news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Indonesia: Republik Hiperregulasi dan Hiperinstitusi

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
5 Maret 2025 10:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada negara yang diatur oleh hukum, ada pula yang dikendalikan oleh hukum. Indonesia, tampaknya, termasuk dalam kategori kedua. Hukum di negeri ini lebih mirip jaring laba-laba yang kian rapat: bukan untuk menjamin keadilan, tetapi untuk membungkus segala kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Aturan demi aturan lahir seperti cendawan di musim hujan. Regulasi berlipat-lipat, menindih yang lama, sering kali bertentangan dengan dirinya sendiri. Setiap persoalan dianggap bisa selesai dengan menambah satu undang-undang lagi, satu peraturan lagi, satu keputusan lagi. Seakan negara tidak berfungsi tanpa itu.
Bersamaan dengan itu, institusi bermunculan. Setiap masalah diberi badan, komisi, satgas, atau dewan. Dari korupsi hingga kelestarian budaya, dari urusan investasi hingga pernikahan, selalu ada lembaga yang ditugasi. Mereka hidup, tumbuh, dan berbiak, tetapi seberapa efektif? Itu soal lain.
Indonesia, republik hiperregulasi dan hiperinstitusi. Dan ini, lebih sering, bukan pertanda kekuatan, melainkan ketakutan.
Ilustrasi Hiperregulasi dan Hiperinstitusi, Sumber: Dok. Pribadi
Hukum yang Beranak-Pinak
Di republik ini, kita selalu punya aturan untuk segala hal. Dari hal besar seperti investasi asing hingga hal kecil seperti larangan merokok di dalam rumah sendiri. Pemerintah dan parlemen gemar mencipta regulasi, seakan-akan tumpukan kertas bisa menyelesaikan masalah di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Kita punya ribuan undang-undang. Ratusan ribu aturan turunan. Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Surat Edaran, Instruksi, dan ribuan Peraturan Daerah yang kerap melawan hukum nasional.
Hasilnya? Kekacauan.
Satu aturan menyuruh, aturan lain melarang. Pejabat kebingungan. Hakim gamang. Pengusaha bimbang. Rakyat? Mereka tak tahu harus mengikuti yang mana.
Regulasi yang berlebihan bukan hanya mempersulit administrasi. Ia menciptakan jebakan. Wirausaha yang ingin membangun pabriknya harus membaca puluhan aturan sebelum bisa menggali pondasi. Pejabat takut mengambil keputusan karena ada ancaman kriminalisasi jika keliru. Hukum, yang seharusnya memberi kepastian, justru menjadi sumber ketidakpastian.
Dan dalam ketidakpastian, ada celah. Bagi mereka yang bisa bermain di antara aturan-aturan itu, hukum bukanlah beban, tetapi alat tawar-menawar. Regulasi yang berlapis-lapis menciptakan ruang bagi negosiasi tersembunyi.
ADVERTISEMENT
Institusi yang Terlalu Banyak, Otoritas yang Terlalu Kabur
Tak cukup dengan regulasi, Indonesia juga menderita kelebihan institusi. Di republik ini, kita percaya bahwa setiap persoalan bisa diselesaikan dengan membentuk badan baru.
Korupsi? Ada KPK. Tapi ada juga Polri, Kejaksaan, BPK, PPATK, Inspektorat, dan entah apa lagi.
Pendidikan? Ada Kemendikbud, Kemenag, LLDIKTI, BAN-PT, dan lembaga-lembaga sertifikasi lain yang kerap membingungkan.
Investasi? Ada BKPM, ada Kemenko, ada BUMN, ada Kementerian Perdagangan, ada Lembaga Manajemen Aset Negara, dan berbagai komisi yang namanya tak dikenal publik.
Setiap lembaga punya peran, tetapi sering kali tumpang tindih.
Lalu muncul pertanyaan: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab?
Terlalu banyak lembaga membuat keputusan melambat. Karena banyak yang merasa berwenang, tak ada yang benar-benar bertanggung jawab. Dalam birokrasi yang gemuk, masalah kecil pun bisa menjadi berbelit-belit.
ADVERTISEMENT
Dan ironinya, semakin banyak institusi, semakin besar kecurigaan masyarakat. Mereka melihat lembaga-lembaga itu lebih sibuk mengurus dirinya sendiri ketimbang menyelesaikan tugasnya. Atau mungkin, itu memang benar adanya.
Negara yang Berat Melangkah
Negara yang terlalu banyak hukum dan institusi bukanlah negara yang kuat. Ia seperti tubuh yang terlalu gemuk untuk bergerak cepat, terlalu kaku untuk berpikir jernih.
Dalam hiperregulasi, setiap langkah bisa menjadi kesalahan hukum. Pejabat takut mengambil keputusan karena selalu ada pasal yang bisa menjatuhkannya. Pengusaha ragu berinovasi karena regulasi berubah terlalu sering.
Dalam hiperinstitusi, birokrasi semakin berbelit. Layanan publik bukan soal kualitas, tapi soal prosedur. Ketika satu lembaga selesai memeriksa dokumen, ada lembaga lain yang harus ikut tanda tangan. Ketika satu masalah hampir selesai, ada aturan baru yang mengubah mekanisme penyelesaiannya.
ADVERTISEMENT
Negara menjadi seperti mesin yang berjalan tetapi tak pernah sampai. Terlalu sibuk mengatur dirinya sendiri hingga lupa bahwa ia ada untuk rakyatnya.
Sementara itu, di luar sana, dunia bergerak cepat. Negara-negara lain menyederhanakan regulasi agar inovasi tumbuh. Mereka memotong birokrasi agar lebih fleksibel. Tetapi Indonesia? Kita terus menambah aturan dan lembaga, seakan-akan kompleksitas adalah tanda kemajuan.
Menuju Kesederhanaan yang Bijak
Mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak. Melihat kembali, apa yang benar-benar kita butuhkan sebagai bangsa?
Pertama, kita harus berani menyederhanakan regulasi. Bukan menambah, tetapi memangkas. Bukan memperumit, tetapi memperjelas. Regulasi yang baik adalah yang sederhana, tegas, dan bisa dijalankan tanpa tafsir yang berbelit.
Kedua, kita harus berani merampingkan lembaga. Institusi yang berfungsi sama harus digabung atau dibubarkan. Negara yang efisien bukan yang punya banyak lembaga, tetapi yang punya sedikit lembaga yang benar-benar bekerja.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kita harus kembali ke esensi hukum: bukan sebagai alat kontrol berlebihan, tetapi sebagai penjaga keadilan. Hukum harus memberi kepastian, bukan ketakutan. Ia harus bisa dipahami oleh rakyatnya, bukan hanya oleh mereka yang punya akses ke pengacara mahal.
Di republik ini, hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan penjara. Lembaga seharusnya menjadi pemecah masalah, bukan bagian dari masalah. Jika kita ingin Indonesia melangkah maju, kita harus berani menyederhanakan cara kita mengatur diri sendiri.
Jika tidak, kita akan tetap seperti ini: republik yang sibuk menciptakan hukum, sibuk membangun lembaga, tetapi lupa menjalankan tugasnya untuk rakyat.