Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Dari Kursi Sekjen ke Sel Tahanan
20 Februari 2025 22:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Waktu bergerak dengan cara yang aneh. Satu hari seseorang duduk di kursi kekuasaan, hari berikutnya ia diantar ke sel tahanan. Begitulah politik, begitulah hukum. Antara keduanya, selalu ada batas yang kabur, garis tipis yang memisahkan keadilan dari permainan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, kini mengenakan rompi oranye. Borgol di tangannya bukan sekadar simbol hukum yang bekerja, tetapi juga pertanda bahwa ada sesuatu yang berubah dalam tubuh politik partai terbesar di negeri ini. Ia bukan hanya seorang pejabat partai, ia adalah bagian dari mesin yang selama ini menjaga keseimbangan antara kuasa dan loyalitas. Dan kini, ia harus berdiri di hadapan hukum, bukan sebagai pengendali strategi partai, tetapi sebagai seorang tersangka.
Kita tahu, politik dan hukum di negeri ini seperti dua sungai yang sesekali bertemu di satu titik, saling mengalir ke dalam satu sama lain, membentuk arus yang tak selalu jernih. Kasus ini bukan sekadar urusan hukum. Ia lebih dari itu. Ia adalah potret tentang bagaimana kuasa bisa begitu rapuh, tentang bagaimana seseorang yang terbiasa mengatur strategi kini justru menjadi bagian dari strategi orang lain.
ADVERTISEMENT
PDI Perjuangan, sebagai partai besar, tak bisa lepas dari bayang-bayang kasus ini. Penahanan seorang sekjen bukan perkara kecil. Ini bukan sekadar kasus individu, ini adalah ujian bagi struktur partai itu sendiri. Ia menguji kesetiaan, menguji seberapa kuat bangunan ideologi dan disiplin partai yang selama ini diklaim kokoh.
Dalam sejarahnya, partai-partai besar di Indonesia selalu menghadapi titik-titik kritis. Golkar pernah terpuruk dalam skandal korupsi yang menyeret pucuk kepemimpinan. Partai Demokrat pun demikian, dengan kasus yang mengguncang kepemimpinan nasionalnya. Kini, PDI Perjuangan berada di persimpangan itu. Apakah ia akan mempertahankan loyalitasnya, atau justru mengambil langkah pembaruan yang lebih berani?
Kita tahu, di dalam politik, loyalitas adalah mata uang yang paling berharga. Tetapi hukum, jika ia bekerja sebagaimana mestinya, tak pernah bisa ditawar dengan mata uang politik. Ada hukum yang berjalan, ada sistem yang terus bergerak. Setidaknya, itulah yang seharusnya terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun, kita juga paham bahwa hukum di negeri ini tidak pernah benar-benar bebas dari tarikan politik. Ada kepentingan yang bermain, ada negosiasi yang berjalan di balik layar. Hasto mungkin hanyalah satu bagian kecil dari drama yang lebih besar. Ia bisa jadi aktor utama, tetapi bisa juga sekadar pion dalam permainan catur yang lebih luas.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana PDI Perjuangan akan merespons ini? Apakah ia akan bertahan dengan narasi konspirasi, atau justru melihat ini sebagai kesempatan untuk melakukan introspeksi? Sejarah partai ini menunjukkan bahwa ia selalu punya daya lentur, kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang paling sulit sekalipun. Tetapi daya lentur tidak selalu berarti bertahan, kadang ia juga berarti perubahan.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kasus ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kepercayaan publik. Masyarakat yang selama ini melihat partai ini sebagai representasi dari kekuatan rakyat, kini bertanya-tanya: apakah partai ini masih bisa dipercaya? Kepercayaan, dalam politik, lebih mahal dari sekadar kemenangan elektoral. Ia adalah modal yang menentukan apakah sebuah partai akan bertahan lama atau justru tergerus oleh waktu.
ADVERTISEMENT
Dan bagi Hasto sendiri, ini adalah perjalanan yang ironis. Ia, yang selama ini mengatur ritme partai, kini harus mengikuti ritme hukum. Ia, yang terbiasa mengendalikan narasi, kini menjadi bagian dari narasi yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Dari kursi sekjen ke sel tahanan, perjalanan ini bukan hanya tentang satu orang. Ini adalah cerita tentang bagaimana hukum dan politik saling bertautan, tentang bagaimana kekuasaan bisa berubah dalam sekejap, dan tentang bagaimana setiap partai, sebesar apapun, pada akhirnya akan diuji oleh sejarahnya sendiri.
Kita masih akan melihat bagaimana babak selanjutnya dari drama ini akan dimainkan. Tetapi satu hal yang pasti: waktu akan terus bergerak, membawa setiap orang ke tempat yang tak selalu bisa mereka kendalikan.
ADVERTISEMENT