Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Hukum Tersesat di Meja Jaksa
14 Februari 2025 21:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Foto: Iqbal Firdaus/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm22vtr1dhep9vsrhe33c3gf.jpg)
ADVERTISEMENT
Di ruang-ruang pengadilan, di meja-meja jaksa, hukum seharusnya menemukan dirinya. Ia seharusnya menjadi terang, menjadi pedoman, menjadi keadilan yang bisa dipertanggungjawabkan. Tapi, seperti banyak kisah yang kita temui, hukum sering kali berjalan dengan langkah terseok, ragu-ragu, dan kadang tersesat.
ADVERTISEMENT
Kasus Zarof Ricar yang kini mengemuka di ruang publik bukan sekadar perkara tindak pidana korupsi. Ini bukan sekadar soal uang Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas yang ditemukan di kediamannya. Bukan pula hanya soal nama-nama yang beredar, yang mungkin berbisik atau membisu di balik dakwaan yang tak utuh. Kasus ini adalah soal bagaimana hukum bekerja—atau lebih tepatnya, bagaimana hukum gagal bekerja.
Hukum, yang seharusnya berfungsi sebagai alat penegakan keadilan, justru menemukan dirinya gamang di meja jaksa. Surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) ternyata menyisakan banyak lubang. Tak ada penjelasan memadai mengenai asal-usul uang dan emas dalam jumlah fantastis itu. Seperti narasi yang sengaja dikaburkan, ada bagian yang dihilangkan, ada pertanyaan yang sengaja tidak dijawab.
ADVERTISEMENT
Dan di sinilah kita harus bertanya: apakah hukum masih bekerja untuk keadilan, atau ia telah menjadi permainan para jaksa dan penguasa?
Dakwaan yang Kosong, Hukum yang Goyah
Kita selalu diajari bahwa dakwaan adalah fondasi dari sebuah perkara pidana. Ia adalah narasi hukum yang harus runtut, kuat, dan tak menyisakan celah untuk spekulasi. Dakwaan bukan hanya alat bagi jaksa untuk mendakwa, tetapi juga bagi hakim untuk menilai dan bagi terdakwa untuk membela diri.
Namun, dakwaan terhadap Zarof Ricar justru menjadi ruang kosong yang lebih banyak menyimpan misteri ketimbang kepastian. Jaksa menyebutkan jumlah uang yang disita, menyebutkan adanya gratifikasi yang diterima, tetapi tidak menjelaskan dari mana sumbernya. Padahal, dalam hukum pidana korupsi, asal-usul uang adalah kunci.
ADVERTISEMENT
Ketika jaksa mengabaikan itu, kita patut curiga: apakah ini sekadar kelalaian, atau ada sesuatu yang lebih besar yang ingin disembunyikan?
Kita pernah melihat bagaimana hukum bisa diarahkan. Bagaimana dakwaan bisa dibuat kabur agar seseorang tetap bisa lolos, atau sebaliknya, dibuat berat agar seseorang bisa dikorbankan. Hukum dalam banyak hal bukan lagi soal hitam dan putih, tapi soal siapa yang mengendalikan narasi.
Kasus ini menunjukkan betapa hukum bisa tersesat di meja jaksa. Sebab jaksa bukanlah makhluk yang berdiri di ruang hampa. Mereka ada dalam struktur, mereka punya kepentingan, mereka bisa ditekan, mereka bisa tergoda.
Dan ketika hukum sudah mulai ditentukan oleh meja perundingan di balik layar, di luar sidang, di luar dokumen resmi, maka yang tersisa hanyalah permainan.
ADVERTISEMENT
Presiden, Jaksa Agung, dan Drama yang Mengulang Diri
Ada suara yang mengatakan Presiden Prabowo bisa memanggil Jaksa Agung untuk mempertanyakan kasus ini. Itu wajar. Karena hukum, pada akhirnya, selalu beririsan dengan politik. Presiden adalah kepala negara, Jaksa Agung adalah pembantu presiden.
Tetapi kita juga tahu, memanggil Jaksa Agung bukanlah jawaban. Bahkan, bukan solusi.
Politik hukum di negeri ini tidak pernah sederhana. Presiden, Jaksa Agung, dan para hakim berada dalam orbit yang sama, tetapi mereka bergerak dalam ritme yang berbeda. Prabowo bisa saja bertanya, bisa saja menekan, tetapi apakah itu akan mengubah substansi hukum yang sudah terlalu sering dimainkan?
Bukankah kita telah menyaksikan drama seperti ini sebelumnya?
Kita ingat bagaimana skandal Jiwasraya berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah tuntas. Bagaimana kasus-kasus besar lain, dari BLBI hingga Century, selalu menyisakan bagian-bagian yang sengaja dilupakan.
ADVERTISEMENT
Sejarah hukum kita adalah sejarah ketidakberesan yang terus diulang.
Dari Pengadilan ke Pasar: Hukum yang Bisa Dinegosiasikan
Yang paling mengerikan dari semua ini bukanlah dakwaan yang lemah, bukan pula skandal yang berlapis-lapis. Yang paling mengerikan adalah bagaimana kita, sebagai masyarakat, mulai terbiasa dengan ketidakberesan ini.
Kita sudah tidak terkejut lagi ketika seorang jaksa bermain mata dengan terdakwa. Kita tidak lagi marah ketika seorang hakim mendadak memutuskan sesuatu yang janggal. Kita bahkan tidak terkejut jika besok Zarof Ricar dijatuhi hukuman ringan, atau sebaliknya, dijadikan kambing hitam.
Hukum, dalam banyak hal, telah menjadi sesuatu yang bisa dinegosiasikan.
Seperti di pasar, ada harga yang bisa ditawar, ada transaksi yang bisa dilakukan. Pengadilan bukan lagi tempat mencari keadilan, tetapi tempat untuk memenangkan kepentingan.
ADVERTISEMENT
Dan jika ini terus berlanjut, kita harus bertanya: apakah kita masih bisa berharap pada hukum?
Keadilan yang Lelah Menunggu
Mungkin kita tidak perlu berharap terlalu banyak pada para jaksa. Mungkin kita juga tidak perlu terlalu berharap pada hakim, atau pada politisi yang mengendalikan mereka.
Tapi kita juga tahu, hukum tidak bisa dibiarkan terus seperti ini.
Jika hukum terus tersesat, ia akan kehilangan otoritasnya. Dan ketika hukum tak lagi dipercaya, maka yang tersisa hanyalah anarki—aturan yang hanya berlaku bagi yang lemah, sementara yang kuat selalu bisa membeli kebebasan.
Barangkali, keadilan itu sedang lelah menunggu. Barangkali, ia masih bertanya apakah ada yang benar-benar memperjuangkannya.
Dan barangkali, kita semua harus mulai bersuara, sebelum hukum benar-benar hilang di meja jaksa.
ADVERTISEMENT