Konten dari Pengguna

Gladiator Toga di Ruang Sidang

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
9 Februari 2025 12:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Multimedia
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Multimedia
ADVERTISEMENT
Ruang sidang seharusnya menjadi arena bagi para advokat untuk mempertahankan keadilan dengan argumentasi hukum yang kokoh. Namun, yang terjadi belakangan ini justru berbeda. Sidang perkara pencemaran nama baik antara Hotman Paris dan Razman Nasution di Pengadilan Negeri Jakarta Utara berubah menjadi ajang adu ego yang nyaris berujung adu fisik. Para advokat yang seharusnya menjunjung tinggi kehormatan profesi justru bertindak layaknya gladiator di tengah arena pertarungan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini bukan sekadar insiden biasa, tetapi cerminan dari wajah hukum kita yang semakin kehilangan wibawa. Ketika ruang sidang berubah menjadi arena pertempuran ego dan emosi, maka yang pertama kali menjadi korban bukanlah para pihak yang bertikai, melainkan marwah pengadilan itu sendiri.
Advokat dan Tanggung Jawab Profesi
Profesi advokat bukan sekadar pekerjaan biasa. Seorang advokat adalah bagian dari sistem peradilan yang memiliki tanggung jawab besar dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, seorang advokat tidak boleh hanya mengandalkan kepiawaian berdebat atau ketajaman retorika, tetapi juga harus memiliki integritas, etika, dan rasa hormat terhadap hukum serta lembaga peradilan.
Dalam berbagai sistem hukum di dunia, termasuk di Indonesia, advokat disebut sebagai officium nobile atau profesi yang mulia. Ini bukan sekadar gelar tanpa makna. Keberadaan advokat dalam sistem hukum bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang, tanpa kecuali, mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan berimbang.
ADVERTISEMENT
Namun, gelar officium nobile ini menjadi ironi ketika kita melihat bagaimana sebagian advokat justru menjadikan ruang sidang sebagai panggung untuk unjuk kekuatan. Saling serang secara verbal, membantah hakim dengan nada tinggi, bahkan menunjukkan gestur fisik yang provokatif bukanlah cerminan dari seorang advokat yang bermartabat.
Ketika advokat lebih sibuk mencari panggung ketimbang menegakkan hukum, maka yang terjadi adalah pergeseran fungsi pengadilan dari tempat pencarian keadilan menjadi sekadar arena pertunjukan. Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan sistem peradilan.
Dari Ruang Sidang ke Arena Sensasi
Fenomena pengacara yang lebih suka tampil kontroversial bukanlah hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak advokat yang lebih sering muncul di media untuk membuat pernyataan-pernyataan sensasional ketimbang fokus pada tugas mereka di ruang sidang.
ADVERTISEMENT
Di era digital, di mana media sosial dan televisi mendominasi kehidupan masyarakat, popularitas bisa menjadi modal bagi seorang advokat. Makin sering muncul di media, makin besar peluang mendapatkan klien. Tak heran jika banyak advokat yang lebih sibuk membangun citra diri daripada menjaga profesionalisme di pengadilan.
Di sisi lain, media juga ikut andil dalam memperburuk situasi ini. Sidang yang diwarnai ketegangan dan drama lebih menarik untuk diberitakan ketimbang sidang yang berjalan tenang dan berisi diskusi hukum yang mendalam. Konflik lebih laku daripada substansi. Akibatnya, para advokat yang ingin mendapatkan perhatian publik lebih memilih untuk tampil keras, berapi-api, dan penuh konfrontasi daripada menampilkan argumentasi hukum yang kuat dan rasional.
Hal ini semakin memperparah persepsi masyarakat terhadap hukum. Jika yang ditampilkan di media adalah perkelahian di ruang sidang, maka wajar jika masyarakat semakin skeptis terhadap hukum. Mereka akan melihat pengadilan bukan sebagai tempat mencari keadilan, tetapi sebagai panggung drama yang hanya menguntungkan mereka yang memiliki pengaruh dan suara paling lantang.
ADVERTISEMENT
Kode Etik yang Kian Terabaikan
Seorang advokat terikat oleh kode etik yang mengatur bagaimana ia harus bersikap dalam menjalankan profesinya. Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) secara jelas menyebutkan bahwa advokat harus menjaga martabat dan kehormatan profesinya, termasuk dalam bersikap di ruang sidang.
Advokat yang menghina hakim, bertindak tidak sopan, atau menciptakan keributan dalam persidangan dapat dikenai sanksi. Namun, realitasnya, pelanggaran kode etik ini sering kali diabaikan. Banyak advokat yang tetap bebas berpraktik meski sering terlibat dalam insiden yang mencoreng citra profesi mereka sendiri.
Ketidaktegasan dalam penegakan kode etik inilah yang membuat advokat-advokat yang gemar mencari sensasi merasa semakin leluasa. Mereka tahu bahwa selama memiliki popularitas dan pengaruh, mereka bisa terus melanggar etika tanpa konsekuensi yang berarti.
ADVERTISEMENT
Jika organisasi advokat dan lembaga peradilan tidak segera mengambil tindakan tegas, maka situasi ini akan semakin memburuk. Profesi advokat yang seharusnya menjadi pilar keadilan akan semakin terdegradasi menjadi sekadar profesi yang dipenuhi dengan intrik dan sensasi.
Mengembalikan Martabat Ruang Sidang
Untuk mengembalikan wibawa pengadilan dan profesi advokat, ada beberapa langkah yang harus segera dilakukan.
Pertama, organisasi advokat harus lebih tegas dalam menegakkan kode etik. Setiap advokat yang melanggar kode etik, terutama mereka yang menciptakan keributan di ruang sidang, harus diberi sanksi tegas. Jika perlu, pencabutan izin praktik harus menjadi opsi bagi mereka yang berulang kali mencoreng profesi ini.
Kedua, hakim harus lebih berani dalam menegakkan ketertiban di ruang sidang. Hakim memiliki kewenangan penuh untuk mengendalikan jalannya persidangan. Jika ada advokat yang bertindak tidak sopan atau mengganggu jalannya persidangan, hakim harus segera mengambil tindakan, baik dengan memberi teguran keras, mengeluarkan dari ruang sidang, atau bahkan melaporkannya ke organisasi advokat.
ADVERTISEMENT
Ketiga, masyarakat harus lebih kritis dalam menilai advokat. Jangan memilih advokat hanya karena mereka terkenal atau sering muncul di media. Pilihlah advokat yang memiliki rekam jejak baik, berintegritas, dan benar-benar memahami hukum.
Keempat, media harus lebih bertanggung jawab dalam memberitakan kasus hukum. Jangan hanya mengejar sensasi, tetapi juga berikan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana hukum bekerja secara ideal. Jika media lebih sering menampilkan substansi hukum ketimbang drama, maka advokat yang suka mencari panggung akan kehilangan daya tariknya.
Ruang sidang bukanlah arena pertunjukan. Advokat bukanlah gladiator yang bertarung demi hiburan publik. Jika ruang sidang terus diwarnai keributan dan adu ego, maka yang paling dirugikan adalah masyarakat yang membutuhkan keadilan.
Sudah saatnya kita mengembalikan marwah pengadilan dan profesi advokat. Hukum harus kembali menjadi alat keadilan, bukan sekadar panggung bagi mereka yang ingin tampil di media.
ADVERTISEMENT
Jika kita tidak segera bertindak, maka bukan tidak mungkin, suatu hari nanti, kita akan melihat lebih banyak advokat yang menjadikan ruang sidang sebagai panggung pertarungan layaknya gladiator di arena. Dan jika itu terjadi, maka yang kalah bukan hanya para pihak yang bersengketa, tetapi juga sistem hukum kita secara keseluruhan.