news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Lembaga Kepresidenan: Mengapa Tak Mau Diatur?

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
28 Februari 2025 17:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada yang tak berubah dalam politik kita: kekuasaan selalu ingin lebih besar dari hukum. Sejak awal republik ini berdiri, jabatan presiden telah menjadi pusat gravitasi politik, tetapi ia tetap berdiri dalam semacam kekosongan hukum. Tak ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur lembaga kepresidenan. Tak ada aturan yang betul-betul membatasi bagaimana kekuasaan eksekutif boleh dijalankan, atau seberapa jauh presiden bisa melangkah sebelum perlu diingatkan bahwa negara ini bukan miliknya seorang.
ADVERTISEMENT
Mengapa?
Ini bukan sekadar pertanyaan teknis hukum, tetapi soal bagaimana kita memahami kekuasaan. Hukum diciptakan untuk mengatur manusia, tetapi sering kali kekuasaan lahir dengan keyakinan bahwa dirinya adalah pengecualian. Seolah-olah presiden, siapa pun dia, adalah individu yang cukup bijak untuk menentukan batasannya sendiri.
Ilustrasi Ruang Kerja Presiden, Sumber: Freepik
Tetapi sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa itu tidak pernah benar.
Kekuasaan yang Tak Pernah Mau Dibatasi
Setiap presiden datang dengan janji untuk melayani rakyat. Setiap rezim memulai dengan narasi bahwa kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Tetapi seiring waktu, batas-batas hukum menjadi lebih lentur, aturan bisa dinegosiasikan, dan kewenangan bisa diperluas dengan alasan “demi kepentingan bangsa.”
Lihatlah bagaimana lembaga kepresidenan berkembang di Indonesia. Dari Sukarno yang mengukuhkan dirinya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, ke Soeharto yang membangun rezim stabilitas dengan tangan besi. Dari era reformasi yang menjanjikan transparansi, hingga kini, ketika lembaga kepresidenan kembali menjadi pusat dari segala keputusan besar—tanpa banyak pertanggungjawaban.
ADVERTISEMENT
Dan di tengah itu semua, kita masih bertanya: Mengapa tidak ada Undang-Undang yang benar-benar mengatur lembaga kepresidenan?
Jawabannya sederhana: karena kekuasaan, pada dasarnya, selalu menolak dikekang.
Di negara-negara lain, ada aturan yang tegas. Di Amerika Serikat, ada Presidential Records Act yang memastikan setiap tindakan presiden terdokumentasi dan bisa dipertanggungjawabkan. Di Jerman, presiden tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa konsultasi dengan parlemen. Tetapi di Indonesia, presiden adalah entitas yang tak tersentuh.
Kita bisa mengatur kementerian, bisa mengatur dewan pertimbangan presiden, tetapi lembaga kepresidenan itu sendiri tetap dibiarkan samar. Seolah-olah republik ini terlalu takut untuk benar-benar menetapkan batas bagi pemimpinnya sendiri.
Negara Hukum, Tetapi Tidak untuk Presiden?
Dalam teori hukum, kekuasaan yang baik adalah kekuasaan yang tunduk pada aturan. Tetapi di Indonesia, kita hidup dalam sebuah paradoks: negara ini sering membanggakan diri sebagai negara hukum, tetapi hukum itu tampaknya hanya berlaku bagi mereka yang tak berkuasa.
ADVERTISEMENT
Kita melihat bagaimana hukum bisa bekerja cepat ketika berhadapan dengan rakyat biasa, tetapi begitu lamban ketika harus mengatur mereka yang berada di puncak kekuasaan. Presiden bisa menggunakan aparat negara untuk membentuk citranya, bisa mengatur ulang kebijakan publik dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), bisa membentuk badan-badan baru tanpa kontrol yang jelas dari parlemen.
Kita juga melihat bagaimana peraturan bisa diubah untuk menyesuaikan kepentingan kekuasaan. Jika sebuah aturan tidak menguntungkan bagi mereka yang sedang berkuasa, aturan itu bisa direvisi, ditunda, atau bahkan dikesampingkan.
Inilah mengapa kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang sedang mengatur siapa?
Jika hukum adalah alat yang dirancang untuk mengontrol kekuasaan, mengapa lembaga kepresidenan bisa terus beroperasi tanpa aturan yang benar-benar membatasinya?
ADVERTISEMENT
Ketakutan Parlemen, Kepatuhan Birokrasi
Ada alasan lain mengapa hingga hari ini, kita belum memiliki Undang-Undang Lembaga Kepresidenan.
Pertama, parlemen terlalu lemah. DPR seharusnya menjadi pengawas utama kekuasaan eksekutif, tetapi terlalu sering terjebak dalam kompromi politik. Alih-alih mengontrol presiden, parlemen lebih sering menjadi bagian dari mekanisme yang justru memperkuat kekuasaannya.
Kedua, birokrasi terlalu patuh. Dalam sistem demokrasi yang sehat, birokrasi seharusnya menjadi mesin administrasi yang independen dari pengaruh politik. Tetapi di Indonesia, birokrasi adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan presiden. Sehingga, alih-alih menjadi pengimbang, birokrasi justru menjadi alat bagi presiden untuk mengukuhkan posisinya.
Ketiga, masyarakat terlalu permisif. Kita telah terbiasa dengan gagasan bahwa presiden adalah figur yang harus dihormati, bukan dikritik. Kita telah menerima bahwa kekuasaan bisa mengambil keputusan besar tanpa harus berkonsultasi dengan rakyatnya. Dan ketika ada yang mempertanyakan, mereka sering kali dicap sebagai “anti-pemerintah” atau “tidak nasionalis.”
ADVERTISEMENT
Dan dalam sistem seperti ini, tak heran jika presiden bisa berkuasa tanpa aturan yang benar-benar mengikatnya.
Ketika Kekuasaan Tak Lagi Bisa Dikendalikan
Tanpa regulasi yang jelas, kita melihat bagaimana lembaga kepresidenan semakin hari semakin tak terbatas. Kita menyaksikan bagaimana keputusan besar bisa diambil tanpa pengawasan yang memadai, bagaimana presiden bisa menentukan arah kebijakan tanpa dialog yang berarti dengan parlemen atau masyarakat.
Dan yang lebih berbahaya, kita mulai kehilangan mekanisme untuk menantang kekuasaan.
Jika hari ini kita membiarkan presiden berkuasa tanpa aturan yang jelas, maka besok atau lusa, siapa pun yang berkuasa akan merasa berhak melakukan hal yang sama. Jika kita tidak memiliki Undang-Undang yang membatasi kewenangan presiden, maka kita sedang membuka pintu bagi otoritarianisme yang lebih canggih.
ADVERTISEMENT
Sebab, otoritarianisme hari ini tidak datang dalam bentuk kudeta militer atau pemimpin seumur hidup. Ia datang dalam bentuk pelemahan sistem hukum, dalam bentuk pengikisan peran parlemen, dalam bentuk penciptaan lembaga kepresidenan yang begitu kuat, tetapi tak tersentuh.
Dan kita telah melihat tanda-tandanya.
Saatnya Mengatur Lembaga Kepresidenan
Kita harus kembali ke pertanyaan awal: Mengapa lembaga kepresidenan tak mau diatur?
Mungkin jawabannya bukan karena tidak bisa diatur, tetapi karena tidak ada cukup keberanian politik untuk melakukannya.
Tetapi jika kita percaya pada demokrasi, jika kita percaya bahwa republik ini dibangun di atas prinsip hukum, maka kita harus berani menuntut Undang-Undang yang mengatur lembaga kepresidenan.
Kita memerlukan regulasi yang:
1. Menentukan batasan kewenangan presiden – agar tidak ada presiden yang bisa bertindak sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
2. Memperkuat mekanisme pengawasan – agar setiap keputusan besar harus melewati kontrol yang ketat.
3. Membatasi penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik – agar tidak ada presiden yang bisa menggunakan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadinya.
Sudah terlalu lama kita membiarkan presiden berkuasa tanpa aturan yang jelas. Sudah saatnya kita menuntut regulasi yang benar-benar membatasi kekuasaan eksekutif dan memastikan bahwa presiden, seperti warga negara lainnya, juga tunduk pada hukum.
Karena jika tidak, kita akan terus hidup dalam ilusi demokrasi. Kita akan terus percaya bahwa negara ini adalah negara hukum, padahal kenyataannya, hukum itu tak pernah benar-benar berani menyentuh puncak kekuasaan.
Dan jika kita terus membiarkan ini terjadi, maka mungkin kita memang bukan lagi republik. Kita hanya sekadar negara dengan pemimpin yang tak pernah benar-benar mau diatur.
ADVERTISEMENT