Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Demokrasi di Ujung Senapan
21 Maret 2025 13:10 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mungkin kita telah mengira bahwa era itu telah selesai. Bahwa militerisme sudah menjadi catatan kaki dalam sejarah yang bergerak maju, bahwa demokrasi telah menjelma utuh sebagai sistem yang kukuh di negeri ini. Tetapi sejarah, sebagaimana gelombang pasang, selalu menemukan jalannya kembali.
ADVERTISEMENT
Hari ini, ketika kita membaca revisi Undang-Undang TNI yang membuka jalan bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil, kita seolah menyaksikan sejarah berjalan mundur. Dalam bayang-bayang revisi itu, ada gema Orde Baru yang tak sepenuhnya lenyap. Ada getar masa lalu yang, entah bagaimana, terus mencari celah untuk kembali.
Sejak reformasi 1998, kita bersepakat bahwa supremasi sipil adalah fondasi demokrasi. Bahwa tentara harus kembali ke barak dan membiarkan ranah sipil dikelola oleh mereka yang dipilih melalui mekanisme demokrasi. Tetapi apa yang kita lihat hari ini adalah upaya perlahan untuk mengaburkan batas antara militer dan sipil, menjadikan “tentara” sebagai identitas yang bisa bergerak di mana saja, tanpa batas yang jelas antara ranah pertahanan dan ranah pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Militerisme yang Tak Pernah Mati
Pergeseran ini bukan sekadar soal revisi undang-undang. Ia adalah gejala dari sebuah politik yang enggan lepas dari bayang-bayang militer. Kita bisa melihat bagaimana peran tentara semakin meluas dalam berbagai bidang, mulai dari keamanan dalam negeri, pengelolaan bencana, hingga tugas-tugas yang mestinya menjadi ranah birokrasi sipil.
Ada yang berpendapat bahwa ini adalah keniscayaan. Bahwa dalam situasi negara yang membutuhkan ketegasan dan disiplin, tentara memiliki kapasitas yang lebih baik dibandingkan sipil yang sering dianggap lamban dan birokratis. Tetapi anggapan ini, jika tidak hati-hati, akan membawa kita kembali ke model pemerintahan yang lebih menyerupai sebuah negara dalam kondisi darurat permanen—di mana rakyat selalu dianggap sebagai objek yang harus dikendalikan, bukan subjek yang menentukan nasibnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari Orde Baru kita belajar bahwa militerisme tidak hanya soal perwira yang masuk ke jabatan sipil, tetapi juga soal mentalitas yang terbentuk dalam relasi kuasa. Militerisme adalah doktrin tentang ketertiban yang mengabaikan perbedaan pendapat. Ia adalah cara berpikir bahwa perintah lebih utama dari perdebatan, bahwa stabilitas lebih penting daripada demokrasi.
Ketika Demokrasi Menjadi Formalitas
Kita masih memiliki pemilu. Kita masih memiliki parlemen. Tetapi demokrasi bukan sekadar persoalan prosedural. Demokrasi adalah gagasan yang harus dihidupi, ia membutuhkan ruang untuk perdebatan, kritik, dan ekspresi yang bebas.
Ketika militer kembali mendapatkan akses luas ke pemerintahan, pertanyaan yang muncul bukan hanya soal kompetensi atau efektivitas, tetapi juga tentang bagaimana ini akan memengaruhi karakter politik kita ke depan. Apakah kita sedang menciptakan kembali struktur yang membatasi kebebasan sipil secara perlahan? Apakah kita sedang membangun ulang tembok yang telah kita robohkan 26 tahun lalu?
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah politik Indonesia, kita pernah mengenal “Dwifungsi ABRI” yang memberikan tentara peran ganda sebagai alat pertahanan dan kekuatan politik. Reformasi 1998 berusaha menghapus itu, tetapi yang terjadi hari ini adalah kemunculan kembali gagasan lama dengan nama yang baru.
Revisi Undang-Undang TNI, jika disahkan, akan memberi militer lebih banyak akses ke ruang sipil tanpa kejelasan batas. Ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga soal prinsip dasar demokrasi: bahwa kekuasaan sipil harus lebih dominan daripada kekuatan bersenjata.
Antara Kekuasaan dan Ketakutan
Mungkin ada yang berpikir bahwa ketakutan terhadap bangkitnya militerisme adalah paranoia. Bahwa militer hari ini berbeda dengan militer era Orde Baru. Bahwa mereka telah beradaptasi dengan demokrasi.
Tetapi kita tidak bisa hanya berharap pada niat baik. Demokrasi bukan sistem yang bisa bertumpu pada asumsi bahwa kekuasaan akan selalu digunakan dengan bijaksana. Demokrasi bekerja justru karena adanya pembatasan kekuasaan. Karena ada mekanisme yang memastikan bahwa mereka yang memiliki senjata tidak memiliki hak untuk menentukan arah pemerintahan di luar tugas pertahanan negara.
ADVERTISEMENT
Setiap kali kita memberi kelonggaran terhadap peran militer dalam politik, kita sedang membuka celah yang suatu hari bisa menjadi lubang besar. Kita sedang membiarkan imajinasi politik kembali pada masa ketika ketakutan adalah bagian dari kebijakan, ketika negara melihat rakyatnya sebagai sesuatu yang harus diatur dengan disiplin militer, bukan sebagai warga yang memiliki hak untuk berpikir dan bertindak secara bebas.
Menjaga Demokrasi di Tengah Godaan Otoritarianisme
Kita tahu bahwa demokrasi tidak selalu berjalan sempurna. Ada banyak kelemahan dalam sistem politik kita hari ini: korupsi, birokrasi yang lamban, partai politik yang tak benar-benar berakar pada ideologi yang jelas. Tetapi jawaban dari semua ini bukanlah dengan membawa kembali militer ke dalam ranah sipil.
ADVERTISEMENT
Militerisme bukan solusi, ia adalah ancaman yang terselubung. Ia menawarkan stabilitas dengan mengorbankan kebebasan. Ia menjanjikan ketertiban dengan menyingkirkan perdebatan. Dan seperti yang kita lihat dalam sejarah, setiap kali kekuasaan militer bertambah, ruang demokrasi menyusut.
Kita masih punya pilihan untuk menentukan arah sejarah. Kita bisa membiarkan revisi ini berlalu begitu saja, atau kita bisa menolak untuk kembali ke jalan yang pernah kita tinggalkan. Demokrasi tidak pernah dijamin abadi, ia harus terus diperjuangkan.
Dan hari ini, perjuangan itu ada di sini: di depan pintu yang, jika kita tak hati-hati, akan terbuka lebar bagi kembalinya demokrasi yang berakhir di ujung senapan.