Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Hasto Tumbang, Hukum Tetap Berdiri
13 Februari 2025 22:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukum, kata orang, selalu mencari bentuknya sendiri. Seperti air yang mengalir, ia mengikuti relung-relung yang tersedia, melintasi celah-celah yang bisa dilalui, hingga akhirnya menemukan muaranya. Namun, dalam riuh rendah politik, hukum sering kali menjadi sungai yang arusnya ditentukan bukan oleh alam, melainkan oleh tangan-tangan yang tak terlihat—tangan yang lebih lihai dari sekadar aturan tertulis, lebih halus dari sekadar perintah resmi.
ADVERTISEMENT
Kasus Hasto Kristiyanto mengingatkan kita pada hukum yang berdiri di antara harapan dan kenyataan. Praperadilan yang diajukannya ditolak. Hasto tumbang, tapi hukum tetap berdiri—atau setidaknya demikian yang ingin dipercayai banyak orang.
![Sumber: Kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkzwkhr09x2ze2ryesd9y7kk.jpg)
Kekalahan yang Sudah Ditebak
Sejak awal, gugatan praperadilan Hasto Kristiyanto lebih banyak ditafsirkan sebagai strategi politik daripada sebagai upaya hukum yang sungguh-sungguh mencari keadilan. Hasto, sebagai Sekjen PDI Perjuangan, tentu tahu bahwa melawan KPK di meja hijau bukan sekadar perkara argumentasi hukum. Ada konteks yang lebih luas, ada sejarah yang lebih panjang, ada kepentingan yang tak kasatmata.
Dalam dokumen putusannya, hakim menolak praperadilan itu dengan alasan yang formal: status tersangka Hasto sudah sesuai prosedur, penyelidikan yang dilakukan KPK sah, dan bukti yang diajukan cukup kuat. Dengan kata lain, hukum telah berbicara. Tapi apakah hukum hanya soal prosedur? Apakah hukum, dalam wujudnya yang paling murni, hanya kumpulan aturan yang dijalankan tanpa bias?
ADVERTISEMENT
Putusan ini, bagi sebagian orang, adalah pukulan bagi Hasto. Tapi bagi sebagian yang lain, ini hanya episode yang sudah ditebak akhirnya sejak awal. KPK, dalam sejarahnya, jarang kalah dalam praperadilan. Sejarah menegaskan bahwa lembaga ini lebih sering menang, bukan karena mereka sempurna, tetapi karena desain hukum memberinya kekuatan yang nyaris absolut dalam menetapkan status hukum seseorang.
Pertarungan di Balik Meja Hijau
Kasus Hasto bukan sekadar soal benar dan salah dalam hukum. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar aturan acara pidana. Ini adalah pertarungan simbolis antara dua kutub kekuasaan—antara hukum yang mengklaim dirinya netral dan politik yang selalu mencari cara untuk mempengaruhinya.
PDI Perjuangan, partai tempat Hasto bernaung, tengah berada di persimpangan sejarah. Kekalahan di Pilpres 2024 membawa gelombang baru dalam dinamika politik mereka. Di sisi lain, KPK yang kini semakin banyak dikritik karena dinilai kehilangan taring, justru tampak begitu percaya diri dalam kasus ini. Hasto menjadi medan tempur bagi narasi besar: apakah hukum masih bisa berdiri tegak di tengah arus besar politik, ataukah ia hanya menjadi alat yang dimainkan sesuai kebutuhan?
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi hukum yang sehat, praperadilan seharusnya menjadi ruang koreksi terhadap penyalahgunaan kewenangan. Tapi di negeri ini, praperadilan lebih sering menjadi ajang formalitas. Ia hadir sebagai perlawanan simbolik dari mereka yang terpojok oleh hukum, bukan sebagai ruang substantif untuk menegakkan keadilan.
Hukum yang Berdiri, Tapi ke Mana?
“Hasto tumbang, hukum tetap berdiri.” Begitu kira-kira narasi yang ingin ditegaskan oleh putusan ini. Tapi pertanyaannya, hukum berdiri ke arah mana?
Dalam beberapa tahun terakhir, hukum di negeri ini tak selalu berdiri di tempat yang sama. Kadang ia tegak lurus, kadang ia miring ke satu sisi. Kasus-kasus besar membuktikan bahwa hukum bisa begitu keras pada satu kelompok, tapi begitu lunak pada yang lain. Ada kasus yang bertahun-tahun mengendap tanpa kejelasan, ada pula yang dalam hitungan minggu langsung berbuah vonis.
ADVERTISEMENT
Praperadilan Hasto memang telah berakhir, tapi riwayat perdebatan tentang hukum tidak akan pernah selesai. Hukum tetap berdiri, tetapi bukan berarti ia tak bisa digoyang. Kekalahan Hasto dalam gugatan ini mungkin hanya bagian dari ritme yang selalu berulang dalam sejarah kita: ada yang kalah, ada yang menang, ada yang diadili, ada yang lolos.
Dalam suasana politik yang masih panas, putusan ini bisa saja menjadi pesan bahwa hukum tetap bekerja. Tapi bagi mereka yang skeptis, putusan ini hanyalah pengingat bahwa di negeri ini, hukum memang berdiri—tapi sering kali, kita tak pernah tahu, apakah ia berdiri di atas fondasi keadilan, atau di atas panggung politik yang terus berubah-ubah.
Akhir yang Sementara
Hasto kalah di praperadilan, tapi permainan belum selesai. Politik masih bergerak, hukum masih mencari bentuknya. Yang jelas, putusan ini bukan sekadar kemenangan hukum atas seorang politisi. Ini adalah pengingat bahwa dalam percaturan kekuasaan, hukum tidak pernah benar-benar independen. Ia selalu ditarik ke sana kemari, kadang oleh kekuatan yang terlihat, kadang oleh yang tak tampak.
ADVERTISEMENT
Di akhir cerita ini, kita kembali pada pertanyaan lama yang belum terjawab: apakah hukum benar-benar berdiri sendiri, atau ia hanya berdiri karena ada yang menopangnya?
Jawabannya, seperti biasa, tergantung dari mana kita melihatnya.