Konten dari Pengguna

Hasil Survei Bukan Bukti Hukum

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
2 Januari 2025 13:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Di tengah semakin tajamnya perdebatan politik di Indonesia, hasil survei kerap kali menjadi alat untuk memperkuat narasi tertentu, bahkan dalam isu-isu hukum yang seharusnya bersandar pada fakta dan bukti konkret. Salah satu yang terbaru adalah survei yang dirilis oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), yang menyebut mantan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu “pemimpin paling korup di dunia.”
ADVERTISEMENT
Klaim ini menuai kontroversi besar, terutama karena banyak pihak melihat survei tersebut sebagai alat politik yang sarat dengan bias. Namun, dari perspektif hukum, survei seperti ini tidak dapat dan tidak boleh dijadikan dasar penilaian hukum.

Hukum itu Bukti, Bukan Persepsi

Dalam sistem hukum yang berlandaskan asas legalitas, semua keputusan hukum harus didasarkan pada bukti yang konkret dan teruji. Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 184 KUHAP secara tegas mengatur apa saja yang dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, seperti dokumen, saksi, pengakuan, keterangan ahli, dan petunjuk. Dalam konteks ini, survei OCCRP, meskipun dipublikasikan oleh lembaga internasional, hanyalah refleksi opini subjektif yang dibingkai oleh persepsi dan parameter tertentu.
Survei OCCRP bukan hasil investigasi hukum, melainkan penilaian yang didasarkan pada opini jurnalis dan pakar yang mereka pilih. Metodologinya bersifat kualitatif, mengumpulkan pandangan dari sejumlah individu tanpa memeriksa fakta hukum secara mendalam. Ini jelas tidak memenuhi standar bukti hukum yang objektif. Klaim bahwa Jokowi adalah salah satu pemimpin paling korup hanya mencerminkan persepsi segelintir pihak, bukan sebuah temuan hukum yang dapat diverifikasi.
ADVERTISEMENT

Dari Persepsi ke Propaganda

Yang membuat survei OCCRP ini berbahaya adalah potensinya untuk digunakan sebagai alat propaganda politik. Dalam konteks Indonesia, survei ini telah menjadi amunisi bagi pihak-pihak tertentu untuk menyerang reputasi Jokowi, baik secara politik maupun moral. Klaim seperti ini tidak hanya merusak citra personal, tetapi juga menciptakan narasi yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kebijakan yang sebenarnya sah secara hukum.
Namun, kita harus ingat bahwa demokrasi dan supremasi hukum tidak boleh tunduk pada opini internasional yang bias. Survei semacam ini sering kali mengabaikan konteks lokal dan kompleksitas kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Misalnya, keputusan Jokowi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sering dikritik karena dianggap membuka celah korupsi. Namun, apakah kritik ini cukup untuk menyebutnya sebagai “presiden paling korup”? Tentu saja tidak. Tanpa bukti konkret, tuduhan ini hanyalah spekulasi.
ADVERTISEMENT

Hasil Survei di Pengadilan

Mari kita bayangkan sebuah pengadilan di mana hasil survei seperti OCCRP diajukan sebagai bukti. Bagaimana hakim akan menilainya? Survei, meskipun dilengkapi statistik dan analisis, tidak dapat diuji kebenarannya secara langsung. Ia tidak memiliki kualitas verifikasi sebagaimana dokumen resmi atau keterangan saksi di bawah sumpah. Hakim yang bijak tidak akan memberikan bobot hukum pada data survei, karena survei adalah opini yang terbungkus angka, bukan fakta yang teruji.
Contoh dalam kasus sengketa pemilu, misalnya, Mahkamah Konstitusi tidak pernah menggunakan survei elektabilitas sebagai dasar keputusan. Fokusnya selalu pada dokumen resmi seperti formulir C1 dan rekapitulasi suara. Jadi, mengapa survei OCCRP harus diperlakukan berbeda? Ini adalah pengingat bahwa pengadilan adalah tempat bagi fakta, bukan persepsi.
ADVERTISEMENT
Survei OCCRP mungkin menarik untuk diskursus politik, tetapi ia tidak relevan dalam proses hukum. Dalam sistem peradilan yang menghargai prinsip due process of law, hanya fakta hukum yang memiliki nilai. Klaim sensasional seperti ini hanya mengganggu objektivitas dan menciptakan kebisingan yang tidak produktif.

Menjaga Independensi Hukum

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi supremasi hukum, kita harus mewaspadai intervensi dalam bentuk survei internasional yang mencoba memengaruhi opini publik atau bahkan proses hukum di Indonesia. Penegak hukum harus mampu membedakan antara fakta dan opini, antara bukti hukum dan klaim populis. Survei OCCRP adalah contoh nyata bagaimana opini dapat dimanipulasi untuk menciptakan persepsi tertentu yang tidak selalu sesuai dengan realitas hukum.
Kita juga harus menyadari bahwa survei semacam ini sering kali mencerminkan kepentingan pihak tertentu, baik secara politis maupun ekonomi. Dalam banyak kasus, survei internasional digunakan untuk melemahkan legitimasi pemimpin negara berkembang yang dianggap tidak sejalan dengan agenda global. Hal ini menjadi pengingat penting bahwa hukum kita harus tetap independen dan tidak tunduk pada tekanan internasional.
ADVERTISEMENT
Survei OCCRP yang menyebut Jokowi sebagai salah satu “pemimpin paling korup” hanyalah opini yang disamarkan sebagai kebenaran ilmiah. Dari sudut pandang hukum, survei ini tidak memiliki relevansi. Klaim tersebut tidak dapat berdiri di pengadilan karena tidak memenuhi syarat sebagai bukti hukum. Sebagai bangsa yang berdaulat, kita harus menolak narasi yang didasarkan pada opini tanpa fakta, sekaligus memastikan bahwa hukum kita tetap berdiri tegak di atas prinsip keadilan dan kebenaran.
Keadilan tidak membutuhkan survei; ia membutuhkan bukti. Dan dalam hukum, hanya bukti yang berbicara, bukan opini yang dibingkai oleh angka atau persepsi internasional.