news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Negara yang Dirampas: Demokrasi Palsu dan Perlawanan yang Tertunda

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
9 Maret 2025 13:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Negara ini bisa diperbaiki?” Seseorang bertanya di sebuah forum diskusi. Ada jeda sebelum jawaban dilemparkan. Seperti jeda yang selalu ada setiap kali harapan dan kenyataan saling bertarung. Lalu seseorang lain menjawab dengan nada getir, “Hanya kalau ada mukjizat.”
ADVERTISEMENT
Ada sesuatu yang mengendap dalam jawaban itu—sebuah kepasrahan yang nyaris religius. Seolah-olah negeri ini bukan lagi persoalan politik, melainkan perkara ilahi. Kita menunggu mukjizat, sebagaimana orang yang karam menunggu perahu penyelamat. Tapi, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, mukjizat tidak pernah datang untuk mereka yang hanya menunggu.
Kita sudah terlalu lama berpikir bahwa demokrasi adalah sistem yang bisa diperbaiki dari dalam. Bahwa jika ada cukup banyak orang baik di dalamnya, institusi akan kembali sehat. Tapi bagaimana jika sistem itu sendiri telah berubah menjadi mesin yang hanya bekerja untuk mereka yang berkuasa? Bagaimana jika demokrasi bukan lagi tentang rakyat, melainkan tentang siapa yang mampu mengendalikan aturan main?
Ilustrasi Peta Geografis Negara Indonesia, Sumber: Freepik
Negara yang Telah Dirampas
ADVERTISEMENT
Di atas kertas, Indonesia masih sebuah demokrasi. Ada pemilu, ada parlemen, ada konstitusi yang menjamin hak-hak warga negara. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak terlihat dalam pidato politik atau berita utama: negara ini telah dirampas.
State capture, kata orang-orang yang rajin membaca literatur akademik. Perampasan negara. Tapi ini bukan hanya soal istilah. Ini adalah kenyataan di mana kebijakan publik bukan lagi hasil dari kehendak rakyat, melainkan hasil negosiasi segelintir elite yang mengendalikan jalannya pemerintahan dari belakang layar.
Kita bisa melihatnya dalam banyak hal. Dalam undang-undang yang dibuat dengan tergesa, tetapi selalu menguntungkan korporasi besar. Dalam peradilan yang seharusnya menjadi benteng keadilan, tetapi lebih sering tunduk pada kepentingan politik. Dalam proyek-proyek infrastruktur yang dijual dengan jargon kesejahteraan, tetapi pada akhirnya hanya memperkaya mereka yang sudah kaya.
ADVERTISEMENT
Negara ini memang masih memiliki wajah demokrasi. Tetapi di belakang layar, yang bekerja bukanlah lembaga-lembaga resmi, melainkan jaringan kekuasaan yang lebih senyap, lebih tertutup, dan lebih kebal dari pengawasan. Shadow state, negara bayangan, begitu orang menyebutnya. Sebuah sistem yang bekerja dalam gelap, di luar jangkauan hukum, tetapi memiliki kendali penuh atas hukum itu sendiri.
Ketika Demokrasi Hanya Panggung Teater
Di dalam sistem seperti ini, pemilu hanyalah ritual. Demokrasi menjadi panggung teater yang dimainkan untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka masih memiliki suara. Tapi apakah benar suara itu masih ada?
Kita tahu bagaimana pemilu dijalankan. Bukan sekadar ajang pertarungan gagasan, melainkan ajang investasi. Mereka yang memiliki modal besar bisa membeli pencitraan, bisa membeli loyalitas, bisa membeli kemenangan. Sementara mereka yang hanya bersandar pada ide dan gagasan? Mereka ditertawakan.
ADVERTISEMENT
Maka, apa yang tersisa dari demokrasi? Partai-partai yang seharusnya menjadi alat artikulasi kepentingan rakyat, kini lebih mirip perusahaan yang menjual jasa politik kepada penawar tertinggi. Parlemen yang seharusnya menjadi tempat perwakilan rakyat, kini lebih mirip ruang negosiasi antara berbagai kepentingan ekonomi dan politik yang jauh dari jangkauan publik.
Di luar itu, ada mereka yang mencoba bertahan dengan cara mereka sendiri. Gerakan sosial, organisasi masyarakat sipil, komunitas adat yang melawan perampasan tanah mereka. Tapi perlawanan seperti ini, meski penting, sering kali terasa seperti perahu kecil di tengah badai.
Jalan Keluar?
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Apakah kita masih berharap negara bisa diperbaiki dari dalam, ataukah saatnya kita mencari jalan lain?
Mereka yang percaya pada perubahan dari dalam akan berkata bahwa yang dibutuhkan adalah pemimpin yang baik, institusi yang diperkuat, reformasi yang dijalankan secara bertahap. Tapi berapa kali kita sudah mendengar narasi seperti ini?
ADVERTISEMENT
Mereka yang lebih radikal akan berkata bahwa negara ini tidak bisa diperbaiki, bahwa sistem ini harus dirombak total. Tapi bagaimana cara merombaknya ketika kekuasaan begitu terpusat, dan rakyat sudah terlalu lama dibuat percaya bahwa perubahan adalah sesuatu yang mustahil?
Barangkali, jawaban yang lebih masuk akal adalah berhenti bergantung pada negara, dan mulai membangun sesuatu di luar kendalinya.
Membangun dari Bawah
Di berbagai tempat, ada gerakan yang mencoba bertahan dengan caranya sendiri. Koperasi yang menghindari eksploitasi pasar, komunitas petani yang mengelola lahan secara kolektif, kelompok-kelompok kecil yang membangun ekonomi berbasis solidaritas.
Ini mungkin bukan solusi besar, bukan revolusi, bukan sesuatu yang bisa mengubah wajah negara dalam semalam. Tapi ini adalah cara untuk bertahan, untuk membuktikan bahwa masih ada cara hidup di luar sistem yang telah dirampas ini.
ADVERTISEMENT
Gerakan-gerakan semacam ini penting bukan hanya karena mereka menawarkan alternatif ekonomi atau sosial, tetapi karena mereka menunjukkan bahwa perubahan tidak harus selalu datang dari atas. Demokrasi tidak harus selalu menunggu negara.
Kita bisa membangun sesuatu yang baru dari bawah. Bukan dalam skala besar, tetapi dalam skala yang cukup untuk membuktikan bahwa ada cara lain untuk hidup di negeri ini.
Tapi Apakah Itu Cukup?
Tentu saja, ada batasnya. Kita tidak bisa selamanya hidup dalam kantong-kantong perlawanan kecil sementara negara terus melanggengkan ketidakadilan dalam skala besar.
Pada titik tertentu, perlawanan ini harus menemukan cara untuk masuk ke dalam sistem dan mengubahnya. Tapi bagaimana caranya, ketika semua pintu menuju perubahan telah dikunci?
Barangkali ini adalah pertanyaan yang belum memiliki jawaban pasti. Barangkali ini adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh mereka yang berani mencoba.
ADVERTISEMENT
Tapi satu hal yang jelas: menunggu mukjizat bukanlah jawabannya.
Karena jika perubahan memang akan datang, itu tidak akan datang dari elite yang sudah terlalu lama mengkhianati demokrasi. Itu hanya akan datang dari mereka yang percaya bahwa demokrasi bukan sesuatu yang harus ditunggu, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan—dengan atau tanpa negara.
Dan jika demokrasi memang telah mati, maka kita harus bersiap untuk membangun sesuatu yang baru di atas reruntuhannya.