Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Masyarakat Litigator
6 Maret 2025 13:34 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita hidup di zaman di mana perbedaan pandangan lebih sering berakhir di meja hijau. Sengketa yang dulu diselesaikan dengan dialog, kini berubah menjadi perkara hukum. Ketidaksepahaman, yang dalam masyarakat lain bisa diurai lewat percakapan, di negeri ini mudah sekali menjelma gugatan.

Indonesia perlahan menjadi masyarakat litigator—sebuah bangsa yang tak hanya gemar mengatur, tetapi juga gemar berperkara. Setiap konflik dianggap bisa diselesaikan dengan hukum. Setiap ketidaknyamanan bisa diajukan ke pengadilan. Hukum, yang dulu dipandang sebagai jalan terakhir, kini menjadi pilihan pertama.
ADVERTISEMENT
Apakah ini tanda kedewasaan hukum atau justru kegagapan sosial?
Hukum seharusnya menjaga keteraturan dan keadilan. Tapi ketika masyarakat lebih banyak mencari keadilan di pengadilan daripada di dalam relasi sosial, kita patut bertanya: apakah hukum telah mengambil alih ruang-ruang yang seharusnya diisi oleh kebijaksanaan dan kemanusiaan?
Di negeri ini, setiap perbedaan bisa menjadi perkara. Dari urusan politik, bisnis, hingga hal-hal sepele di media sosial, semuanya bisa berujung pada gugatan. Kita semakin kehilangan budaya bermusyawarah, dan semakin terbiasa mengadukan segalanya ke institusi hukum.
Tak puas dengan kebijakan pemerintah? Gugat ke Mahkamah Konstitusi.
Merasa dirugikan dalam bisnis? Laporkan ke pengadilan.
Tersinggung oleh sebuah cuitan? Ajukan tuntutan.
Hukum memang menjadi pilar dalam kehidupan bernegara, tetapi ia tidak bisa menjadi satu-satunya solusi. Sebab ada hal-hal yang seharusnya diselesaikan di luar ruang sidang: melalui percakapan, negosiasi, atau sekadar sikap saling memahami.
ADVERTISEMENT
Namun, kita telah sampai pada titik di mana hukum bukan lagi alat keadilan, melainkan strategi dalam kompetisi. Gugatan bukan hanya untuk menegakkan hak, tetapi juga untuk membungkam lawan. Putusan pengadilan bukan sekadar penyelesaian, tetapi kemenangan.
Ketika hukum menjadi senjata, keadilan bisa menjadi korban.
Munculnya fenomena masyarakat litigator ini bukan tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang membuat hukum semakin dominan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.
Pertama, semakin banyaknya regulasi membuka ruang bagi lebih banyak perselisihan. Ketika aturan semakin rinci dan ketat, semakin besar pula kemungkinan terjadinya pelanggaran—atau setidaknya tafsir yang berbeda atas aturan tersebut.
Kedua, kepercayaan terhadap mekanisme sosial di luar hukum semakin lemah. Dulu, orang menyelesaikan konflik melalui perundingan, mediasi, atau forum adat. Kini, banyak yang merasa bahwa hanya pengadilan yang bisa memberi kepastian.
ADVERTISEMENT
Ketiga, hukum telah menjadi bagian dari strategi politik dan bisnis. Di tangan kelompok tertentu, gugatan hukum bukan lagi sekadar upaya mencari keadilan, tetapi juga alat untuk menekan, menghambat, bahkan menjatuhkan lawan.
Keempat, maraknya media sosial mempercepat eskalasi konflik. Apa yang dulu hanya sekadar perdebatan di warung kopi kini bisa berkembang menjadi isu nasional dalam hitungan jam. Dan di tengah kegaduhan digital, sering kali hukum menjadi satu-satunya alat yang dianggap bisa meredam gejolak.
Di tengah arus ini, kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar ingin hidup dalam masyarakat yang segalanya harus diselesaikan di pengadilan? Apakah kita masih memiliki ruang untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih manusiawi?
Hukum memang penting. Tetapi masyarakat yang sehat tidak boleh sepenuhnya bergantung pada hukum untuk menyelesaikan semua masalahnya. Ada banyak hal yang lebih baik diselesaikan dengan musyawarah, pemahaman, atau sekadar sikap bijaksana dalam menerima perbedaan.
ADVERTISEMENT
Negara-negara yang peradaban hukumnya maju justru bukan negara yang gemar menggugat, tetapi negara yang hukum dan sistem sosialnya mampu menjaga keseimbangan. Hukum memang perlu ditegakkan, tetapi masyarakat tidak boleh kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa harus selalu melibatkan pengadilan.
Indonesia harus belajar membangun budaya dialog. Harus ada upaya untuk menghidupkan kembali mekanisme sosial yang bisa menyelesaikan konflik tanpa harus selalu berakhir di meja hijau. Sebab masyarakat yang sehat bukan masyarakat yang paling banyak berperkara, tetapi masyarakat yang paling mampu menemukan solusi tanpa harus berperang lewat hukum.
Kita butuh hukum yang kuat. Tetapi lebih dari itu, kita butuh masyarakat yang bijak. Sebab hukum yang baik sekalipun tak akan banyak berguna jika masyarakatnya kehilangan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan.
ADVERTISEMENT
Sebab, pada akhirnya, keadilan bukan hanya soal menang atau kalah di pengadilan. Tetapi tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, bisa hidup bersama dalam keberagaman tanpa harus selalu berperkara.6y