tapi juga melanggar hak privasi yang seharusnya dilindungi. Tanggung jawab perusahaan teknologi adalah mengembangkan inovasi yang memperkuat privasi dan keamanan pengguna, sambil memperhatikan dampak etis dan hak asasi manusia.
Perlindungan hak-hak individu secara digital bukan hanya tentang privasi, namun juga menjaga kebebasan berekspresi, mempromosikan keadilan, dan memastikan bahwa teknologi memberikan manfaat tanpa mengorbankan hak dasar individu. Diperlukan kesadaran dan langkah konkrit dalam meningkatkan keamanan digital.