Konten dari Pengguna

Dominus Litis

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
17 Februari 2025 8:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap hukum modern, frasa dominus litis menjadi kunci utama dalam memahami siapa yang mengendalikan arah sebuah perkara pidana. Secara harfiah, istilah ini bermakna “tuan atas perkara,” yang dalam tradisi hukum pidana merujuk pada jaksa penuntut umum sebagai otoritas yang menentukan apakah sebuah kasus layak diajukan ke pengadilan atau tidak. Namun, di luar aspek prosedural, dominus litis menyimpan persoalan mendalam tentang bagaimana hukum bekerja dalam sistem politik, bagaimana negara bernegosiasi dengan kekuasaan, dan bagaimana kebenaran sering kali menjadi subjek yang dinegosiasikan.
ADVERTISEMENT
Hukum, pada hakikatnya, bukanlah sekadar teks yang berdiri sendiri. Ia adalah organisme yang hidup, bernafas dalam ruang-ruang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Jaksa, sebagai dominus litis, bukan sekadar seorang profesional hukum yang bekerja dalam koridor aturan, tetapi juga seorang aktor dalam drama besar yang bernama keadilan. Keputusan seorang jaksa bukanlah semata-mata perihal yuridis, tetapi juga politis.
Lantas, bagaimana kita memahami peran jaksa dalam sistem hukum kita hari ini? Seberapa besar kebebasan yang dimilikinya? Dan, yang lebih fundamental, bagaimana kita memastikan bahwa peran dominus litis tidak menjadi senjata kekuasaan yang melayani kepentingan di luar hukum itu sendiri?
Otoritas yang Dipertanyakan
Dalam sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, jaksa memiliki kewenangan eksklusif untuk menentukan apakah sebuah perkara akan dilanjutkan atau tidak. Ini adalah wewenang besar yang, jika tidak dikawal, dapat berubah menjadi otoritarianisme hukum.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat bagaimana otoritas jaksa sering kali digunakan sebagai alat politik. Di rezim-rezim otoriter, para jaksa tidak lagi menjadi penjaga hukum yang netral, tetapi berubah menjadi algojo yang siap menghabisi lawan politik dengan undang-undang sebagai pedangnya. Keputusan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang bisa menjadi instrumen negosiasi yang lebih berkaitan dengan stabilitas politik dibandingkan dengan prinsip keadilan.
Dalam realitas hukum Indonesia, kita tidak perlu pergi jauh untuk melihat bagaimana kewenangan ini bekerja dalam dinamika politik kekuasaan. Kasus-kasus korupsi, misalnya, sering kali menjadi medan permainan antara kepentingan hukum dan kepentingan politik. Ada yang dipercepat, ada yang diperlambat, bahkan ada yang tiba-tiba hilang dalam pusaran waktu.
Di titik ini, kita berhadapan dengan pertanyaan mendasar: apakah jaksa benar-benar bekerja demi hukum, ataukah mereka sekadar menjadi eksekutor bagi kekuatan yang lebih besar? Jika hukum adalah bahasa kekuasaan, maka jaksa adalah juru bicara yang menentukan bagaimana bahasa itu diartikulasikan.
ADVERTISEMENT
Keadilan yang Dinegosiasikan
Setiap keputusan hukum adalah sebuah negosiasi. Kita mungkin ingin percaya bahwa hukum bekerja dengan mekanisme yang pasti—berdasarkan fakta dan norma yang ada—tetapi kenyataannya, hukum adalah permainan tafsir.
Seorang jaksa, dalam menjalankan peran dominus litis-nya, tidak hanya bertindak sebagai pelaksana undang-undang, tetapi juga sebagai pemegang kendali atas tafsir yang hidup di dalamnya. Dengan kata lain, jaksa memiliki kebebasan untuk menentukan apakah suatu kasus akan dilanjutkan atau tidak, seberapa keras dakwaan yang akan diajukan, atau apakah ada ruang kompromi yang bisa diambil.
Kebebasan ini bisa menjadi berkah atau kutukan. Ia menjadi berkah jika digunakan dengan integritas, tetapi berubah menjadi kutukan jika dipakai untuk melayani kepentingan tertentu.
Contohnya, dalam banyak kasus, kita melihat bagaimana aktor-aktor besar dalam korupsi bisa lolos dengan dakwaan ringan, sementara rakyat kecil yang mencuri untuk bertahan hidup dihukum berat. Ada ketidakadilan yang kasatmata, tetapi sering kali kita tidak bisa berbuat apa-apa.
ADVERTISEMENT
Antara Hukum dan Kekuasaan
Seorang filsuf hukum pernah berkata bahwa hukum bukanlah entitas yang berdiri di atas kekuasaan, tetapi ia adalah bagian dari kekuasaan itu sendiri. Hukum tidak pernah benar-benar netral; ia selalu bekerja dalam konteks politik, ekonomi, dan sosial yang lebih besar.
Di Indonesia, perdebatan tentang independensi jaksa sudah berlangsung lama. Ada yang mengatakan bahwa kejaksaan seharusnya berada di bawah eksekutif agar lebih efektif dalam menjalankan kebijakan hukum negara. Ada pula yang berpendapat bahwa jaksa harus sepenuhnya independen agar tidak tunduk pada kepentingan politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Namun, realitasnya, independensi jaksa bukan hanya soal kelembagaan. Ia adalah soal individu-individu yang ada di dalamnya. Seorang jaksa yang memiliki keberanian moral akan tetap menegakkan hukum meskipun di bawah tekanan politik. Sebaliknya, seorang jaksa yang lemah akan dengan mudah menjadi alat kekuasaan, bahkan jika ia bekerja dalam institusi yang diklaim independen.
ADVERTISEMENT
Menata Ulang Peran Dominus Litis
Jika hukum ingin tetap menjadi alat keadilan dan bukan sekadar instrumen kekuasaan, maka kita perlu menata ulang peran jaksa sebagai dominus litis. Ada beberapa langkah yang bisa diambil.
Pertama, transparansi dalam proses hukum harus diperkuat. Keputusan jaksa dalam menindaklanjuti sebuah perkara tidak boleh menjadi sesuatu yang gelap dan misterius. Publik berhak tahu mengapa sebuah kasus ditindaklanjuti atau dihentikan.
Kedua, pengawasan terhadap jaksa harus lebih kuat. Jika jaksa adalah dominus litis, maka kita membutuhkan mekanisme yang bisa memastikan bahwa kekuasaan ini tidak disalahgunakan. Komisi Kejaksaan, misalnya, harus memiliki wewenang yang lebih besar dalam mengawasi kinerja jaksa.
Ketiga, keberanian moral harus menjadi bagian dari pendidikan hukum. Hukum bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal etika. Kita membutuhkan jaksa yang tidak hanya pintar dalam menafsirkan undang-undang, tetapi juga memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan, bahkan ketika berhadapan dengan tekanan politik.
ADVERTISEMENT
Hukum dalam Ketegangan
Hukum selalu berada dalam ketegangan antara idealitas dan realitas. Di satu sisi, kita ingin percaya bahwa hukum adalah alat keadilan yang bekerja secara objektif. Tetapi di sisi lain, kita tahu bahwa hukum selalu berada dalam bayang-bayang kekuasaan.
Sebagai dominus litis, jaksa berada di persimpangan yang menentukan. Ia bisa menjadi penjaga keadilan, atau sebaliknya, menjadi algojo yang menjalankan kehendak politik.
Pertanyaannya adalah: apakah kita memiliki sistem yang cukup kuat untuk memastikan bahwa jaksa benar-benar bekerja untuk keadilan? Ataukah, kita hanya hidup dalam ilusi bahwa hukum adalah sesuatu yang netral, sementara kenyataannya ia terus dinegosiasikan oleh kekuatan-kekuatan yang lebih besar?
Hukum, pada akhirnya, bukan hanya soal aturan tertulis. Ia adalah soal siapa yang memiliki kuasa untuk menafsirkan, mengendalikan, dan menggunakannya. Dan dalam ruang itu, pertarungan antara keadilan dan kekuasaan akan selalu berlangsung.
ADVERTISEMENT