Konten dari Pengguna

Mahkamah Konstitusi dan Jalan Baru Pemilihan Presiden

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
9 Januari 2025 9:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar sumber KPU : Ilustrasi surat suara
zoom-in-whitePerbesar
Gambar sumber KPU : Ilustrasi surat suara
ADVERTISEMENT
Oleh: Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan presidential threshold sebesar 20 persen merupakan babak baru dalam demokrasi Indonesia. Keputusan ini tidak hanya menjadi penegasan atas prinsip keterbukaan dalam pemilu, tetapi juga respons nyata terhadap kritik panjang terhadap aturan yang dinilai membatasi ruang partisipasi politik. Dalam tulisan ini, saya akan membahas secara mendalam implikasi keputusan MK tersebut, konteks historis aturan presidential threshold, dan tantangan yang mungkin dihadapi ke depan.
ADVERTISEMENT
Kontroversi Presidential Threshold
Presidential threshold diperkenalkan dalam rangkaian perubahan sistem politik pascareformasi sebagai bagian dari upaya stabilisasi pemerintahan presidensial. Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, partai politik atau gabungan partai politik diwajibkan memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Namun, keberadaan aturan ini sejak awal telah menuai kritik dari berbagai kalangan. Salah satu kritik utama adalah bahwa presidential threshold membatasi hak partai kecil dan independen untuk ikut serta dalam kontestasi pemilihan presiden. Ini menciptakan situasi di mana hanya partai-partai besar atau gabungan partai yang mampu mencalonkan kandidat, sehingga mengurangi keberagaman pilihan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada Pemilu 2019, data menunjukkan bahwa dari 16 partai peserta pemilu, hanya sembilan yang berhasil lolos parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional. Partai-partai kecil, meskipun memiliki dukungan signifikan dari rakyat, kehilangan peluang untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, proses politik menjadi arena eksklusif bagi segelintir kekuatan politik.
Menafsirkan Prinsip Demokrasi Secara Progresif
Pada awal 2025, MK memutuskan bahwa ketentuan presidential threshold tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Keputusan ini diambil setelah serangkaian gugatan yang diajukan oleh berbagai kelompok masyarakat dan akademisi, yang menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan.
Putusan MK ini memberikan penafsiran progresif terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan dihapusnya presidential threshold, setiap partai politik peserta pemilu kini memiliki hak yang setara untuk mengusulkan calon tanpa harus memenuhi batas minimal perolehan kursi atau suara.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini juga mencerminkan semangat Pasal 22E UUD 1945, yang menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Presidential threshold, dalam praktiknya, sering kali menjadi hambatan struktural yang mengurangi kebebasan rakyat dalam menentukan pemimpin nasional mereka.
Implikasi Terhadap Demokrasi
Keputusan MK ini memiliki berbagai implikasi penting terhadap demokrasi Indonesia. Pertama, keputusan ini membuka ruang bagi partai-partai kecil untuk lebih berperan dalam proses politik nasional. Sebelumnya, partai kecil hanya memiliki dua pilihan: bergabung dengan partai besar atau menerima posisi marginal. Dengan aturan baru ini, mereka memiliki peluang nyata untuk mencalonkan kandidat sendiri, yang dapat meningkatkan partisipasi politik dan representasi yang lebih luas.
Kedua, keputusan ini akan menambah alternatif pilihan untuk rakyat. Salah satu kritik utama terhadap pemilu presiden sebelumnya adalah terbatasnya pilihan kandidat. Pada Pemilu 2019, misalnya, hanya ada dua pasangan calon, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dengan dihapusnya threshold, jumlah kandidat berpotensi bertambah, sehingga memberikan lebih banyak alternatif bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang paling sesuai dengan aspirasi mereka.
ADVERTISEMENT
Ketiga, keputusan ini dapat mengurangi polarisasi politik. Sistem presidential threshold cenderung memunculkan politik dua kubu, yang sering kali diikuti oleh polarisasi masyarakat. Dengan lebih banyak kandidat yang bertarung, narasi politik bisa menjadi lebih beragam, sehingga mengurangi risiko terjadinya konflik horizontal akibat perbedaan dukungan politik.
Keempat, keputusan ini akan mengubah dinamika koalisi partai. Partai-partai besar yang selama ini mendominasi pencalonan presiden harus menghadapi realitas baru. Mereka perlu beradaptasi dengan konfigurasi politik yang lebih beragam, di mana partai kecil memiliki peran yang lebih signifikan. Hal ini berpotensi mengubah pola koalisi yang selama ini didasarkan pada kalkulasi pragmatis semata.
Tantangan yang Perlu Diantisipasi
Namun, penghapusan presidential threshold juga menimbulkan sejumlah tantangan yang perlu dikelola dengan baik. Pertama, ada risiko fragmentasi politik. Dengan lebih banyak kandidat yang maju, suara masyarakat dapat terpecah, sehingga menyulitkan pembentukan pemerintahan yang stabil. Sistem politik Indonesia yang berbasis presidensial memerlukan dukungan parlemen yang kuat agar pemerintahan dapat berjalan efektif.
ADVERTISEMENT
Kedua, penghapusan presidential threshold meningkatkan kemungkinan pemilu dua putaran. Jika tidak ada kandidat yang memperoleh suara mayoritas di putaran pertama, pemilu harus dilanjutkan ke putaran kedua. Dengan lebih banyak kandidat, kemungkinan pemilu dua putaran meningkat, yang berarti biaya penyelenggaraan pemilu juga akan lebih besar.
Ketiga, kompetisi politik yang semakin terbuka berpotensi memunculkan praktik politik yang tidak sehat. Dalam situasi di mana terlalu banyak kandidat bersaing, kampanye bisa menjadi lebih intens dan rentan terhadap praktik-praktik tidak sehat, seperti politik uang dan penyebaran informasi palsu. Hal ini memerlukan pengawasan yang lebih ketat dari penyelenggara pemilu dan masyarakat.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, perlu memastikan bahwa proses pemilu berlangsung jujur, adil, dan transparan. Pengawasan terhadap praktik politik uang dan kampanye negatif harus diperketat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masyarakat perlu diedukasi mengenai pentingnya memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak dan visi-misi, bukan sekadar popularitas atau pengaruh politik uang. Sistem checks and balances antara eksekutif dan legislatif juga perlu diperkuat untuk memastikan pemerintahan tetap efektif dan akuntabel.
Akhirnya, partai politik harus membuka diri terhadap kader-kader potensial dari berbagai latar belakang untuk memastikan bahwa kandidat yang diusung benar-benar representatif dan kompeten.
Keputusan MK untuk menghapus presidential threshold adalah langkah progresif menuju demokrasi yang lebih inklusif dan substantif. Dengan terbukanya ruang bagi lebih banyak kandidat dan partai politik, rakyat Indonesia memiliki peluang lebih besar untuk memilih pemimpin yang benar-benar sesuai dengan aspirasi mereka.
Namun, keberhasilan keputusan ini sangat bergantung pada kemampuan semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat, untuk mengelola tantangan yang ada. Jika tantangan ini dapat diatasi dengan baik, Indonesia tidak hanya akan memiliki pemilu yang lebih terbuka, tetapi juga demokrasi yang lebih bermakna bagi seluruh rakyatnya.
ADVERTISEMENT