Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Hikayat Kursi
24 Februari 2025 13:10 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di negeri ini, kursi bukan sekadar benda mati. Ia adalah simbol, ia adalah takdir, ia adalah perebutan dan pengorbanan. Sebuah kursi bisa melahirkan raja-raja, bisa melahirkan tiran, atau kadang hanya jadi tempat duduk seorang pengembara yang kebetulan singgah.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, kursi selalu menjadi rebutan. Kursi di kampus, kursi di ruang sidang, kursi di istana, kursi di ruang rapat partai, atau kursi di panggung debat. Ia menjadi saksi bisu atas sumpah yang dilanggar, janji yang terlupa, dan pengkhianatan yang berulang-ulang terjadi. Kursi, yang semula hanya sebentuk kayu atau logam dengan sandaran sederhana, tiba-tiba menjadi artefak politik yang menyihir banyak orang.
Kursi selalu menjanjikan kekuasaan. Seseorang yang duduk di atasnya bisa mengendalikan takdir banyak orang. Kata-kata yang diucapkan dari kursi itu bisa mengubah hidup jutaan manusia. Tapi kursi juga punya ironi. Kursi itu sendiri tak pernah abadi, sementara orang-orang yang pernah duduk di atasnya selalu merasa mereka akan bertahan selamanya. Mereka lupa, kursi bukanlah takhta. Kursi bisa diambil, ditarik, bahkan dihancurkan. Sejarah adalah kisah tentang mereka yang percaya bahwa kursi adalah hak milik mereka sendiri, hingga akhirnya mereka terlempar dari sana dengan kegetiran.
ADVERTISEMENT
Di negeri yang masih terus belajar memahami demokrasi, kursi menjadi pusat segala gairah politik. Orang-orang rela mengorbankan sahabat, meninggalkan idealisme, bahkan menggadaikan harga diri untuk mendapatkan satu kursi. Pemilu bukan lagi kontestasi gagasan, tapi perlombaan mengamankan kursi. Jabatan bukan lagi soal pengabdian, tetapi tentang seberapa lama seseorang bisa bertahan di kursinya sebelum kursi itu beralih ke orang lain.
Mereka yang duduk di kursi kekuasaan sering lupa bahwa kursi itu tak pernah benar-benar milik mereka. Mereka merasa berhak menentukan segalanya, mengatur nasib rakyat seperti dewa yang menulis takdir. Tapi kursi punya kehendaknya sendiri. Ia bisa setia pada seseorang, tapi juga bisa tiba-tiba berpaling tanpa aba-aba. Sejarah dipenuhi kisah tentang mereka yang jatuh dari kursi kekuasaan dengan cara yang tak pernah mereka bayangkan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada juga yang menghindari kursi. Ada mereka yang memilih tetap berdiri di pinggir, menolak duduk, menolak tenggelam dalam euforia kekuasaan. Mereka percaya bahwa kursi itu terlalu berbahaya, terlalu menggoda, terlalu menyesatkan. Mereka lebih memilih berjalan, menjadi saksi sejarah tanpa perlu terikat pada kursi apa pun.
Kursi juga punya kenangan. Ia menyimpan jejak mereka yang pernah duduk di atasnya. Ada kursi yang dihormati karena pernah diduduki oleh seorang pemimpin besar. Ada kursi yang dikenang karena pernah diisi oleh seorang tiran. Kursi, dengan segala diamnya, merekam segalanya. Ia tahu siapa yang benar-benar datang untuk mengabdi, dan siapa yang hanya datang untuk mencari kehormatan semu.
Tetapi kursi bukan sekadar benda diam. Ia juga punya daya magis. Ia bisa mengubah seseorang yang sebelumnya sederhana menjadi sosok yang rakus. Ia bisa mengubah seorang idealis menjadi pragmatis. Betapa banyak pemimpin yang ketika belum mendapatkan kursi, lantang menyuarakan keadilan dan keberpihakan pada rakyat, tetapi begitu duduk di atasnya, suara itu melemah, nyaris sirna.
ADVERTISEMENT
Kursi juga mengajarkan tentang kesementaraan. Tak ada satu pun kursi yang tak tergantikan. Yang hari ini duduk di atasnya, besok mungkin terlempar. Yang hari ini menempati posisi tertinggi, dalam sekejap bisa jatuh ke jurang kehinaan. Betapa banyak contoh dalam sejarah pemimpin yang terlalu mencintai kursinya, hingga lupa bahwa suatu saat ia harus turun.
Maka, dalam politik, kursi adalah ujian. Ia menguji karakter seseorang. Apakah ia tetap berpegang pada prinsip, atau memilih berkompromi demi mempertahankan posisi? Apakah ia menggunakan kekuasaan untuk melayani, atau justru untuk menumpuk kepentingan pribadi? Kursi memberi kesempatan, tetapi juga bisa menghancurkan mereka yang tak siap menghadapi godaannya.
Di negeri ini, kursi bukan hanya tentang kekuasaan. Ia juga tentang harapan. Rakyat berharap bahwa mereka yang duduk di kursi akan membawa perubahan, akan memperjuangkan kesejahteraan, akan menjadikan negeri ini lebih baik. Tetapi, berapa banyak harapan yang akhirnya hanya menjadi kekecewaan? Berapa banyak janji yang hanya menjadi suara tanpa makna? Karena kursi yang seharusnya menjadi sarana pengabdian, lebih sering berubah menjadi simbol kerakusan.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti kursi selalu berkonotasi negatif. Ada juga mereka yang menggunakannya dengan bijak. Mereka yang sadar bahwa kursi bukan milik pribadi, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab. Mereka yang memahami bahwa bduduk di kursi berarti melayani, bukan menguasai. Mereka yang rela turun dengan kepala tegak ketika waktunya telah tiba, tanpa perlu mempertahankan kursinya dengan segala cara.
Kursi juga punya sejarah panjang dalam filsafat politik. Aristoteles berbicara tentang kursi sebagai bagian dari struktur politik yang harus diisi oleh mereka yang memiliki kebajikan. Machiavelli, dengan realisme politiknya, melihat kursi sebagai sesuatu yang harus dipertahankan dengan segala cara, termasuk melalui intrik dan manipulasi. Sementara Hannah Arendt mengingatkan bahwa kekuasaan yang terlalu lama bersemayam di satu kursi cenderung melahirkan tirani.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kursi bukan hanya benda fisik, tetapi juga simbol budaya politik. Dari kursi raja-raja di masa lalu hingga kursi parlemen di era modern, kursi selalu menjadi pusat perhatian. Tidak heran jika banyak yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan dan mempertahankannya. Dari politik uang, manipulasi hukum, hingga permainan citra di media sosial, semua dilakukan demi satu tujuan: mempertahankan kursi.
Tetapi sejarah juga mencatat, mereka yang terlalu mencintai kursinya sering berakhir dengan tragis. Sebab kursi yang didapat dengan menghalalkan segala cara, pada akhirnya akan jatuh dengan cara yang tak terduga. Tak ada yang bisa menipu waktu. Tak ada yang bisa menipu sejarah.
Maka, hikayat kursi adalah kisah tentang kekuasaan yang silih berganti. Tentang orang-orang yang datang dan pergi. Tentang mereka yang memanfaatkan kursi untuk kebaikan, dan mereka yang terjebak dalam ilusi kekuasaan. Dan pada akhirnya, ketika kursi itu kosong, yang tertinggal hanyalah jejak—jejak tentang bagaimana seseorang menggunakan kursinya selama ia berkuasa. Apakah ia akan dikenang dengan hormat, atau sekadar jadi bagian dari sejarah yang ingin dilupakan?
ADVERTISEMENT