Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Hukum di Negeri Para Koruptor
4 Maret 2025 9:08 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, hukum adalah panggung. Ia bisa dipertontonkan, bisa disulap, bisa diarahkan ke mana saja—tergantung siapa yang bermain. Dalam pertunjukan itu, keadilan lebih sering menjadi ilusi, sesuatu yang dikatakan dengan penuh wibawa, tapi jarang diwujudkan dengan sungguh-sungguh.
ADVERTISEMENT
Hukum, kata mereka, adalah alat untuk menegakkan keadilan. Tapi di negeri ini, hukum lebih sering menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Ia bekerja dengan tegas untuk mereka yang lemah, tetapi lentur bagi mereka yang memiliki kuasa.
Keadilan di sini telah lama tertukar.
Hukum yang Memilih
Di sudut gang yang gelap, seorang pemuda mencuri telepon genggam. Ia tertangkap, dipukuli, lalu diseret ke kantor polisi. Prosesnya cepat, vonisnya tegas. Hukum bekerja tanpa ragu.
Di ruang rapat yang mewah, seorang pejabat menandatangani dokumen. Ia tahu, anggaran yang ia kelola akan bocor ke rekening pribadi dan para koleganya. Ia tetap tenang. Jika suatu hari ketahuan, ia punya tim pengacara, punya koneksi, punya cara untuk menghindari hukuman.
ADVERTISEMENT
Inilah kenyataan hukum di negeri ini. Ia tidak buta. Ia memilih. Ia tahu siapa yang bisa dijerat dan siapa yang harus dibiarkan.
Korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah sering kali hanya dihukum dengan beberapa tahun penjara, itupun dengan kemungkinan bebas lebih cepat. Seorang nenek yang mencuri makanan karena lapar bisa langsung masuk sel tanpa banyak negosiasi. Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Dan kita sudah terbiasa dengan itu.
Keadilan yang Bisa Dinegosiasikan
Setiap kali ada kasus korupsi besar, kita mendengar janji yang sama: penegakan hukum tidak pandang bulu. Tapi nyatanya, bulu tetap dipandang.
Kasus demi kasus korupsi berulang, dan polanya selalu sama. Ada tersangka yang ditangkap, ada sidang yang digelar, ada vonis yang dijatuhkan. Tapi setelah itu?
ADVERTISEMENT
Hukuman yang ringan. Remisi yang murah hati. Kebebasan yang cepat datang.
Kita telah menyaksikan bagaimana koruptor kelas kakap divonis 10 tahun, tetapi keluar setelah menjalani hanya separuh masa hukuman. Kita telah melihat bagaimana penjara menjadi tempat yang ramah bagi mereka, dengan kamar yang lebih nyaman, fasilitas yang lebih baik. Penjara, bagi mereka, bukan hukuman. Hanya jeda.
Dan setelah keluar? Sebagian kembali ke panggung politik, ke dunia bisnis, ke lingkaran kekuasaan yang sama. Mereka tidak benar-benar kalah. Kita yang kalah.
Mengapa Hukum Lemah?
Banyak yang bertanya, mengapa hukum di negeri ini begitu lunak terhadap koruptor?
Jawabannya sederhana: karena hukum dikendalikan oleh mereka yang berkepentingan.
Di banyak negara lain, hukum adalah alat untuk menjaga keseimbangan antara rakyat dan penguasa. Di sini, hukum sering kali digunakan untuk menjaga agar penguasa tetap berkuasa.
ADVERTISEMENT
Korupsi bukan hanya tindakan individu, tetapi bagian dari sistem. Ia terjadi bukan karena seseorang serakah, tetapi karena ada mekanisme yang memungkinkan dan melindungi.
Banyak pejabat yang naik ke jabatan bukan karena kompetensi, tetapi karena kedekatan dengan pemegang kuasa. Banyak pengusaha yang mendapat proyek bukan karena keunggulan, tetapi karena relasi politik.
Dalam sistem seperti ini, menindak tegas korupsi berarti mengguncang fondasi kekuasaan itu sendiri.
Dan itu tidak akan dibiarkan terjadi.
Antara Hukuman dan Pertunjukan
Hukum di negeri ini adalah drama yang dimainkan dengan baik.
Ketika ada skandal besar yang terungkap, kita melihat respons yang sama: investigasi, penangkapan, konferensi pers. Seolah-olah hukum benar-benar bekerja.
Tapi setelah itu, perlahan semuanya menjadi kabur.
Sidang berjalan lambat. Vonis lebih ringan dari yang diperkirakan. Uang negara yang dirampok jarang benar-benar kembali.
ADVERTISEMENT
Kita telah melihat bagaimana seorang pejabat tinggi bisa tetap berkuasa meski namanya dikaitkan dengan korupsi. Kita telah menyaksikan bagaimana seseorang yang pernah dipenjara bisa kembali menduduki jabatan publik.
Di negara ini, korupsi bukan akhir dari karier. Kadang, ia justru menjadi bagian dari perjalanan politik.
Apakah Keadilan Masih Mungkin?
Mereka yang percaya pada hukum mungkin masih berharap bahwa keadilan bisa ditegakkan.
Tapi dengan sistem yang ada sekarang, harapan itu semakin kabur.
Kita bisa bicara soal reformasi hukum, soal penguatan lembaga antikorupsi, soal revisi aturan yang lebih tegas. Tapi selama politik tetap dikuasai oleh mereka yang mengandalkan uang dan koneksi, perubahan hanya akan menjadi kosmetik.
Yang kita butuhkan bukan hanya hukum yang lebih tegas, tetapi sistem politik yang lebih bersih.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya hakim yang lebih jujur, tetapi pemimpin yang lebih berintegritas.
Bukan hanya vonis yang lebih berat, tetapi mekanisme yang benar-benar membuat korupsi tidak lagi menguntungkan.
Tapi pertanyaannya adalah: apakah kita masih memiliki keberanian untuk mewujudkan itu?
Ataukah kita telah begitu lelah, begitu terbiasa dengan ketidakadilan, sehingga kita hanya bisa menjadi penonton dari panggung hukum yang telah lama kehilangan maknanya?
Negeri yang Terjebak dalam Siklus
Kita telah melihat skandal besar, dan kita akan melihat skandal berikutnya.
Kita telah marah, dan kita akan marah lagi.
Tapi apakah kemarahan itu cukup untuk menghentikan siklus ini?
Atau justru, inilah cara sistem bekerja? Membiarkan kita marah sesaat, lalu perlahan melupakan, lalu kembali menjalani hidup seolah tak pernah terjadi apa-apa?
ADVERTISEMENT
Hukum di negeri ini telah lama kehilangan taringnya.
Dan kita, telah lama kehilangan harapan.
Tapi mungkin, justru di saat seperti ini, kita harus bertanya: apakah kita akan terus membiarkan hukum dikendalikan oleh mereka yang merusaknya?
Ataukah kita akan mulai menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar janji keadilan yang selalu tertukar?