Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Band Sukatani, Polisi, dan Patung Polisi
6 Maret 2025 14:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada suatu masa ketika punk adalah suara perlawanan. Kita pernah melihatnya di London, di New York, di pinggiran kota-kota yang berdebu. Kini, di tahun 2025, kita menemukannya di sebuah sudut Purbalingga, di tubuh kurus dua anak muda yang bernama Sukatani. Namun, berbeda dari punk klasik yang tumbuh di bawah bayang-bayang pabrik dan trotoar yang dingin, punk kita dihadapkan pada sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat mata—kekuasaan yang tak hanya memegang pentungan, tapi juga mengatur sunyi.
ADVERTISEMENT
Sukatani, nama yang kini menggema dari lapisan-lapisan ruang digital, mendadak lenyap. Lagu mereka, Bayar Bayar Bayar, yang menyuarakan sesuatu yang kita semua tahu tapi jarang diucapkan—tentang uang, tentang wewenang, tentang mereka yang berdiri di pos-pos jalan raya sambil meraba dompet kita—menghilang dari platform musik. Lalu mereka muncul, tanpa topeng, meminta maaf. Kamera menyorot wajah mereka, tubuh mereka tampak lebih kecil dari sebelumnya, suara mereka lebih pelan.
Maka, kita bertanya: Apakah punk sudah mati? Ataukah punk hanya sedang duduk di sudut ruangan, menatap diam-diam ke arah pintu yang terkunci?
Patung Polisi yang Selalu Tersenyum
Di banyak kota di Indonesia, kita melihat patung polisi berdiri di perempatan jalan. Wajahnya ramah, senyumnya terbuat dari semen yang tak akan pernah pudar. Patung ini bukan hanya hiasan, ia adalah pesan. Ia adalah simbol bahwa di sini, hukum ada, tegak, dan tersenyum kepada kita. Tetapi, di hadapan lagu Sukatani, kita bertanya: apakah hukum memang tersenyum, ataukah ia hanya menunggu kita untuk merogoh saku?
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap polisi bukanlah hal baru. Dalam berbagai riset dan survei, lembaga penegak hukum seringkali menjadi institusi yang paling tidak dipercaya oleh publik. Tapi yang menarik adalah bagaimana kritik itu diterima. Di negara lain, lagu-lagu yang mengolok polisi bisa jadi bagian dari kultur populer. Di sini, lagu semacam itu mendadak hilang, disertai dengan permintaan maaf yang terasa seperti sebuah teks yang sudah disiapkan jauh-jauh hari.
Ada yang tidak biasa dengan cara Sukatani meminta maaf. Biasanya, dalam dinamika politik dan hukum, sebuah permintaan maaf diucapkan oleh mereka yang salah. Tetapi, ketika sebuah lagu dihapus, ketika seniman merasa perlu meminta maaf kepada lembaga yang mereka kritik, kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya sedang dihukum?
ADVERTISEMENT
Hukum dan Kekuasaan: Antara Suara dan Sunyi
Kita tahu bahwa hukum bukan hanya soal teks dalam undang-undang. Ia adalah praktik. Ia adalah keseharian. Dan, lebih dari itu, ia adalah mekanisme untuk mengatur ketakutan. Dalam kasus Sukatani, hukum tidak datang dalam bentuk pengadilan terbuka atau perdebatan akademik. Hukum hadir dalam bentuk keheningan yang mendadak.
Tak ada tuntutan resmi terhadap mereka. Tak ada berita tentang pasal-pasal yang dikenakan. Yang ada hanyalah peristiwa yang berjalan seperti sebuah drama tanpa naskah yang bisa kita baca. Mereka menghilang, muncul kembali dengan wajah yang berbeda, lalu kita melanjutkan hidup seolah tidak ada yang terjadi.
Michel Foucault pernah berbicara tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam cara yang lebih halus, lebih disiplin, lebih tak terlihat. Kita tidak lagi membutuhkan palu untuk menghukum seseorang. Kita hanya perlu menciptakan suasana yang membuat mereka merasa perlu menghukum diri mereka sendiri. Dan inilah yang terjadi pada Sukatani.
ADVERTISEMENT
Jika ini hanya soal lagu, maka mengapa mereka merasa perlu menghapusnya? Jika tak ada pelanggaran hukum, mengapa permintaan maaf itu terdengar seperti bagian dari negosiasi yang tak terlihat? Jika punk adalah tentang melawan, mengapa punk kini terdengar seperti bisikan?
Ketika Musik Lebih Berbahaya daripada Kejahatan
Ada ironi dalam dunia hukum kita. Di banyak sudut jalanan, kejahatan yang lebih nyata berlangsung tanpa ada yang peduli. Korupsi berjalan seperti napas, terorganisir dengan lebih rapi daripada lalu lintas. Tapi, yang tampaknya paling mengganggu sistem ini bukanlah pelaku kriminal, melainkan mereka yang menyuarakan sesuatu di luar kendali.
Musik, dalam kasus ini, lebih berbahaya daripada perampokan. Kritik lebih berbahaya daripada kejahatan. Ini karena musik, dan seni secara keseluruhan, punya satu kekuatan yang tidak dimiliki oleh institusi hukum—ia bisa menggugah kesadaran.
ADVERTISEMENT
Ketika sebuah lagu seperti Bayar Bayar Bayar diputar di jalanan, di kampus, di sudut-sudut gelap kota, ia tidak hanya sekadar lagu. Ia menjadi pengingat. Ia menjadi nyala kecil yang bisa membuat kita melihat sesuatu yang selama ini kita abaikan.
Dan mungkin, inilah yang ditakuti. Bukan bandnya. Bukan dua anak muda yang bernyanyi. Tapi kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Epilog: Hukum yang Tidak Memelihara Suara
Di sebuah perempatan, patung polisi masih tersenyum. Lalu lintas tetap berjalan, orang-orang tetap melanjutkan hidupnya. Mungkin di antara mereka ada yang pernah mendengar Sukatani, ada yang masih menyimpan lagunya di ponsel mereka, ada yang diam-diam menyenandungkannya dalam hati.
Tetapi punk yang meminta maaf bukanlah punk yang sejati. Dan hukum yang membungkam bukanlah hukum yang bekerja untuk keadilan.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita tidak bisa lagi mendengar Bayar Bayar Bayar di platform musik. Tapi setiap kali kita melihat seseorang berhenti di sebuah pos polisi sambil menyelipkan uang kecil ke tangan berseragam, kita tahu lagu itu masih ada. Bukan dalam nada, bukan dalam lirik. Tapi dalam kenyataan.
Dan kenyataan, tak seperti lagu, tak bisa dihapus begitu saja.