news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Aku Lahir Dari Timur, Cara Berhukumku Barat

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
10 Maret 2025 13:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku lahir dari Timur, dari tanah yang kaya akan adat, falsafah, dan kesepakatan yang dijaga dengan tenun kebersamaan. Di tanah ini, hukum dulu bukanlah teks, bukan barisan pasal-pasal yang dingin dan kaku. Ia adalah rasa, kesepahaman yang diikat dalam kepercayaan, disampaikan dalam petuah, dikuatkan dalam musyawarah. Aku tumbuh dalam kebudayaan yang melihat hukum sebagai bagian dari kehidupan, bukan sebagai kekuasaan yang mencengkram. Namun, di tengah jalan, aku belajar sesuatu yang lain: cara berhukum yang berbeda, yang lebih tegas, lebih sistematis, tetapi juga lebih asing.
ADVERTISEMENT
Barat memperkenalkan hukum sebagai sistem. Sebuah mesin besar yang bekerja dengan aturan, preseden, doktrin, dan prosedur yang serba pasti. Hukum di sana tidak mengenal basa-basi, tidak ada ruang untuk negosiasi rasa. Ada norma yang tertulis, ada sanksi yang jelas, ada hakim yang menimbang berdasarkan argumen rasional, bukan pertimbangan batin. Aku mulai memahami bahwa ada cara lain dalam melihat hukum—bukan lagi sebagai bagian dari moralitas kolektif, melainkan sebagai struktur yang berdiri sendiri, bebas dari ikatan emosi dan adat.
Ilustrasi Budaya Nusa Tenggara Timur, Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Budaya Nusa Tenggara Timur, Sumber: Freepik
Lalu, aku menjadi seseorang yang berdiri di antara dua dunia. Aku yang lahir dari Timur, tetapi pikiranku dibentuk oleh Barat. Aku yang diajarkan bahwa hukum adalah soal kepatuhan, tetapi juga tumbuh dalam lingkungan yang melihat hukum sebagai perundingan. Di sinilah aku mulai bertanya: Di mana aku berdiri? Apakah aku harus tetap memeluk hukum dalam bentuknya yang paling asli, sebagai perpanjangan dari kebudayaan yang membesarkanku? Atau harus sepenuhnya berpaling ke Barat, menjadikan hukum sebagai ilmu yang steril dari kebiasaan, dari relasi sosial, dari tarikan-tarikan budaya?
ADVERTISEMENT
Barat datang dengan hukum tertulis, dengan sistem yang menjanjikan kepastian. Kita menerimanya, mengadopsinya dengan semangat modernisasi, dengan keinginan agar kita tak lagi dianggap primitif. Kita menyusun konstitusi, mengatur perundang-undangan, membangun lembaga peradilan. Kita belajar dari Montesquieu, dari Hans Kelsen, dari John Austin, dari Oliver Wendell Holmes. Kita mengimpor gagasan tentang negara hukum, tentang pemisahan kekuasaan, tentang supremasi hukum. Tetapi dalam perjalanan itu, kita lupa bahwa hukum yang kita adopsi tak selalu bisa menyatu dengan cara hidup kita yang sudah ada sejak lama.
Di desa-desa, hukum masih dipahami sebagai sesuatu yang cair. Sengketa diselesaikan dalam musyawarah, bukan di pengadilan. Hukuman tak selalu berupa pemenjaraan, tetapi bisa berbentuk pemulihan hubungan sosial. Bahkan dalam praktik pemerintahan, hukum sering kali dikesampingkan demi harmoni. Kita tetap menghargai kesepakatan-kesepakatan tak tertulis, kita tetap percaya bahwa keadilan tidak selalu ada dalam pasal, melainkan dalam pemahaman bersama.
ADVERTISEMENT
Namun, kita juga tahu bahwa hukum yang terlalu cair bisa berubah menjadi kekuasaan tanpa batas. Kita melihat bagaimana hukum adat sering kali tunduk pada kepentingan para penguasa lokal. Kita melihat bagaimana ketidakpastian hukum menciptakan ruang bagi korupsi, bagi penyalahgunaan wewenang, bagi ketidakadilan yang tersembunyi di balik dalih "musyawarah mufakat."
Di sisi lain, kita pun menyaksikan bagaimana hukum yang terlalu kaku, yang terlalu kental dengan cara pikir Barat, gagal memahami realitas sosial kita. Undang-undang dibuat tanpa memahami konteks lokal, hukum ditegakkan dengan cara yang mekanis, tanpa melihat dimensi sosial dan psikologis dari masyarakat yang diaturnya. Pengadilan menjadi tempat di mana kata-kata lebih berkuasa daripada rasa keadilan, di mana hakim lebih percaya pada teks hukum daripada kebijaksanaan yang muncul dari kehidupan.
ADVERTISEMENT
Aku sering bertanya-tanya, apakah aku harus memilih? Apakah aku harus menjadi sepenuhnya Timur, atau sepenuhnya Barat?
Di pengadilan, aku melihat bagaimana hukum Barat bekerja. Ada argumen yang disusun, ada prosedur yang diikuti, ada keputusan yang dijatuhkan. Tapi di luar pengadilan, aku melihat hukum dalam bentuknya yang lain. Ada kepala desa yang menyelesaikan perselisihan dengan duduk bersama, ada orang tua yang mendamaikan sengketa tanpa memerlukan hakim. Ada keadilan yang lahir dari kebiasaan, dari nilai-nilai yang tak tertulis.
Aku mulai memahami bahwa mungkin pertanyaannya bukan tentang Timur atau Barat. Mungkin hukum tak harus dipilih seperti memilih baju yang harus dikenakan. Mungkin hukum harus tetap hidup dalam keduanya—dalam sistem yang tertulis, tetapi juga dalam kebijaksanaan yang lahir dari kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Kita bisa belajar dari Barat tentang pentingnya kepastian hukum, tentang perlunya aturan yang jelas dan sistem yang tegas. Tetapi kita juga tak boleh melupakan bahwa hukum bukan sekadar teks. Ia adalah sesuatu yang hidup, yang tumbuh dari cara kita berinteraksi, dari nilai-nilai yang kita junjung.
Hukum Barat mengajarkan aku tentang rasionalitas, tentang struktur, tentang pentingnya institusi. Tapi hukum Timur mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar aturan: ada kebijaksanaan, ada perasaan, ada keadilan yang tak selalu bisa ditulis dalam pasal-pasal hukum.
Aku lahir dari Timur, tetapi cara berpikirku dibentuk oleh Barat. Aku memahami hukum sebagai sistem, tetapi juga melihatnya sebagai kebiasaan sosial. Aku mengerti pentingnya aturan, tetapi juga menyadari bahwa keadilan tak selalu bisa ditemukan dalam teks hukum. Aku tahu bahwa hukum bukan sekadar alat untuk menghukum, tetapi juga untuk menyembuhkan.
ADVERTISEMENT
Mungkin, kita tak perlu memilih antara Timur dan Barat. Mungkin, kita bisa merajut keduanya. Mengambil yang terbaik dari sistem yang tertulis, tetapi juga tak melupakan kebijaksanaan yang lahir dari kehidupan.
Sebab hukum, pada akhirnya, bukan tentang Timur atau Barat. Hukum adalah tentang manusia, tentang bagaimana kita hidup bersama, tentang bagaimana kita menciptakan keadilan dalam dunia yang terus berubah.