Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Bahasa Hukum
7 Maret 2025 13:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hukum, pada dasarnya, adalah janji. Sebuah kesepakatan yang dituangkan dalam kata-kata, mengikat mereka yang hidup di dalamnya. Namun, kata-kata bisa bermuka dua: memberi kejelasan atau justru menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, hukum sering kali berbicara dalam bahasa yang sulit dimengerti. Kalimatnya panjang, berliku, sarat dengan istilah teknis yang lebih dekat dengan dunia akademik ketimbang dengan kehidupan sehari-hari. Pasal demi pasal tersusun seperti labirin, seakan-akan hukum tidak ingin dipahami, tetapi hanya ingin ditaati.
Bahasa hukum seharusnya menjembatani, bukan menjauhkan. Ia ada untuk menjelaskan hak dan kewajiban, bukan untuk membuat rakyat merasa asing di negeri sendiri. Tetapi kenyataannya, berapa banyak orang yang benar-benar memahami undang-undang yang mengatur mereka?
Di pengadilan, bahasa hukum semakin jauh dari rakyatnya. Putusan ditulis dalam kalimat yang berputar-putar, dalam struktur yang lebih banyak mengulang daripada menjelaskan. Seorang pencari keadilan yang membaca berkas perkara mungkin akan merasa bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dicapai, tetapi sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memiliki gelar di belakang namanya.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, bahasa hukum yang seharusnya membawa kepastian justru sering menjadi alat untuk membelokkan makna. Kata-kata yang tampak lugas bisa ditafsirkan berbeda oleh mereka yang berkepentingan. Sebuah pasal yang terlihat sederhana bisa berubah makna di tangan mereka yang memiliki kekuasaan menafsirkannya.
Maka lahirlah pertanyaan: apakah bahasa hukum memang diciptakan untuk dipahami, atau justru untuk menciptakan jarak antara hukum dan rakyat?
Di ruang-ruang sidang, di kantor pemerintahan, di lembaran negara yang memuat peraturan baru, bahasa hukum terus berkembang menjadi sesuatu yang semakin eksklusif. Sebuah dunia tersendiri, di mana kata-kata memiliki makna yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terbiasa dengannya.
Tetapi hukum yang baik seharusnya sederhana. Ia harus bisa dipahami oleh siapa saja yang menjadi subjeknya. Sebuah aturan yang tidak bisa dipahami, bagaimana mungkin bisa ditaati dengan kesadaran?
ADVERTISEMENT
Bahasa hukum yang sulit juga membuka ruang bagi mereka yang ingin bermain di dalamnya. Di tangan yang tepat, kekaburan bisa menjadi senjata. Sebuah pasal yang ambigu bisa menjadi alat tawar-menawar. Dan ketika hukum tidak lagi jelas, maka keadilan bisa menjadi barang dagangan.
Di banyak negara, kesederhanaan bahasa hukum menjadi agenda reformasi. Hukum harus berbicara dengan cara yang lebih dekat dengan rakyat. Regulasi harus ditulis dengan struktur yang lebih mudah dimengerti. Keputusan hukum harus disampaikan dalam bentuk yang dapat diakses oleh semua orang, bukan hanya oleh segelintir orang di dalam sistem peradilan.
Tapi di Indonesia, perubahan ini masih jauh. Setiap tahun, ratusan aturan baru lahir dengan bahasa yang semakin teknis. Setiap keputusan hukum ditulis dengan formula yang semakin jauh dari pemahaman publik.
ADVERTISEMENT
Maka tak heran, banyak orang lebih percaya pada tafsir pihak ketiga ketimbang membaca langsung aturan yang mengatur mereka. Lebih mudah bertanya pada seorang pengacara atau pejabat ketimbang berusaha memahami sendiri.
Bahasa hukum yang rumit menciptakan ketergantungan. Masyarakat tidak bisa memahami haknya sendiri tanpa bantuan. Hukum, yang seharusnya menjadi alat pembebasan, justru berubah menjadi sesuatu yang mempersulit mereka yang tidak memiliki akses atau pengetahuan khusus.
Bagaimana mengubah keadaan ini?
Pertama, kita harus menyadari bahwa bahasa hukum bukanlah sesuatu yang suci. Ia bukan mantra yang harus dijaga keangkerannya, melainkan alat komunikasi yang harus diperbaiki.
Kedua, reformasi bahasa hukum harus menjadi agenda hukum itu sendiri. Regulasi harus ditulis dengan cara yang lebih jelas. Putusan pengadilan harus disusun dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh rakyat, bukan hanya oleh mereka yang ada di dalam sistem peradilan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pendidikan hukum harus diperluas. Rakyat harus diajarkan bagaimana memahami hukum tanpa harus menjadi sarjana hukum. Kesadaran hukum tidak boleh menjadi hak istimewa segelintir orang, tetapi harus menjadi bagian dari pendidikan warga negara.
Keempat, kita harus mengubah cara kita memandang hukum. Hukum bukan hanya milik para hakim, jaksa, dan pengacara. Ia adalah milik semua orang. Dan jika ia milik semua orang, maka ia harus berbicara dengan cara yang bisa dipahami oleh semua orang.
Sebab keadilan bukan hanya soal aturan yang baik, tetapi juga soal apakah aturan itu bisa dipahami oleh mereka yang harus mengikutinya. Jika hukum hanya bisa dipahami oleh segelintir orang, maka ia bukan lagi hukum yang demokratis.
Bahasa hukum yang rumit bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah keadilan. Sebab keadilan yang sejati adalah keadilan yang bisa dimengerti. Jika rakyat tidak bisa memahami hukum yang mengatur mereka, bagaimana mungkin mereka bisa percaya pada keadilan?
ADVERTISEMENT
Maka, menjaga keadilan bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga soal memastikan bahwa aturan itu bisa dipahami. Dan itu berarti, kita harus mulai berbicara dengan bahasa yang lebih manusiawi.
Paus Fransiskus wafat di usia 88 tahun pada Senin pagi (21/4) akibat stroke dan gagal jantung. Vatikan menetapkan Sabtu (26/4) sebagai hari pemakaman, yang akan berlangsung di alun-alun Basilika Santo Petrus pukul 10.00 pagi waktu setempat.