Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Arus Balik Militerisme
28 Februari 2025 19:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejarah, seperti sungai, selalu bergerak. Kadang ia mengalir tenang, kadang ia membentuk pusaran, kadang ia meluap, menenggelamkan yang ada di tepinya. Tapi ada kalanya, arus yang kita kira telah berlalu justru berbalik arah. Seperti militerisme.
ADVERTISEMENT
Di banyak negara, militerisme pernah menjadi arus utama, suatu doktrin yang merasuk ke dalam politik, ekonomi, dan bahkan kebudayaan. Ia adalah keyakinan bahwa negara harus dikelola dengan disiplin, hierarki, dan kekuatan. Ia menjanjikan ketertiban di tengah kekacauan, stabilitas di tengah ketidakpastian. Tapi seperti semua ideologi yang mengandalkan kekuasaan, ia cenderung lupa bahwa rakyat bukanlah barak, dan negara bukanlah kamp militer.
Reformasi di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini, pernah membawa harapan bahwa era militerisme telah berakhir. Bahwa tentara akan kembali ke baraknya, dan politik akan dikelola oleh mereka yang dipilih oleh rakyat. Tapi kini, tanda-tanda itu kembali. Bukan dengan tank di jalan-jalan atau kudeta terbuka, tetapi dalam bentuk yang lebih halus, lebih perlahan. Sebuah arus balik.
Militerisme modern tak selalu datang dalam bentuk sepatu lars yang menghentak di aspal, atau suara komando yang menggema di alun-alun. Ia sering datang dengan bahasa yang lebih halus: stabilitas, kedisiplinan, keamanan. Para jenderal yang dulu hanya berdiri di balik tembok markas, kini mulai bicara tentang kesejahteraan rakyat, tentang politik kebangsaan. Mereka muncul di layar televisi, mengomentari kebijakan publik, tampil dalam debat politik, seolah negara ini tak bisa berjalan tanpa arahan mereka.
ADVERTISEMENT
Apa yang menyebabkan arus balik ini? Barangkali karena politik sipil gagal memenuhi harapan. Demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah ternyata tidak otomatis menghadirkan kesejahteraan. Korupsi merajalela, kebijakan sering kali mandek di meja birokrasi, dan para politisi lebih sibuk berdebat daripada bekerja. Dalam situasi seperti itu, militerisme menawarkan sesuatu yang tampak sederhana: ketegasan. Sebuah alternatif dari politik yang ragu-ragu.
Tapi sejarah memberi kita banyak pelajaran. Bahwa militerisme, meskipun tampak efektif di permukaan, hampir selalu berakhir dengan satu kesimpulan: kekuasaan tanpa kontrol melahirkan otoritarianisme. Ia mungkin menjanjikan stabilitas, tapi stabilitas tanpa demokrasi adalah penjara. Ia mungkin menawarkan ketertiban, tapi ketertiban yang dipaksakan selalu berujung pada ketakutan.
Kita telah melihat bagaimana militerisme, ketika diberi ruang terlalu luas, mulai mengatur segalanya. Bukan hanya pertahanan negara, tetapi juga urusan sipil: dari pendidikan hingga ekonomi. Kita telah menyaksikan bagaimana bahasa komando mulai menggantikan bahasa dialog, bagaimana perbedaan pendapat mulai dianggap sebagai ancaman, dan bagaimana mereka yang mengkritik mulai dicap sebagai pengganggu ketertiban.
ADVERTISEMENT
Barangkali, yang paling berbahaya dari arus balik militerisme bukanlah seragam atau senjata, tetapi cara berpikir yang ia bawa. Cara berpikir bahwa negara harus dijalankan seperti institusi militer: satu suara, satu komando, tanpa ruang bagi perbedaan. Padahal, demokrasi adalah tentang keberagaman, tentang perdebatan yang terus-menerus, tentang kebebasan berpikir.
Ada pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan: apakah kita benar-benar membutuhkan militerisme untuk menyelamatkan negara? Atau sebenarnya kita hanya membutuhkan pemerintahan sipil yang lebih kuat, lebih berintegritas, lebih berani mengambil keputusan? Jika politik sipil terlihat rapuh, solusinya bukan membawa kembali militerisme, tetapi membangun kembali kepercayaan pada demokrasi.
Tentu, kita tidak bisa menafikan peran militer dalam negara. Mereka adalah penjaga kedaulatan, pelindung dari ancaman luar. Tapi peran itu seharusnya tetap dalam ranah pertahanan, bukan politik. Militer yang kuat bukanlah militer yang terlibat dalam urusan sipil, tetapi militer yang profesional, yang tahu batasannya, yang berdiri di belakang rakyat, bukan di atasnya.
ADVERTISEMENT
Namun, di banyak negara, termasuk di sini, batas itu mulai kabur. Ketika pensiunan jenderal dengan mudahnya beralih menjadi pejabat publik, ketika kebijakan strategis lebih banyak ditentukan oleh mereka yang dulu berdinas di ketentaraan, kita perlu bertanya: apakah ini tanda kemunduran? Apakah kita sedang mundur ke masa di mana segala sesuatu harus ditentukan dengan disiplin militer, bukan dengan demokrasi?
Arus balik militerisme bukan sekadar fenomena politik, tetapi juga fenomena sosial. Ketika masyarakat mulai merindukan kepemimpinan yang tegas, ketika mereka melihat demokrasi sebagai sesuatu yang kacau, ketika mereka lebih menghargai ketertiban daripada kebebasan, saat itulah militerisme menemukan jalannya kembali. Sebab militerisme tidak hanya datang dari atas, ia juga datang dari bawah, dari keinginan masyarakat untuk kembali pada sesuatu yang mereka anggap pasti.
ADVERTISEMENT
Tapi tidak ada yang pasti dalam politik. Negara yang sehat bukanlah negara yang dijalankan dengan satu komando, melainkan negara yang mampu mengelola keberagaman. Negara yang tidak takut pada perbedaan pendapat, negara yang pemimpinnya tidak merasa perlu menggunakan disiplin militer untuk mengatur rakyatnya.
Kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar ingin kembali ke masa di mana kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh mereka yang pernah memegang senjata? Apakah kita ingin membiarkan demokrasi mundur, hanya karena kita kecewa pada politisi sipil? Atau justru kita harus menuntut demokrasi yang lebih baik, pemerintahan yang lebih kuat, tanpa harus bergantung pada militerisme?
Sejarah selalu bergerak, dan kita selalu punya pilihan: membiarkan arus balik militerisme membawa kita mundur, atau belajar dari masa lalu dan memilih jalan yang lebih beradab. Bukan ketegasan tanpa batas, bukan ketertiban yang menekan kebebasan, tapi demokrasi yang matang, yang tahu bagaimana membangun negara tanpa harus kembali pada disiplin komando.
ADVERTISEMENT
Karena jika kita tak hati-hati, arus balik ini bisa menjadi gelombang besar yang menenggelamkan demokrasi itu sendiri.