Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Negara Hukum, Bukan Negara Peraturan
18 Februari 2025 13:09 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hukum adalah kata-kata yang membeku. Ia disusun dalam pasal-pasal yang tegas, dikodifikasi dalam aturan yang rinci, dan ditegakkan melalui prosedur yang ketat. Tapi apakah negara hukum hanya sebatas itu?
ADVERTISEMENT
Kita sering mendengar bahwa Indonesia adalah negara hukum. Rechtsstaat, kata orang Belanda. Rule of Law, kata orang Inggris. Tapi apakah kita benar-benar hidup dalam negara hukum, atau hanya dalam negara yang sibuk memproduksi aturan?
Negara hukum bukanlah sekadar negara dengan banyak peraturan. Sebuah negara tidak serta-merta menjadi negara hukum hanya karena memiliki konstitusi, perundang-undangan yang lengkap, atau prosedur yang tertib. Negara hukum harus lebih dari itu.
Negara hukum harus hidup. Ia harus bekerja untuk melindungi, bukan sekadar mengatur. Ia harus hadir untuk membebaskan, bukan hanya menertibkan. Ia harus berani mengoreksi dirinya sendiri ketika hukum mulai kehilangan moralitasnya.
Maka kita perlu bertanya ulang: apakah kita sedang membangun negara hukum, ataukah kita hanya sedang mengelola negara peraturan?
ADVERTISEMENT
Hukum yang Membeku dalam Dokumen
Negara hukum seharusnya tidak hanya diukur dari banyaknya aturan, tetapi dari bagaimana hukum itu bekerja dalam kehidupan nyata. Tapi lihatlah bagaimana hukum sering kali diterapkan.
Seorang petani yang merambah lahan karena tak punya pilihan lain bisa dengan mudah dipidanakan. Sementara itu, korporasi yang menguasai ribuan hektare lahan bisa mendapatkan legitimasi hukum atas perizinan yang diterbitkan dalam rapat tertutup.
Seorang rakyat biasa yang tersandung kasus administratif bisa ditindak tanpa kompromi. Sementara itu, pejabat yang terbukti menyalahgunakan wewenang bisa lolos dengan alasan formalitas yang belum sempurna.
Apa yang salah di sini?
Hukum, dalam banyak kasus, hanya berhenti pada teks. Ia menjadi kumpulan aturan yang ditegakkan secara prosedural tanpa bertanya apakah aturan itu membawa keadilan.
ADVERTISEMENT
Negara hukum yang seharusnya melindungi semua, akhirnya berubah menjadi negara peraturan—negara yang sibuk membuat, menafsirkan, dan menegakkan aturan, tetapi lupa melihat dampaknya bagi manusia.
Maka hukum kehilangan rohnya. Ia menjadi sesuatu yang teknokratis, sesuatu yang bisa diputarbalikkan oleh mereka yang memiliki akses ke sistem. Keadilan, dalam situasi ini, menjadi sesuatu yang sekunder. Dan jika hukum kehilangan keadilannya, apakah kita masih bisa menyebut diri sebagai negara hukum?
Negara Hukum Bukan Negara Administrasi
Dalam konsep klasik, negara hukum memiliki prinsip dasar: kekuasaan harus dibatasi oleh hukum, hukum harus berpihak kepada keadilan, dan warga negara harus mendapatkan perlindungan yang sama di hadapan hukum.
Tapi di Indonesia, hukum sering kali terjebak dalam administrasi. Undang-undang dibuat lebih untuk menertibkan, bukan untuk melindungi. Regulasi dikeluarkan lebih untuk mengendalikan, bukan untuk memastikan hak-hak warga negara terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Maka hukum berubah menjadi sesuatu yang dingin—sekadar alat bagi negara untuk mengatur masyarakat, bukan jaminan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan.
Negara hukum yang sejati bukanlah negara yang sekadar menegakkan aturan. Negara hukum yang sejati adalah negara yang memastikan bahwa aturan-aturan itu membawa kebaikan bagi rakyatnya. Maka, negara hukum bukan soal seberapa banyak peraturan yang dibuat, tetapi seberapa adil aturan itu diterapkan.
Seorang filsuf hukum, Gustav Radbruch, pernah berkata bahwa ada hukum yang begitu tidak adil sehingga ia tidak layak disebut hukum.
Maka, kita harus berani bertanya: apakah semua aturan yang kita tegakkan hari ini benar-benar hukum, ataukah hanya sekadar instrumen administratif yang menjaga ketertiban tanpa memikirkan kemanusiaan?
Negara hukum bukanlah negara yang sekadar memiliki banyak aturan. Negara hukum yang sejati adalah negara yang memastikan bahwa hukum benar-benar berpihak kepada keadilan.
ADVERTISEMENT
Ketika Hukum Tak Lagi Berpihak
Negara hukum bukan hanya soal hukum yang tertulis, tetapi juga tentang bagaimana hukum itu dipraktikkan. Jika hukum hanya digunakan untuk menghukum yang lemah tetapi melindungi yang kuat, maka itu bukan negara hukum—itu hanya negara dengan banyak hukum.
Jika hukum hanya digunakan untuk membatasi kebebasan berbicara tetapi tidak cukup kuat untuk menindak mereka yang merampas hak rakyat, maka itu bukan negara hukum—itu hanya negara dengan banyak peraturan.
Negara hukum seharusnya tidak mengenal tebang pilih.
Tapi di negeri ini, terlalu sering kita melihat bagaimana hukum bisa lentur bagi yang punya kuasa, tetapi menjadi keras bagi mereka yang tak punya daya.
Mereka yang berani melawan ketidakadilan bisa dengan mudah dikriminalisasi. Tetapi mereka yang melakukan ketidakadilan bisa mendapatkan ruang untuk bernegosiasi.
ADVERTISEMENT
Hukum yang seperti ini bukan hukum yang melindungi, tetapi hukum yang menjadi alat kontrol. Hukum yang seperti ini bukan hukum yang adil, tetapi hukum yang menjadi mekanisme kekuasaan.
Maka, kita harus kembali bertanya: apakah hukum masih bekerja untuk keadilan, atau hanya untuk mengatur rakyat tanpa keberpihakan?
Membangun Negara Hukum yang Sejati
Negara hukum tidak boleh hanya berhenti pada teks peraturan. Ia harus menjadi sistem yang hidup, yang bisa mengoreksi dirinya sendiri, yang bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan keadilan.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: Pertama, hukum harus lebih dari sekadar teks. Hukum yang baik bukan hanya hukum yang tertulis, tetapi hukum yang bisa diuji dalam realitas sosialnya. Jika aturan yang ada lebih banyak merugikan daripada melindungi, maka aturan itu harus diperbaiki. Kedua, hukum harus lebih transparan. Proses hukum tidak boleh hanya menjadi urusan segelintir orang. Keputusan hukum harus bisa dipantau oleh publik, harus bisa dikritisi, harus bisa diuji secara terbuka.
ADVERTISEMENT
Ketiga, hukum harus berpihak pada yang lemah. Negara hukum yang sejati tidak boleh menjadi negara yang hanya bekerja untuk mereka yang punya akses ke sistem. Ia harus menjadi negara yang benar-benar melindungi mereka yang selama ini tidak memiliki suara dalam proses hukum. Keempat, hukum harus lebih kuat terhadap mereka yang punya kuasa. Di negara hukum yang sejati, hukum tidak boleh tunduk kepada kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Ia harus berdiri tegak untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan tidak bisa mempermainkan sistem.
Negara hukum bukanlah negara yang sekadar memiliki banyak aturan. Negara hukum adalah negara yang memastikan bahwa hukum benar-benar bekerja untuk keadilan.
Jika hukum hanya menjadi instrumen administratif, jika ia hanya menjadi mekanisme yang kaku, jika ia hanya menegakkan aturan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat, maka kita bukan sedang membangun negara hukum—kita hanya sedang membangun negara yang sibuk mengatur.
ADVERTISEMENT
Dan negara yang hanya sibuk mengatur, tanpa keberpihakan terhadap keadilan, bukanlah negara hukum. Negara hukum bukanlah soal seberapa banyak regulasi yang dibuat, tetapi seberapa besar hukum itu bisa melindungi manusia. Negara hukum bukan soal hukum yang dipatuhi, tetapi soal hukum yang benar-benar memberi keadilan.
Dan negara hukum yang sejati, pada akhirnya, adalah negara yang tidak hanya berbicara tentang peraturan, tetapi tentang bagaimana hukum bisa menjadi suara bagi mereka yang paling membutuhkannya.
Karena hukum yang baik bukan hanya hukum yang ditaati. Hukum yang baik adalah hukum yang benar-benar bisa dirasakan keadilannya.