Konten dari Pengguna

Negara dan Rakyat

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
30 Desember 2024 11:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: Firdaus Arifin
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Firdaus Arifin
ADVERTISEMENT
Oleh: Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Ada sebuah pertanyaan mendasar yang selalu menggantung di ruang publik: untuk siapa negara ini ada? Jawaban klisenya, tentu saja, “untuk rakyat.” Tapi apakah benar begitu? Atau, jangan-jangan, negara telah menjadi entitas yang hidup untuk dirinya sendiri, dengan rakyat hanya menjadi angka statistik atau alat legitimasi?
ADVERTISEMENT
Negara, dalam pemahaman teoretis, adalah konstruksi imajiner. Ia ada karena kita memutuskan untuk mempercayainya. Namun, realitas politik sering membalikkan logika itu. Negara, yang mestinya menjadi alat rakyat, berubah menjadi mesin birokrasi yang dingin dan berjarak. Di tangan para penguasa, ia menjelma menjadi institusi yang sibuk menjaga eksistensinya sendiri, terkadang dengan mengorbankan rakyat yang katanya menjadi pemilik sah kekuasaan.
Negara: Mesin yang Abai
Negara modern adalah mesin. Ia bekerja dengan aturan, prosedur, dan hierarki yang mengatur setiap geraknya. Tapi mesin ini sering kali abai terhadap apa yang disebut sebagai “roh” rakyat. Sebagai ilustrasi, lihatlah bagaimana negara kerap memaksakan kehendaknya dengan cara-cara represif, dari kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil hingga pengesahan undang-undang yang hanya melayani kepentingan elit.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, negara sering menggunakan dalih “demi rakyat” untuk melanggengkan kekuasaannya. Padahal, dalam banyak kasus, rakyat hanya menjadi ornamen demokrasi—dilihat ketika diperlukan, tapi diabaikan saat berkuasa. Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Max Weber sebagai “rasionalitas instrumental,” di mana negara hanya peduli pada efisiensi, bukan pada keadilan atau kebahagiaan manusia.
Rakyat: Pemilik yang Teralienasi
Jika negara adalah mesin, rakyat adalah bahan bakarnya. Mereka yang membayar pajak, mematuhi hukum, bahkan berjuang di bawah panji negara saat perang. Tapi, di mana posisi rakyat dalam keputusan-keputusan besar negara?
Dalam demokrasi, rakyat sering disebut sebagai pemegang kedaulatan. Namun, kedaulatan rakyat sering kali hanya menjadi mitos. Pada kenyataannya, rakyat teralienasi dari proses politik. Pilihan mereka dalam pemilu hanya berakhir sebagai angka yang dimanipulasi oleh kekuatan oligarki. Pemilu menjadi ritual lima tahunan yang meninabobokan rakyat dengan ilusi bahwa mereka berkuasa, padahal kendali sejati tetap ada di tangan segelintir elit.
ADVERTISEMENT
Jean-Jacques Rousseau pernah mengingatkan bahwa rakyat hanya berdaulat pada saat mereka memilih. Setelah itu, mereka kembali menjadi budak dari sistem yang mereka pilih sendiri. Kata-kata ini terasa relevan di tengah realitas politik kita hari ini, di mana rakyat kehilangan akses untuk benar-benar mengendalikan arah negara.
Negara Melawan Rakyat
Hubungan antara negara dan rakyat sering kali menjadi paradoks. Negara mengklaim mewakili rakyat, tapi justru sering menjadi alat penindasan. Sejarah membuktikan bagaimana negara menggunakan kekuasaannya untuk melawan rakyatnya sendiri, dari pembatasan kebebasan sipil hingga kekerasan negara terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “berbahaya.”
Negara, dalam banyak kasus, melihat rakyat bukan sebagai individu yang memiliki hak dan martabat, melainkan sebagai massa yang harus dikontrol. Dalam pandangan Michel Foucault, negara modern menggunakan berbagai mekanisme pengawasan untuk mendisiplinkan rakyat, menjadikan mereka patuh pada aturan yang sering tidak adil.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kita bisa melihat ini dalam berbagai kebijakan yang sering kali bertentangan dengan aspirasi rakyat. Misalnya, pengesahan undang-undang yang jelas-jelas menguntungkan oligarki, seperti UU Cipta Kerja. Atau, penggunaan aparat untuk membungkam protes rakyat, yang mengingatkan kita bahwa negara lebih sering menjadi alat kekuasaan daripada pelindung rakyat.
Membangun Relasi Baru
Jika negara terus berjarak dari rakyat, maka konflik menjadi keniscayaan. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan filosofis yang lebih mendalam: bagaimana seharusnya hubungan antara negara dan rakyat dibangun?
Negara tidak boleh lagi menjadi mesin birokrasi yang dingin. Ia harus menjadi ruang yang hidup, di mana rakyat tidak hanya menjadi subjek, tetapi juga aktor utama dalam menentukan kebijakan. Demokrasi harus dimaknai lebih dari sekadar prosedur elektoral; ia harus menjadi mekanisme yang memungkinkan rakyat berpartisipasi secara nyata dalam pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, rakyat harus sadar bahwa mereka adalah pemilik sah negara. Kesadaran politik ini penting untuk membongkar mitos bahwa negara adalah entitas yang tak tersentuh. Ketika rakyat sadar akan kekuatannya, mereka dapat menuntut perubahan yang nyata, bukan sekadar kosmetik politik yang sering kali hanya menguntungkan elit.
Negara untuk Siapa?
Pertanyaan tentang “negara dan rakyat” pada akhirnya adalah pertanyaan tentang keadilan. Negara yang tidak berpihak pada rakyat adalah negara yang kehilangan legitimasinya. Sebaliknya, rakyat yang membiarkan negara melanggengkan kekuasaan tanpa pengawasan adalah rakyat yang menyerah pada ketidakadilan.
Dalam sebuah demokrasi, hubungan antara negara dan rakyat seharusnya saling melengkapi, bukan saling melawan. Tapi untuk mencapai itu, kita membutuhkan rakyat yang sadar dan negara yang mendengar. Tanpa itu, negara akan terus menjadi alat kekuasaan, dan rakyat hanya akan menjadi korban dari mesin yang mereka biayai sendiri.
ADVERTISEMENT