Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Guru Besar Sirkus
14 Februari 2025 12:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber: Freepik](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm01nm52kh7v632jpqqzts46.jpg)
ADVERTISEMENT
Di negeri yang selalu terjaga dalam kebisingan, kita menyaksikan sebuah pertunjukan besar. Bukan teater Aristotelian yang menjanjikan katarsis, bukan pula panggung Brechtian yang memantik kesadaran. Ini adalah sirkus akademik, di mana para pemainnya adalah orang-orang yang menyandang gelar “guru besar” dengan gemerlap tanpa makna.
ADVERTISEMENT
Gelar profesor, yang semestinya menjadi puncak pencapaian akademik, kini sering kali dikukuhkan bukan karena ketajaman pemikiran, melainkan karena transaksi kepentingan. Konon, ada syarat administratif yang harus dipenuhi, seperti publikasi di jurnal bereputasi dan pengabdian kepada masyarakat. Tapi di balik itu, ada juga yang mempercepat jalur dengan cara yang lebih pragmatis: mengandalkan koneksi, mengutip diri sendiri secara berlebihan, atau sekadar mendapatkan restu dari lingkaran yang tepat.
Di tengah sirkus ini, kita melihat para pemain akrobat berlenggok di atas tali akademik yang rapuh. Mereka sibuk membangun citra, mengumpulkan angka-angka kredit, dan menjual gagasan tanpa mempertanyakan isinya. Seperti pesulap, mereka mengeluarkan makalah dari lengan jas mereka, kadang dalam jumlah yang mencengangkan. Dalam waktu setahun, ada yang bisa menerbitkan puluhan jurnal internasional, seolah-olah mereka adalah mesin produksi ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Tapi di mana letak pemikiran kritis itu?
Kita pernah mendengar kisah Socrates yang memilih cawan racun daripada menyerah pada ketidakbenaran. Atau Derrida yang menggugat bahasa sebagai instrumen kekuasaan. Tapi di negeri ini, para guru besar kita lebih sering memilih diam atau berbicara dengan suara yang sudah disesuaikan dengan kepentingan institusi. Mereka bukan Socrates yang bertanya, bukan Derrida yang meragukan, melainkan birokrat akademik yang lebih tertarik pada sertifikat dan tunjangan.
Di televisi, kita sering melihat mereka berbicara tentang segala hal. Dari politik, ekonomi, hingga isu-isu pop yang seharusnya bisa dijelaskan oleh komentator infotainment. Ada sesuatu yang ganjil dalam pertunjukan ini: seorang ahli politik tiba-tiba berbicara tentang strategi bola basket, seorang profesor filsafat lebih sibuk membahas peluang elektoral seorang calon presiden. Seolah-olah keahlian akademik hanya atribut yang bisa dijual di berbagai pasar.
ADVERTISEMENT
Ada saat di mana kata “guru besar” memiliki bobot yang mengguncang. Para profesor bukan sekadar individu yang menumpuk gelar, tetapi mereka adalah penjaga pemikiran, para perumus gagasan yang bisa mengubah arah sejarah. Tapi hari ini, banyak yang lebih sibuk dengan statusnya ketimbang maknanya.
Mereka lebih nyaman duduk di ruang-ruang seminar yang ber-AC, membahas masalah sosial dari menara gading tanpa benar-benar menyentuh realitas. Masyarakat menjadi objek penelitian, bukan subjek yang harus didengar. Orang-orang kampus yang dulunya adalah oposisi intelektual kini berubah menjadi bagian dari mesin kekuasaan.
Dan sirkus terus berlanjut.
Kita melihat mereka duduk di meja-meja kementerian, diundang dalam rapat-rapat strategis, menjadi bagian dari komisi-komisi yang tugasnya justru melanggengkan sistem yang tidak adil. Beberapa dari mereka bahkan ikut dalam kompetisi politik, menggadaikan kredibilitas akademiknya demi jabatan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Tapi tidakkah ini hanya potret kecil dari keadaan yang lebih besar?
Akademia bukan lagi wilayah perlawanan gagasan, melainkan pasar yang sibuk dengan komodifikasi ilmu. Di universitas, mahasiswa dipacu untuk lulus secepat mungkin, bukan untuk berpikir. Para dosen lebih sibuk menulis jurnal daripada mengajar, karena mengajar tak selalu menghasilkan angka kredit yang menguntungkan. Perguruan tinggi berubah menjadi pabrik ijazah, dan di dalamnya, para guru besar sirkus memainkan perannya dengan sempurna.
Pada akhirnya, kita harus bertanya: apakah gelar profesor masih bermakna? Ataukah ia hanya tanda kehormatan kosong yang diberikan kepada mereka yang cukup sabar menunggu atau cukup lihai bermanuver dalam sistem?
Mungkin, di negeri ini, kita butuh lebih banyak pemikir yang berani melawan arus. Bukan akademisi yang hanya sibuk mengurus portofolio, tapi mereka yang benar-benar memiliki keberanian untuk bertanya, mengkritik, dan menggugat.
ADVERTISEMENT
Karena jika tidak, sirkus ini akan terus berlanjut. Dan kita, penonton yang bosan, hanya bisa tertawa getir.