Konten dari Pengguna

Dekonstruksi Demokrasi Indonesia

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
29 Desember 2024 17:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Demokrasi Indonesia, jika kita mau jujur, berada dalam krisis substansial. Secara prosedural, demokrasi terlihat berjalan: pemilu tetap digelar, partai politik tetap bersaing, dan kebebasan berbicara diakui secara formal. Namun, di balik ilusi kemeriahan ini, terdapat realitas kelam: rakyat kian teralienasi dari pusat-pusat kekuasaan, dan demokrasi telah tereduksi menjadi sekadar instrumen legitimasi oligarki.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami krisis ini, kita perlu mendekonstruksi demokrasi Indonesia. Tidak sekadar mempersoalkan kelemahan institusionalnya, tetapi menggugat fondasi ideologis yang menopang sistem ini. Dekonstruksi bukan sekadar kritik, melainkan pembongkaran tuntas terhadap klaim-klaim yang dianggap baku dan tak tergugat. Demokrasi, dalam konteks Indonesia, adalah sebuah konsep yang perlu disaring ulang dari romantisme idealismenya.
Gambar kreasi firdaus arifin
Rakyat yang Tak Berdaulat
Demokrasi Indonesia, dalam narasi dominannya, menjual mitos tentang “kedaulatan rakyat.” Namun, siapa sebenarnya yang berdaulat? Pemilu yang seharusnya menjadi ekspresi kebebasan rakyat justru menjadi arena pertempuran oligarki. Kekuasaan tidak lagi dipertaruhkan di meja suara rakyat, tetapi di ruang-ruang negosiasi kapital.
Partai politik menjadi agen kepentingan elit ekonomi, bukan corong aspirasi rakyat. Mereka bukan lagi ideolog yang memperjuangkan gagasan, melainkan teknokrat politik yang memperdagangkan kuasa. Dalam praktiknya, rakyat bukan subjek politik, tetapi objek manipulasi. Politik uang, mobilisasi massa, hingga framing media adalah strategi yang memperalat rakyat, bukan memberdayakan mereka.
ADVERTISEMENT
Dekonstruksi Formalisme Demokrasi
Dekonstruksi demokrasi Indonesia harus dimulai dari pembongkaran formalisme politik yang selama ini dianggap suci. Prosedur demokrasi, seperti pemilu atau kebebasan berbicara, memang ada. Namun, prosedur ini justru digunakan sebagai topeng untuk menyembunyikan ketidakadilan struktural. Demokrasi prosedural tanpa substansi adalah demokrasi yang kehilangan moralitasnya.
Kebebasan berbicara, misalnya, sering kali dirayakan sebagai bukti keberhasilan demokrasi. Tetapi dalam kenyataannya, kebebasan ini tunduk pada algoritma media sosial, yang lebih berpihak pada sensasi daripada substansi. Pemilu pun bukan lagi mekanisme pengambilan keputusan rakyat, melainkan pertunjukan yang telah dikoreografikan oleh kekuatan uang.
Krisis ini adalah bukti bahwa demokrasi kita hanya berdiri di atas landasan prosedural, tanpa menyentuh esensi dari demokrasi itu sendiri: keadilan, pemerataan kekuasaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
ADVERTISEMENT
Paradoks Demokrasi di Indonesia
Paradoks demokrasi Indonesia terletak pada keberadaannya yang formal namun kosong secara substansial. Demokrasi ini telah menjadi arena simulasi, sebuah teater politik di mana kekuasaan berpura-pura tunduk pada rakyat. Tetapi sejatinya, kekuasaan itu dikendalikan oleh struktur oligarki yang menancapkan akarnya di segala lini: ekonomi, politik, hingga budaya.
Kita perlu menyadari bahwa demokrasi Indonesia saat ini adalah demokrasi tanpa rakyat. Rakyat tidak diundang sebagai aktor politik, tetapi diposisikan sebagai penonton pasif. Dengan demikian, demokrasi kita kehilangan elemen terpentingnya: partisipasi bermakna dari seluruh elemen masyarakat.
Reimajinasi Demokrasi
Dekonstruksi demokrasi Indonesia harus berujung pada reimajinasi demokrasi itu sendiri. Jika yang ada saat ini adalah demokrasi yang melayani oligarki, maka demokrasi yang kita bangun harus melayani rakyat. Namun, ini bukan sekadar soal reformasi prosedur, melainkan revolusi cara berpikir tentang kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kita membutuhkan demokrasi yang tidak hanya mengatur bagaimana kekuasaan diraih, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu didistribusikan secara adil. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang memberikan ruang bagi rakyat untuk tidak sekadar memilih, tetapi juga menentukan arah kehidupan bersama.
Demokrasi sebagai Proses Radikal
Dekonstruksi bukan sekadar menghancurkan, tetapi juga membuka jalan bagi kebangkitan. Demokrasi Indonesia harus berhenti menjadi ritual kosong yang hanya melanggengkan ketimpangan. Ia harus menjadi medan perjuangan moral, tempat nilai-nilai seperti keadilan, solidaritas, dan keberpihakan pada yang lemah menemukan bentuknya.
Kita harus melampaui demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial. Untuk itu, keberanian intelektual dan politik diperlukan. Tanpa itu, demokrasi akan terus menjadi ilusi, sebuah janji kosong yang tak pernah ditepati.
ADVERTISEMENT