Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Ndasmu!
16 Februari 2025 9:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Jawa, ndasmu berarti kepalamu. Tetapi dalam perbincangan sehari-hari, kata itu meluncur sebagai seruan spontan, setengah marah, setengah geli. Sebuah ungkapan yang muncul ketika absurditas terlalu pekat, ketika logika dicampakkan, ketika yang terjadi di depan mata terlalu konyol untuk dijelaskan dengan bahasa yang lebih sopan.
ADVERTISEMENT
Kita hidup di zaman di mana kata ndasmu menemukan begitu banyak ruang untuk hadir. Ia adalah respons terhadap politik yang terlalu licik, terhadap janji yang terlalu palsu, terhadap hukum yang terlalu lentur. Ia bukan sekadar umpatan, melainkan juga refleksi: bagaimana bisa sesuatu yang begitu tidak masuk akal terus terjadi, dan kita hanya bisa menyaksikannya?
Logika yang Terbalik
Di negeri ini, keadilan selalu lebih mahal bagi mereka yang miskin. Hukum begitu tegas terhadap mereka yang kecil, tapi begitu mudah bernegosiasi dengan mereka yang besar.
Seorang petani yang mencuri singkong bisa dipenjara bertahun-tahun, tetapi koruptor yang merampas miliaran rupiah dari uang negara bisa menikmati hukuman ringan, bahkan mendapat remisi sebelum sempat merasa bersalah.
ADVERTISEMENT
Ketika ini terjadi berulang kali, kita tidak lagi terkejut. Kita tidak lagi bertanya mengapa. Kita hanya tersenyum pahit, menggelengkan kepala, dan berkata: ndasmu!
Janji yang Melebur di Udara
Politik adalah panggung bagi kata-kata, bagi janji yang sering kali dibuat untuk tidak ditepati. Setiap pemilu, kita mendengar tentang kesejahteraan, tentang pembangunan, tentang keadilan yang akan ditegakkan.
Tetapi setelah kursi diduduki, janji-janji itu menguap seperti kabut pagi. Rakyat yang dulu dielu-elukan berubah menjadi sekadar angka dalam statistik. Mereka yang berjanji turun ke jalan, kini sibuk di dalam ruangan ber-AC, membicarakan kepentingan yang tiba-tiba berubah arah.
Ketika rakyat menagih janji, mereka dibilang tidak sabar. Ketika rakyat marah, mereka disebut kurang bersyukur. Ketika rakyat protes, mereka ditertibkan.
ADVERTISEMENT
Dan akhirnya, yang tersisa hanya satu kata: ndasmu!
Rapat yang Panjang, Hasil yang Kosong
Lihatlah televisi kita. Penuh dengan siaran rapat, sidang, diskusi kebijakan. Kita melihat mereka duduk, berbicara panjang lebar, berdebat soal anggaran, soal hukum, soal pembangunan.
Tapi lihatlah ke luar jendela. Lihatlah jalanan yang berlubang, sekolah yang reyot, rumah sakit yang penuh sesak. Jika begitu banyak rapat dilakukan, mengapa perubahan begitu sulit ditemukan?
Politik, di banyak tempat, telah menjadi industri. Ada perputaran uang di sana, ada kepentingan yang harus diamankan, ada kompromi yang harus dibuat.
Sementara rakyat menunggu hasil, mereka yang berada di dalam terus berbicara, berdebat, bersidang.
Dan di luar sana, seseorang yang menonton siaran rapat itu mungkin hanya menghela napas, lalu berkata pelan: ndasmu!
ADVERTISEMENT
Mereka yang Tak Tersentuh
Di negeri ini, ada kelas orang-orang yang kebal. Mereka yang tak bisa disentuh hukum, tak bisa dikritik, tak bisa digugat.
Ketika mereka salah, kesalahannya segera dimaafkan. Ketika mereka gagal, kegagalannya segera dibelokkan.
Tetapi bagi rakyat biasa, hukum bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Ketika mereka protes karena haknya diabaikan, mereka disebut pembuat onar. Ketika mereka menuntut kehidupan yang lebih baik, mereka dianggap tidak tahu diri.
Di hadapan ini semua, ndasmu bukan lagi sekadar umpatan. Ia menjadi kesimpulan.
Ketika Kata-Kata Tidak Lagi Cukup
Tetapi ndasmu hanya bisa menjadi ekspresi. Ia tidak bisa menjadi solusi.
Kita bisa terus mengeluhkan absurditas ini, atau kita bisa mulai berpikir lebih keras: apakah semua ini memang tak bisa diubah? Apakah kita memang hanya ditakdirkan untuk menjadi penonton dalam pertunjukan yang sama, dengan aktor yang terus berganti, tetapi alur cerita yang tetap?
ADVERTISEMENT
Sistem ini tetap ada bukan karena kuat, tetapi karena kita terlalu sering membiarkannya.
Jika kita terus membiarkan absurditas ini berlangsung, maka anak-anak kita akan tumbuh besar dengan pemahaman bahwa ketidakadilan adalah sesuatu yang wajar. Bahwa politik memang harus penuh kebohongan. Bahwa hukum memang harus tebang pilih.
Dan mereka pun akan tumbuh besar dengan warisan satu kata yang sama: ndasmu!
Sebuah Undangan untuk Berpikir
Tetapi barangkali, ndasmu bukan hanya umpatan. Ia juga bisa menjadi undangan.
Undangan untuk berpikir lebih jernih. Untuk tidak mudah terjebak dalam retorika. Untuk tidak lagi puas hanya menjadi penonton.
Karena pada akhirnya, negeri ini adalah milik kita. Dan jika kita tidak berbuat apa-apa, maka selamanya kita hanya akan menjadi saksi dari sesuatu yang terus berulang.
ADVERTISEMENT
Kita bisa terus berkata ndasmu! setiap kali absurditas datang. Atau kita bisa mulai bertanya: bagaimana agar kita tak perlu lagi mengatakannya?