Konten dari Pengguna

Korupsi Besar, Hukuman Kecil: Catatan Vonis Harvey Moeis

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
28 Desember 2024 18:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Vonis 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dalam kasus korupsi Rp 300 triliun mengejutkan banyak pihak. Angka fantastis kerugian negara ini menjadikannya salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun, hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terasa jauh dari setimpal. Dalam kasus sebesar ini, keadilan bukan hanya tentang hukuman, tetapi juga bagaimana hukum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif filsafat keadilan, vonis ini mencerminkan ketimpangan serius antara ideal normatif keadilan dan praktik hukum yang berlaku. Lebih jauh, ini menunjukkan bagaimana sistem hukum kita masih rentan terhadap pengaruh kekuasaan dan belum mampu sepenuhnya berpihak pada kepentingan publik.
Fakta dan Vonis yang Mengusik
Harvey Moeis dinyatakan bersalah dalam kasus tata niaga komoditas timah yang melibatkan kerja sama antara PT Timah Tbk dan PT Refined Bangka Tin (RBT). Modus operandi kasus ini melibatkan penyalahgunaan wewenang dan manipulasi proses pengadaan sehingga menyebabkan kerugian negara dalam tiga aspek utama: biaya sewa peralatan (Rp 2,28 triliun), pembayaran bijih timah (Rp 26,65 triliun), dan kerusakan lingkungan (Rp 271,07 triliun). Total kerugian mencapai Rp 300 triliun, angka yang hampir setara dengan 10 persen APBN Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun kerugian negara sangat besar, vonis yang dijatuhkan relatif ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Hakim berdalih bahwa terdakwa bersikap sopan selama persidangan, memiliki tanggungan keluarga, dan perannya dalam kejahatan ini dianggap tidak dominan. Pertimbangan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah keadilan substantif benar-benar diwujudkan?
Ketimpangan Keadilan
Dalam filsafat keadilan, Aristoteles membedakan dua jenis keadilan: keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan korektif bertujuan untuk mengoreksi pelanggaran hukum dengan cara yang proporsional terhadap kerugian yang ditimbulkan. Dalam konteks kasus Harvey Moeis, keadilan korektif menuntut hukuman yang setara dengan dampak yang ditimbulkan terhadap negara dan masyarakat. Namun, hukuman yang ringan ini justru mengaburkan prinsip tersebut. Kerugian yang mencapai ratusan triliun rupiah tidak mendapatkan hukuman yang sepadan, seolah-olah besarnya kerugian hanya dipandang sebagai angka statistik.
ADVERTISEMENT
John Rawls, dalam A Theory of Justice, menekankan pentingnya justice as fairness. Dalam perspektif ini, sistem keadilan harus memberikan perlindungan maksimal kepada mereka yang paling dirugikan oleh ketimpangan sistem. Dalam kasus korupsi, kelompok masyarakat miskin yang paling bergantung pada anggaran negara adalah korban utama. Vonis Harvey Moeis, yang tidak memberikan efek jera atau kontribusi signifikan terhadap pemulihan kerugian, melanggar prinsip fairness ini. Hukuman yang ringan bagi pelaku dengan kekuasaan ekonomi besar menunjukkan bahwa hukum sering kali gagal melindungi kepentingan rakyat kecil.
Hukuman Ringan dan Krisis Legitimasi Hukum
Vonis ini juga melanggar prinsip retributif dalam filsafat hukum, yang menuntut hukuman setimpal sebagai pembalasan atas kejahatan. Dalam konteks korupsi, hukuman berat diperlukan tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk mengirimkan pesan kuat kepada masyarakat bahwa korupsi tidak dapat ditoleransi. Hukuman ringan bagi Harvey Moeis mengirimkan pesan yang salah: bahwa kejahatan besar dapat ditebus dengan hukuman ringan jika pelakunya memiliki kekuasaan atau sumber daya yang cukup.
ADVERTISEMENT
Selain itu, vonis ini memperburuk krisis legitimasi hukum di Indonesia. Michael Sandel, dalam Justice: What’s the Right Thing to Do?, menegaskan bahwa hukum yang tidak mencerminkan nilai moral masyarakat akan kehilangan legitimasinya. Dalam kasus Harvey Moeis, masyarakat melihat bagaimana hukum gagal mencerminkan rasa keadilan publik. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum semakin menurun, dan ini menjadi tantangan besar bagi pemberantasan korupsi di masa depan.
Kasus Harvey Moeis juga mengungkapkan ketimpangan dalam penegakan hukum. Dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat kecil atau masyarakat kelas bawah, hukuman sering kali jauh lebih berat meskipun kerugian negara yang ditimbulkan lebih kecil. Fenomena ini mempertegas persepsi bahwa hukum di Indonesia masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
ADVERTISEMENT
Hukuman ringan bagi pelaku korupsi kelas kakap tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga menciptakan preseden buruk. Jika pelaku korupsi besar seperti Harvey Moeis dapat lolos dengan hukuman ringan, ini akan mendorong pelaku lainnya untuk melakukan hal serupa. Korupsi akan terus dianggap sebagai kejahatan berisiko rendah dengan keuntungan besar.
Kasus Harvey Moeis harus menjadi momentum penting untuk mereformasi sistem hukum di Indonesia. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memastikan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim mencerminkan dampak kejahatan terhadap masyarakat dan negara. Hukuman dalam kasus korupsi besar harus tegas, setimpal, dan mampu memberikan efek jera, bukan justru mencederai rasa keadilan publik.
Selanjutnya, transparansi dalam seluruh proses hukum menjadi kunci. Mulai dari penyidikan, persidangan, hingga pengambilan keputusan, semuanya harus terbuka dan dapat diakses oleh publik. Hal ini penting untuk memastikan integritas hukum dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan, terutama dalam menangani kasus-kasus besar.
ADVERTISEMENT
Lembaga penegak hukum juga harus diperkuat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai salah satu garda terdepan pemberantasan korupsi, harus memiliki kewenangan yang kokoh dan bebas dari intervensi politik. Setiap upaya melemahkan lembaga ini hanya akan memperburuk kondisi pemberantasan korupsi di tanah air. Selain itu, penerapan keadilan restoratif harus menjadi bagian integral dalam penegakan hukum. Pelaku korupsi tidak hanya dijatuhi hukuman pidana, tetapi juga diwajibkan memulihkan kerugian yang ditimbulkan. Dalam konteks ini, langkah konkret bisa berupa pengembalian aset negara, pembayaran denda, hingga kompensasi atas kerusakan yang diakibatkan.
Vonis Harvey Moeis adalah cermin dari kelemahan sistem hukum kita dalam menangani korupsi besar. Ketimpangan antara beratnya kejahatan dan ringannya hukuman mencerminkan kegagalan hukum untuk melindungi kepentingan publik dan memberikan rasa keadilan. Lebih dari itu, kasus ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita masih jauh dari ideal keadilan substantif.
ADVERTISEMENT
Jika hukum ingin kembali menjadi instrumen keadilan yang sejati, reformasi mendalam harus dilakukan. Hukum bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal moralitas dan keberanian untuk berpihak kepada kepentingan rakyat. Vonis Harvey Moeis harus menjadi peringatan bahwa perjuangan melawan korupsi tidak boleh berhenti pada retorika, tetapi harus diwujudkan melalui tindakan nyata. Dengan langkah yang tepat, kita masih bisa membayangkan Indonesia yang lebih adil dan bebas dari korupsi.