Konten dari Pengguna

Membedah Data OCCRP 2024: Jokowi dan Label Pemimpin Terkorup

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
1 Januari 2025 6:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi di rumahnya di Solo, Selasa (31/12/2024). Foto: Dok. kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi di rumahnya di Solo, Selasa (31/12/2024). Foto: Dok. kumparan
ADVERTISEMENT
Laporan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) tahun 2024 yang mencantumkan nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu pemimpin terkorup dunia telah menimbulkan polemik luas.
ADVERTISEMENT
Dalam diskursus politik dan hukum, tuduhan ini bukan hanya soal persepsi tetapi juga mengancam reputasi Indonesia di kancah internasional. Untuk memahami substansi tuduhan ini, perlu dilakukan analisis berbasis data dan fakta yang tervalidasi.

Transparansi Metodologi

OCCRP memiliki reputasi global dalam mengungkap skandal korupsi besar. Namun, laporan mereka terhadap Jokowi perlu dipertanyakan dari segi metodologi. Terdapat beberapa kelemahan yang patut disoroti:
1. Kriteria Pemeringkatan:
OCCRP menggunakan indikator seperti persepsi publik, dampak kebijakan, dan keterlibatan langsung atau tidak langsung dalam korupsi. Namun, laporan tersebut tidak menyertakan bukti konkret atas tuduhan terhadap Jokowi. Sebagai contoh, dalam laporan, proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) disebutkan sebagai salah satu indikasi kebocoran anggaran. Namun, audit BPK atas proyek ini tidak menemukan pelanggaran signifikan.
ADVERTISEMENT
2. Data yang Tidak Komprehensif:
Laporan ini tampaknya mengabaikan fakta bahwa sejumlah proyek besar yang dipimpin oleh Jokowi telah melalui pengawasan ketat, termasuk audit internal oleh KPK dan BPK. Sebagai contoh, proyek jalan tol trans-Jawa dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung memang menghadapi kendala pembengkakan anggaran, tetapi tidak ada bukti korupsi langsung yang melibatkan Jokowi secara pribadi.
3. Bias Persepsi Global:
Dalam laporan OCCRP, persepsi internasional tentang keterlibatan Tiongkok dalam proyek-proyek besar Indonesia menjadi salah satu variabel penting. Namun, pendekatan ini bias terhadap kepentingan geopolitik global, terutama dalam persaingan antara Barat dan Tiongkok.

Data Empiris

Untuk menilai klaim ini, perlu dilihat rekam jejak pemberantasan korupsi selama masa pemerintahan Jokowi:
1. Indeks Persepsi Korupsi (CPI):
ADVERTISEMENT
CPI Indonesia pada 2023 berada di angka 34, stagnan dibandingkan tahun sebelumnya. Meski angka ini tidak membanggakan, hal ini menunjukkan bahwa kondisi korupsi di Indonesia tidak memburuk secara signifikan selama kepemimpinan Jokowi.
2. Reformasi Sistem Pengadaan Barang dan Jasa:
Jokowi memperkenalkan digitalisasi dalam pengadaan barang dan jasa melalui sistem e-procurement. Langkah ini terbukti mengurangi peluang korupsi pada tingkat birokrasi.
3. Penindakan Kasus Korupsi Besar:
Selama dua periode pemerintahan Jokowi, sejumlah kasus korupsi besar diusut, seperti kasus korupsi Jiwasraya, Asabri, dan pengadaan bansos COVID-19. Meskipun mendapat kritik atas dugaan intervensi politik dalam beberapa kasus, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan langsung Jokowi.
4. Kritik terhadap Pelemahan KPK:
Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 menjadi salah satu poin kritik terhadap pemerintahan Jokowi. Namun, revisi tersebut bukanlah bukti bahwa Jokowi mendukung korupsi, melainkan lebih mencerminkan dinamika politik antara eksekutif, legislatif, dan penegak hukum.
ADVERTISEMENT

Dimensi Geopolitik dan Narasi Politis

Tuduhan dari OCCRP terhadap Jokowi juga harus dilihat dalam konteks geopolitik. Proyek-proyek besar seperti IKN dan kereta cepat Jakarta-Bandung sebagian besar didanai oleh Tiongkok, yang sering menjadi target kritik dari negara-negara Barat. Laporan ini berpotensi digunakan sebagai alat geopolitik untuk melemahkan pengaruh Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.
Di sisi domestik, laporan ini muncul menjelang pemilu 2024, di mana persaingan politik mencapai puncaknya. Tuduhan ini berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk merusak citra partai politik yang diasosiasikan dengan Jokowi.
Fakta yang sering diabaikan adalah bahwa tuduhan korupsi terhadap Jokowi sebagian besar tidak diverifikasi secara hukum. Dalam laporan OCCRP, tidak ada rujukan langsung pada investigasi hukum yang sah. Sebaliknya, laporan ini hanya mengandalkan analisis persepsi, yang rentan terhadap bias.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, pada 2023, proyek pembangunan jalan tol trans-Sumatera dituduh mengalami pembengkakan anggaran. Namun, laporan audit BPK menyatakan bahwa pembengkakan tersebut lebih disebabkan oleh kenaikan harga material dan bukan korupsi.

Rekomendasi Strategis

Untuk menanggapi laporan ini, langkah-langkah berikut perlu dilakukan yaitu:
1. Audit Independen terhadap Proyek Besar:
Pemerintah perlu melibatkan auditor independen untuk menilai transparansi dan akuntabilitas proyek seperti IKN dan kerkereta cepat Jakarta-Bandung. Audit ini penting untuk memberikan klarifikasi kepada publik tentang sejauh mana proyek-proyek ini berjalan sesuai prosedur dan apakah ada indikasi penyalahgunaan anggaran. Laporan yang transparan dan terbuka akan memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang pengelolaan keuangan negara.
2. Peningkatan Keterbukaan Informasi Publik:
Pemerintah harus mendorong lebih banyak transparansi dalam pengelolaan anggaran, terutama untuk proyek-proyek strategis nasional. Pembukaan akses publik terhadap laporan pengelolaan anggaran dan proses tender dapat menjadi langkah penting untuk mengurangi spekulasi negatif dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
3. Penguatan Lembaga Penegak Hukum:
Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa lembaga seperti KPK dapat bekerja tanpa hambatan politik. Ini termasuk memastikan bahwa tidak ada intervensi dalam proses hukum yang sedang berlangsung. Keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pada integritas dan independensi lembaga-lembaga ini. Oleh karena itu, menjaga keberlanjutan pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama.
4. Komunikasi yang Efektif dengan Publik:
Pemerintah perlu meningkatkan komunikasi dengan masyarakat terkait upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan. Penyuluhan yang lebih intensif mengenai mekanisme kontrol terhadap korupsi dan dampaknya terhadap pembangunan nasional sangat penting untuk membangun kesadaran publik. Hal ini juga dapat membantu mengurangi persepsi negatif terhadap pemerintah.

Mempertahankan Integritas Hukum

Laporan OCCRP 2024 menyematkan label “pemimpin terkorup” kepada mantan Presiden Jokowi, tetapi tuduhan ini, jika dilihat secara kritis, tidak dilengkapi dengan bukti hukum yang cukup untuk mendukung klaim tersebut. Meskipun proyek-proyek besar seperti IKN dan kereta cepat menghadapi tantangan pembengkakan anggaran, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Jokowi dalam tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk terus menjaga prinsip praduga tak bersalah dan memastikan bahwa setiap tuduhan dihadapi dengan fakta dan data yang valid. Seiring dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi, transparansi dalam pengelolaan negara harus terus diperkuat untuk mencegah potensi korupsi dan meningkatkan akuntabilitas.
Sistem hukum yang adil, lembaga yang independen, dan pemerintah yang transparan adalah pilar utama dalam membangun kepercayaan publik. Oleh karena itu, menjaga integritas hukum dan politik Indonesia di tengah berbagai tuduhan ini menjadi lebih penting daripada sekadar menjawab tuduhan tanpa dasar yang jelas.
Sebagai negara hukum, Indonesia harus menegakkan prinsip keadilan, bukan hanya untuk membela reputasi individu, tetapi juga untuk memastikan bahwa hukum dapat mengatasi semua bentuk korupsi, tanpa pandang bulu. Hanya dengan langkah-langkah konkret ini, Indonesia dapat meyakinkan dunia bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar slogan, melainkan sebuah komitmen nyata dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
ADVERTISEMENT