Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.0
Konten dari Pengguna
Negeri Para Bandit: Siapa Pemenang Liga Korupsi Indonesia?
27 Februari 2025 22:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Panggung republik ini adalah panggung absurditas. Di mana di negara yang katanya demokratis, kekuasaan tidak sekadar dijalankan, tetapi diperdagangkan. Dimainkan. Disulap menjadi kapital. Korupsi bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, melainkan sebuah kompetisi. Sebuah liga. Pertandingan yang digelar tanpa wasit, di mana para pemainnya adalah pejabat, politisi, aparat, dan pengusaha yang berselingkuh dengan negara.
ADVERTISEMENT
Maka, inilah Liga Korupsi Indonesia. Tak ada trofi di sini. Tak ada standing ovation. Hanya rakyat yang lelah dan negara yang terkuras. Kita, yang duduk di tribun, bukan penonton, melainkan korban.
Mari kita buka catatan hitam republik ini.
Tahun demi tahun, daftar skandal bertambah panjang. Miliaran, triliunan rupiah menguap. Dari kasus BLBI, Jiwasraya, Asabri, hingga proyek BTS. Dari meja birokrasi hingga ruang sidang DPR. Dari kantor bupati hingga istana. Dan di atas semua itu, ada kasus yang baru saja pecah: korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, dengan angka yang nyaris tak masuk akal—hampir satu kuadriliun rupiah.
Berapa uang yang dicuri? Rp 968,5 triliun selama lima tahun. Itu bukan hanya angka di layar kalkulator. Itu adalah puluhan juta anak yang tak bisa sekolah. Itu adalah ribuan rumah sakit yang tak dibangun. Itu adalah jalan-jalan yang tetap berlubang, desa-desa yang tetap miskin, dan petani yang tetap merugi.
ADVERTISEMENT
Dan siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang akhirnya dikorbankan? Pejabat kelas menengah. Bukan mereka yang duduk di puncak, bukan yang menciptakan sistem. Liga ini, seperti kompetisi yang dimainkan oligarki, hanya menjatuhkan pion, bukan raja.
Di negeri ini, korupsi tidak pernah benar-benar dihukum. Ia sekadar dikoreksi. Kadang disesalkan, kadang dihukum ringan, kadang diampuni.
Dalam banyak kasus, hukuman bagi koruptor lebih ringan dibanding pencuri ayam. Seorang nenek di Banyumas divonis 1,5 tahun penjara karena mengambil singkong di kebun orang, sementara seorang pejabat yang merampok miliaran uang rakyat sering kali bebas sebelum masa tahanannya habis.
Kita bisa lihat bagaimana vonis koruptor selalu diiringi dengan kemungkinan remisi. Hukuman seumur hidup nyaris tak pernah benar-benar berarti seumur hidup. Uang yang dicuri jarang kembali. Dan setelah keluar dari penjara, mereka tetap bisa melanjutkan hidup dalam kemewahan.
ADVERTISEMENT
Hukum, di negeri ini, adalah hukum yang lentur. Di tangan orang kecil, ia tajam. Di tangan penguasa, ia bisa ditekuk seperti karet.
Mengapa ini terjadi?
Karena korupsi bukan sekadar kejahatan individu. Ia adalah sistem. Ia seperti virus yang menginfeksi organ negara dari dalam. Tak ada keputusan politik besar di negeri ini yang tidak dikalkulasi dengan kepentingan modal. Tak ada kebijakan publik yang benar-benar steril dari lobi-lobi gelap.
Demokrasi kita adalah demokrasi yang dijalankan oleh uang, dan setiap jabatan adalah investasi. Seorang kepala daerah menghabiskan miliaran rupiah untuk kampanye, seorang anggota DPR harus menyetor kepada partai. Maka, begitu mereka terpilih, apa yang mereka lakukan? Mengembalikan modal.
Di negeri yang korup, politik adalah bisnis. Negara adalah korporasi. Dan kita, rakyat, hanya pemegang saham tanpa suara.
ADVERTISEMENT
Liga Korupsi Indonesia tidak akan berhenti hanya karena satu dua koruptor ditangkap.
Sebab setiap tahun, selalu ada juara baru. Jika bukan pejabat, maka pengusaha. Jika bukan di kementerian, maka di proyek infrastruktur. Mereka bukan orang bodoh. Mereka paham bagaimana sistem bekerja. Mereka punya tim hukum. Mereka punya jaringan. Dan mereka tahu, selama mereka bisa berbagi hasil dengan orang yang tepat, mereka akan selamat.
Korupsi di Indonesia bukan sekadar penyalahgunaan kekuasaan. Ia adalah bagian dari cara kerja negara. Ia telah menjadi budaya yang diwariskan, sistem yang dilestarikan, dan mekanisme yang tak bisa dihapus hanya dengan sekadar regulasi.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Hukum bisa diperbaiki. Hukuman bisa diperberat. KPK bisa diperkuat kembali. Tapi selama politik masih dibiayai oleh uang gelap, selama pemilih masih bisa dibeli, selama media lebih suka berselingkuh dengan kekuasaan, selama aparat penegak hukum bisa dinegosiasikan, selama sistem hukum tetap berat sebelah—maka korupsi hanya akan berpindah tangan, bukan berhenti.
ADVERTISEMENT
Yang bisa menghentikan korupsi bukan sekadar penegakan hukum, tapi perubahan mentalitas politik. Bukan sekadar vonis, tapi perubahan sistem yang memungkinkan kekuasaan untuk diawasi dengan ketat.
Dan itu hanya bisa terjadi jika rakyat tidak lagi diam. Jika suara bukan lagi barang dagangan. Jika politik bukan lagi panggung sandiwara.
Tapi di negeri ini, itu terdengar utopis.
Liga Korupsi Indonesia adalah cerita yang berulang.
Tahun ini ada juara baru. Tahun depan ada lagi. Koruptor yang lama ditangkap, koruptor yang baru muncul. Negara terus merugi. Rakyat terus dirugikan. Dan kita, seperti biasa, hanya bisa menonton.
Tapi sampai kapan kita hanya menjadi penonton?
Mungkin suatu hari nanti, liga ini bisa dibubarkan. Tapi tidak hari ini. Tidak selama para bandit masih mengendalikan permainan. Tidak selama kita masih diam.
ADVERTISEMENT
Maka pertanyaannya bukan lagi siapa pemenang Liga Korupsi tahun ini.
Tapi sampai kapan kita membiarkan mereka menang?