Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Badan Legislasi Nasional
2 Maret 2025 11:51 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Sebuah Catatan tentang Hukum yang Tak Selesai)
Hukum adalah janji yang selalu tertunda. Ia seperti prosa yang tak pernah rampung, seperti arsitektur yang dirancang tetapi tak pernah selesai dibangun. Di negeri ini, kita hidup dengan undang-undang yang berubah-ubah, bertumpuk-tumpuk, seperti naskah yang ditulis oleh banyak tangan, tapi tanpa editor yang memastikan keselarasan dan kejelasannya.
ADVERTISEMENT
Suatu kali, seorang ahli hukum pernah berkata: di Indonesia, kita lebih sering membicarakan revisi daripada perancangan. Kita lebih sibuk menambal undang-undang yang bocor daripada membangun sistem hukum yang kokoh sejak awal. Dalam satu periode pemerintahan, puluhan bahkan ratusan aturan dibuat, diperbaiki, dibatalkan, atau direvisi. Tapi, apakah semua itu benar-benar membentuk sistem yang tertata?
Di dalam sejarah republik ini, ada satu ironi yang selalu terulang. Sejak awal, kita membayangkan hukum sebagai fondasi yang akan membuat negara ini berdiri tegak. Tapi, dalam praktiknya, hukum justru sering menjadi perdebatan tanpa akhir—bukan karena kita tak punya cukup ahli, melainkan karena hukum selalu bergerak di antara tarikan kepentingan. Ada hukum yang dibuat untuk bertahan lama, tapi lebih banyak yang dirancang untuk menjadi alat transaksi kekuasaan. Ada hukum yang lahir dari gagasan besar, tapi lebih sering kita mendapati aturan yang lahir dari kompromi yang terburu-buru.
Hukum yang Beranak-Pinak
ADVERTISEMENT
Ada yang menyebut ini sebagai hiperregulasi: keadaan di mana aturan hukum tumbuh liar, menumpuk seperti lembaran-lembaran kertas yang tak pernah tersusun rapi. Indonesia punya ribuan peraturan, dari undang-undang di tingkat nasional hingga perda-perda di tingkat daerah. Masing-masing dibuat dengan niat baik—setidaknya begitu yang dikatakan para penyusunnya—tetapi banyak yang justru menciptakan kontradiksi baru.
Aturan yang satu bertentangan dengan yang lain. Sebuah kebijakan di tingkat pusat bisa saja berbenturan dengan kebijakan daerah. Sebuah undang-undang bisa menegasikan aturan yang sudah ada, tanpa pernah benar-benar dihapus. Akhirnya, kita hidup dalam kekacauan hukum yang samar-samar: hukum ada, tapi kadang tak berlaku; hukum dibuat, tapi seringkali tak ditegakkan.
Di tengah situasi ini, muncul gagasan tentang Badan Legislasi Nasional. Sebuah badan yang diharapkan bisa merapikan rimba hukum yang berantakan ini. Sebuah institusi yang tidak hanya menyusun undang-undang baru, tetapi juga memastikan bahwa setiap peraturan yang ada saling berkaitan, saling menguatkan, bukan saling membatalkan.
ADVERTISEMENT
Ide ini bukan sesuatu yang benar-benar baru. Presiden Joko Widodo pernah mewacanakannya sebagai bagian dari upaya deregulasi, sebagai cara untuk merampingkan birokrasi hukum yang selama ini terlalu bertele-tele. Ada keinginan untuk membentuk satu lembaga yang bisa menyelaraskan berbagai aturan, agar hukum tidak lagi menjadi labirin yang membingungkan, agar setiap kebijakan yang dibuat benar-benar memiliki dasar yang kuat.
Tetapi, seperti banyak gagasan besar lainnya, Badan Legislasi Nasional masih sebatas ide. Ia berputar di dalam seminar, di dalam pidato-pidato resmi, di dalam diskusi akademik. Tapi, ia belum menjadi kenyataan.
Antara Hukum dan Politik
Tentu saja, ada alasan mengapa gagasan ini sulit diwujudkan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa hukum di Indonesia tidak pernah benar-benar lepas dari politik. Setiap undang-undang yang lahir adalah hasil tarik-menarik kepentingan. Tidak ada regulasi yang benar-benar netral. Setiap pasal yang disusun, setiap ayat yang ditulis, selalu membawa konsekuensi politik.
ADVERTISEMENT
Di Senayan, Baleg DPR adalah garda terdepan dalam proses legislasi. Mereka merancang, membahas, dan memutuskan hukum-hukum yang akan berlaku di negeri ini. Tapi, dalam sistem yang ada sekarang, Baleg bukanlah satu-satunya aktor. Ada kementerian yang juga memiliki kewenangan dalam penyusunan regulasi. Ada Bappenas, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan kementerian-kementerian lainnya yang ikut terlibat dalam perancangan kebijakan hukum.
Dengan struktur seperti ini, hukum tidak hanya menjadi urusan teknis, tetapi juga menjadi arena perebutan pengaruh. Setiap institusi ingin memiliki peran. Setiap lembaga ingin terlibat. Dalam kondisi seperti ini, membentuk satu badan yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur legislasi nasional bukanlah perkara mudah.
Jika Badan Legislasi Nasional benar-benar didirikan, siapa yang akan mengendalikan? Apakah ia akan berada di bawah presiden, seperti lembaga negara lainnya? Ataukah ia akan menjadi badan independen yang berdiri sendiri? Apakah DPR akan rela menyerahkan sebagian kewenangannya dalam pembentukan undang-undang? Dan yang lebih penting lagi: apakah badan ini benar-benar akan berfungsi sebagai penjaga sistem hukum, ataukah ia hanya akan menjadi birokrasi baru yang menambah panjang jalur administrasi?
ADVERTISEMENT
Menata Hukum, Menata Peradaban
Ada sebuah cita-cita yang pernah dikemukakan para pemikir hukum: bahwa hukum bukan hanya sekadar aturan yang dibuat untuk menata kehidupan sehari-hari, tetapi juga sebuah fondasi yang menentukan arah sebuah bangsa. Hukum yang baik bukan hanya hukum yang tertulis di dalam kitab undang-undang, tetapi hukum yang mampu menciptakan ketertiban, keadilan, dan kepastian.
Di Indonesia, kita masih jauh dari kondisi itu. Hukum kita masih sering berubah-ubah, mengikuti arus kepentingan yang datang dan pergi. Banyak peraturan yang dibuat dengan tergesa-gesa, kemudian direvisi dalam waktu singkat. Banyak undang-undang yang disahkan tanpa kajian mendalam, lalu menuai kontroversi di kemudian hari. Dalam situasi seperti ini, gagasan tentang Badan Legislasi Nasional menjadi semakin penting.
ADVERTISEMENT
Tapi, seperti semua hal dalam politik, ide yang baik saja tidak cukup. Yang lebih sulit adalah bagaimana mewujudkannya. Bagaimana memastikan bahwa badan ini tidak hanya menjadi tambahan birokrasi, tetapi benar-benar menjadi institusi yang bisa bekerja dengan baik? Bagaimana memastikan bahwa ia tidak menjadi alat kekuasaan yang hanya mengikuti kepentingan politik yang sedang berkuasa? Bagaimana memastikan bahwa hukum yang dihasilkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat?
Pada akhirnya, kita kembali kepada pertanyaan yang lebih besar: apakah hukum di negeri ini benar-benar dibuat untuk kepentingan rakyat, ataukah ia hanya menjadi instrumen bagi segelintir elite?
Badan Legislasi Nasional, jika benar-benar diwujudkan, seharusnya bukan hanya menjadi badan administratif. Ia harus menjadi jantung dari reformasi hukum yang lebih luas. Ia harus memiliki keberanian untuk menghapus aturan-aturan yang tumpang-tindih, untuk menyederhanakan regulasi yang berlebihan, dan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yang dibuat memiliki visi yang jelas.
ADVERTISEMENT
Tapi, jika ia hanya akan menjadi lembaga yang mengulang pola lama—sekadar tempat untuk menyusun lebih banyak aturan tanpa menyelesaikan masalah—maka ia tak akan lebih dari sekadar tambahan dalam daftar panjang institusi yang ada di negeri ini.
Hukum, pada akhirnya, bukan hanya soal aturan. Ia adalah soal bagaimana kita membangun peradaban. Jika kita ingin membangun hukum yang lebih baik, kita harus memulainya dari satu hal yang paling mendasar: keberanian untuk berpikir ulang, untuk merancang ulang, untuk tidak sekadar menambal yang rusak, tetapi untuk membangun yang benar-benar baru.
Jika tidak, kita hanya akan terus hidup dalam sistem hukum yang tak pernah selesai. Seperti jalan berdebu yang selalu berlubang, yang terus diperbaiki tapi tak pernah benar-benar menjadi utuh.
ADVERTISEMENT