Konten dari Pengguna

Hukum dan Perempuan

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
24 Februari 2025 12:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi hukum dan perempuan, sumber foto : Freepik
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi hukum dan perempuan, sumber foto : Freepik
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, hukum sering diibaratkan sebagai mata pisau. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tetapi bagi perempuan, hukum tak jarang terasa seperti dinding yang dingin dan tak bersuara. Ia ada, tetapi tidak selalu berpihak. Ia menjanjikan perlindungan, tetapi sering kali justru menjadi instrumen pembiaran.
ADVERTISEMENT
Perempuan telah lama hidup dalam narasi hukum yang tak sepenuhnya mendengar mereka. Sejarah membuktikan bahwa hukum sering kali lahir dari perspektif laki-laki—dirumuskan oleh mereka, ditegakkan oleh mereka, dan dipahami dalam logika yang tak selalu melihat pengalaman perempuan sebagai sesuatu yang perlu diberi tempat. Hukum yang dikatakan netral sering kali buta terhadap realitas gender.
Ada pasal-pasal yang menyebut perempuan, ada regulasi yang mengatur tentang hak-hak mereka, tetapi dalam implementasi, hukum bisa berubah menjadi labirin yang membingungkan. Di satu sisi, perempuan dijanjikan perlindungan dari kekerasan, tetapi di sisi lain, banyak kasus yang menunjukkan bahwa sistem hukum justru menjadi penghalang bagi keadilan.
Ketika Hukum Tak Mendengar
Ada seorang perempuan yang datang ke kantor polisi setelah dipukul suaminya. Ia membawa luka di wajah, tangannya gemetar. Tetapi petugas bertanya, “Apakah tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan?” Seolah-olah yang dipermasalahkan hanyalah pertengkaran biasa, bukan kekerasan yang berulang, bukan penderitaan yang tak kasatmata.
ADVERTISEMENT
Kasus semacam ini bukan satu-dua kali terjadi. Berapa banyak laporan kekerasan yang tidak ditindaklanjuti dengan serius? Berapa banyak perempuan yang akhirnya memilih diam, bukan karena tak ingin berjuang, tetapi karena lelah menghadapi sistem yang tak berpihak?
Dalam perkara hukum, perempuan sering kali dibebani oleh ekspektasi moral yang tak diberikan kepada laki-laki. Dalam kasus kekerasan seksual, misalnya, korban bisa dihakimi atas cara berpakaiannya, atas keberadaannya di suatu tempat pada jam tertentu, atas bagaimana ia menolak atau tidak menolak. Seolah-olah beban membuktikan bahwa ia adalah korban lebih berat daripada beban membuktikan bahwa pelaku bersalah.
Di pengadilan, kata-kata perempuan sering diragukan. Bukti yang diharapkan harus konkret, harus memuaskan standar hukum yang kaku. Tetapi bagaimana membuktikan trauma? Bagaimana membuktikan ketakutan yang mengakar? Bagaimana hukum bisa menangkap pengalaman perempuan jika ia terus menerus melihat melalui kacamata yang hanya mengenal bukti fisik dan tidak memahami kompleksitas luka batin?
ADVERTISEMENT
Hukum yang Netral Tetapi Tidak Adil
Ada mitos dalam hukum bahwa aturan harus netral. Hukum, kata mereka, tidak boleh berat sebelah. Tetapi netralitas hukum sering kali justru berarti ketidakadilan.
Lihatlah bagaimana hukum perdata mengatur hak-hak perempuan dalam keluarga. Seorang istri bisa dituntut untuk “taat” kepada suami. Dalam perkara perceraian, beban pembuktian sering kali lebih berat bagi perempuan, terutama jika ia ingin memperjuangkan hak asuh anak. Di banyak kasus warisan, perempuan masih harus berhadapan dengan interpretasi hukum yang menempatkan mereka dalam posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki.
Di dunia kerja, hukum memang melindungi perempuan, tetapi tidak cukup jauh. Peraturan tentang cuti hamil, misalnya, ada dalam undang-undang, tetapi di banyak tempat, perempuan yang mengambil haknya justru dianggap beban perusahaan. Ada diskriminasi yang halus tetapi nyata—kesempatan promosi yang lebih kecil, gaji yang lebih rendah, atau bahkan pertanyaan dalam wawancara kerja tentang apakah ia berencana punya anak.
ADVERTISEMENT
Ketika hukum berdalih netral, ia sering gagal memahami bahwa perempuan tidak berangkat dari posisi yang setara dengan laki-laki. Ada sejarah panjang ketimpangan, ada budaya yang telah membentuk relasi kuasa yang timpang. Maka, hukum yang netral tanpa keberpihakan justru melanggengkan ketidakadilan.
Hukum yang Seharusnya Berpihak
Banyak yang berpikir bahwa hukum adalah instrumen yang kaku, sesuatu yang tidak bisa diubah. Tetapi hukum, pada dasarnya, adalah produk dari masyarakat yang terus bergerak. Jika hukum hari ini tidak berpihak pada perempuan, itu bukan karena hukum memang seharusnya begitu, tetapi karena kita belum cukup berani untuk mengubahnya.
Hukum yang berpihak pada perempuan bukan berarti hukum yang merugikan laki-laki. Sebaliknya, hukum yang adil bagi perempuan justru akan menciptakan masyarakat yang lebih beradab. Perlindungan terhadap korban kekerasan bukan hanya tentang melindungi individu, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang tidak lagi mentoleransi kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
ADVERTISEMENT
Kita membutuhkan sistem hukum yang tidak hanya melihat perempuan sebagai subjek pasif yang harus dilindungi, tetapi sebagai individu yang berhak atas keadilan. Kita membutuhkan pengadilan yang tidak lagi mempertanyakan moralitas korban, tetapi berfokus pada tindakan pelaku. Kita membutuhkan aparat yang tidak hanya tahu hukum dalam teks, tetapi juga memahami konteks sosial yang melingkupinya.
Lebih dari itu, kita membutuhkan hukum yang mendengar. Hukum yang mengakui bahwa pengalaman perempuan berbeda dan harus diberi ruang dalam sistem peradilan. Hukum yang tidak hanya ditulis dengan bahasa yang dingin dan legalistik, tetapi juga dengan kepekaan terhadap ketimpangan yang telah ada begitu lama.
Perempuan dan Masa Depan Hukum
Hukum yang berpihak pada perempuan bukanlah utopia. Ia adalah sesuatu yang bisa diperjuangkan, sesuatu yang bisa diperbaiki. Tetapi itu tidak akan terjadi dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
Diperlukan lebih banyak perempuan dalam posisi pengambil kebijakan hukum. Diperlukan lebih banyak hakim, jaksa, dan advokat yang memahami bahwa hukum tidak boleh buta terhadap realitas gender. Diperlukan pendidikan hukum yang tidak hanya mengajarkan pasal-pasal, tetapi juga mengajarkan keadilan dalam arti yang sesungguhnya.
Yang lebih penting, diperlukan perubahan dalam cara kita memahami hukum. Kita harus meninggalkan anggapan bahwa hukum adalah sesuatu yang statis, sesuatu yang terlepas dari pengalaman hidup manusia. Kita harus mulai melihat hukum sebagai sesuatu yang bisa dan harus berubah, terutama ketika ia gagal melindungi mereka yang paling rentan.
Perempuan telah lama hidup dalam bayang-bayang hukum yang tak berpihak. Tetapi itu bukan akhir dari cerita. Sebab hukum, jika benar-benar dijalankan dengan nurani, seharusnya bukan dinding yang dingin. Ia seharusnya adalah pintu yang terbuka—bagi keadilan, bagi kesetaraan, bagi harapan bahwa suatu hari nanti, hukum benar-benar menjadi milik semua orang, tanpa kecuali.
ADVERTISEMENT