Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Istana Tanpa Pengawasan: Saatnya UU Lembaga Kepresidenan!
9 Februari 2025 9:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber: Freepik](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkk38vyketmnenqv8ewkp61g.jpg)
ADVERTISEMENT
Sistem pemerintahan presidensial menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Dalam menjalankan tugasnya, Presiden didukung oleh berbagai perangkat, mulai dari Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Kantor Staf Presiden (KSP), hingga staf khusus dan berbagai satuan tugas lainnya. Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun undang-undang yang secara khusus mengatur kelembagaan kepresidenan.
ADVERTISEMENT
Tanpa aturan yang jelas, lembaga kepresidenan menjadi wilayah abu-abu dalam sistem pemerintahan. Ketiadaan regulasi memungkinkan Presiden untuk membentuk, mengubah, atau membubarkan perangkat di sekelilingnya sesuka hati melalui Peraturan Presiden (Perpres). Struktur yang terus berubah ini bukan hanya berdampak pada efektivitas pemerintahan, tetapi juga membuka ruang bagi praktik politik transaksional dan penyalahgunaan kewenangan.
Lebih dari itu, tanpa pengaturan yang tegas, mekanisme akuntabilitas lembaga kepresidenan menjadi lemah. Anggaran yang digunakan, proses rekrutmen pejabat, serta batasan kewenangan orang-orang di sekitar Presiden menjadi sulit diawasi. Akibatnya, kekuasaan yang seharusnya terkendali dalam sistem demokrasi berpotensi melenceng menjadi lebih sentralistik.
Struktur Lembaga Kepresidenan: Dari Satu Presiden ke Presiden Lainnya
Jika kita melihat ke belakang, setiap Presiden di Indonesia memiliki pendekatan yang berbeda dalam menata lingkaran istananya. Pada era Presiden Soeharto, lembaga kepresidenan sangat kuat dan nyaris tak tersentuh. Reformasi 1998 memang membatasi kekuasaan eksekutif, tetapi tidak serta-merta menyentuh kelembagaan kepresidenan secara struktural.
ADVERTISEMENT
Presiden setelah reformasi memiliki variasi dalam mengatur lingkaran kepresidenannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP4), yang berperan dalam mengawal kebijakan prioritas nasional. Begitu berganti kepemimpinan, Presiden Joko Widodo membubarkan UKP4 dan menggantinya dengan Kantor Staf Presiden (KSP) melalui Perpres No. 26 Tahun 2015.
Perubahan ini menunjukkan bahwa tanpa payung hukum yang tetap, struktur lembaga kepresidenan bisa terus berubah sesuai dengan selera Presiden yang sedang berkuasa. Tidak ada standar baku mengenai peran dan batasan lembaga di lingkaran istana.
Bukan hanya unit kerja, posisi Staf Khusus Presiden juga mengalami perkembangan yang tidak teratur. Pada beberapa periode, jumlah Staf Khusus bertambah dengan fungsi yang tidak selalu jelas. Ada yang ditugaskan mengelola komunikasi, ada pula yang seolah-olah memiliki peran sebagai “menteri bayangan” dengan pengaruh yang lebih besar dari pejabat negara resmi.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: di mana letak akuntabilitasnya? Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi penyimpangan atau kebijakan yang keliru?
Anggaran yang Tidak Transparan
Salah satu dampak dari ketiadaan regulasi adalah lemahnya transparansi anggaran lembaga kepresidenan. Dalam sistem yang ada sekarang, anggaran lembaga kepresidenan disalurkan melalui Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Namun, karena lembaga kepresidenan tidak diatur secara khusus, mekanisme penganggarannya menjadi kurang jelas dan sulit diawasi.
Dalam beberapa kesempatan, laporan keuangan terkait lembaga kepresidenan kerap menjadi sorotan. Misalnya, pada periode tertentu, anggaran untuk kebutuhan operasional Presiden meningkat tajam tanpa alasan yang jelas. Karena tidak ada regulasi yang mengatur dengan spesifik, sulit bagi publik dan lembaga pengawas untuk memastikan bahwa anggaran tersebut digunakan secara efektif dan tidak disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Lemahnya transparansi ini tidak hanya terkait anggaran, tetapi juga soal rekrutmen pejabat di lingkungan istana. Tidak ada mekanisme seleksi yang jelas untuk posisi Staf Khusus Presiden, Deputi KSP, atau jabatan lain di lingkungan kepresidenan. Prosesnya lebih banyak bergantung pada penunjukan langsung oleh Presiden, tanpa adanya uji publik atau mekanisme yang bisa memastikan bahwa mereka yang diangkat benar-benar kompeten dan tidak memiliki konflik kepentingan.
Potensi Penyalahgunaan Wewenang
Ketika struktur kelembagaan tidak memiliki batasan hukum yang tegas, maka potensi penyalahgunaan kewenangan menjadi lebih besar. Dalam beberapa kasus, pejabat di lingkungan kepresidenan justru bertindak seolah-olah mereka memiliki kewenangan yang lebih luas daripada yang seharusnya.
Misalnya, ada kalanya Staf Khusus atau pejabat di lingkungan kepresidenan melakukan intervensi dalam proses kebijakan tanpa memiliki mandat resmi. Dalam situasi tertentu, mereka bahkan lebih berpengaruh dibandingkan para menteri yang memiliki kedudukan formal dalam sistem pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini memperlihatkan bahwa tanpa regulasi yang tegas, kekuasaan di lingkungan istana bisa berkembang tanpa kendali yang memadai. Ini bukan hanya berisiko bagi sistem pemerintahan, tetapi juga bagi prinsip demokrasi itu sendiri.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, tidak boleh ada lembaga yang berjalan tanpa pengawasan. Lembaga kepresidenan, sebagai pusat kekuasaan eksekutif, harus tunduk pada mekanisme check and balance yang jelas.
Tanpa regulasi yang spesifik, lembaga kepresidenan berisiko menjadi episentrum kekuasaan yang sulit dikontrol. Politisasi, minimnya transparansi anggaran, serta potensi penyalahgunaan kekuasaan akan terus menjadi ancaman jika tidak ada aturan yang tegas. Sudah saatnya DPR dan pemerintah menempatkan UU Lembaga Kepresidenan sebagai prioritas dalam agenda legislasi nasional. Jika benar kita ingin menjaga demokrasi, regulasi ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikatakan oleh Montesquieu, filsuf hukum dan politik yang merumuskan konsep trias politika dalam karyanya The Spirit of the Laws menyatakan, “To prevent abuse, it is necessary from the very nature of things that power should be a check to power”. Kekuasaan harus dikendalikan oleh kekuasaan lainnya, agar tidak terjadi penyalahgunaan yang merugikan rakyat dan negara. Jika tidak sekarang, kapan lagi?