Konten dari Pengguna

Palu Hakim Bukan Palu Tukang Kayu

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
6 Februari 2025 8:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Palu hakim; Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Palu hakim; Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dalam negara hukum, palu hakim adalah simbol kekuasaan yudikatif yang harus dijaga kesakralannya. Palu ini tidak sekadar alat mekanis yang digunakan dalam sidang, melainkan representasi dari kedaulatan hukum yang adil dan tidak memihak. Namun, dalam realitas sistem peradilan kita, sering kali palu hakim lebih menyerupai palu tukang kayu—digunakan untuk membentuk, menyesuaikan, bahkan merekayasa hukum sesuai dengan kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT
Hukum dalam Bayang-bayang Kekuasaan
Teori klasik tentang kekuasaan yudikatif menempatkan hakim sebagai penjaga konstitusi dan benteng terakhir keadilan. Dalam doktrin Montesquieu tentang trias politica, kekuasaan kehakiman harus independen dan bebas dari intervensi eksekutif maupun legislatif. Namun, di Indonesia, fenomena intervensi terhadap putusan hakim masih menjadi perdebatan panjang.
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa palu hakim tidak selalu mengetuk atas dasar keadilan, tetapi sering kali atas dasar pesanan politik atau tekanan ekonomi. Kasus-kasus besar, seperti korupsi pejabat negara, sengketa politik, atau perkara pelanggaran hak asasi manusia, sering berujung pada putusan yang lebih mencerminkan kompromi politik ketimbang prinsip keadilan.
Hal ini menunjukkan bahwa palu hakim sering kali berfungsi seperti palu tukang kayu—bukan untuk menegakkan hukum secara objektif, tetapi untuk membentuk dan menyesuaikan hukum sesuai dengan kepentingan pihak yang lebih kuat. Ketika hakim tunduk pada tekanan eksternal, maka hukum kehilangan maknanya sebagai instrumen keadilan dan berubah menjadi alat kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Putusan yang Membelokkan Rasa Keadilan
Dalam beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan putusan-putusan kontroversial yang seolah bertentangan dengan rasa keadilan. Beberapa kasus menunjukkan bagaimana koruptor kelas kakap mendapatkan vonis ringan, bahkan mendapat remisi dan pembebasan bersyarat dengan mudah. Sementara itu, rakyat kecil yang mencuri karena terdesak kebutuhan ekonomi dihukum berat tanpa ada ruang bagi kebijaksanaan hukum.
Fenomena ini semakin memperkuat pandangan bahwa palu hakim sering kali diketuk bukan atas dasar nurani hukum, tetapi atas dasar negosiasi di balik layar. Banyaknya putusan yang membelok dari prinsip keadilan substantif menandakan bahwa hukum di Indonesia masih jauh dari independensi yudisial yang ideal.
Kasus-kasus hukum yang melibatkan aktor politik atau konglomerat sering kali berakhir dengan putusan yang mengejutkan publik. Hal ini menegaskan bahwa ada tangan-tangan tak kasatmata yang berusaha mengendalikan proses peradilan. Jika tren ini terus berlanjut, maka kepercayaan publik terhadap institusi peradilan akan semakin tergerus, dan supremasi hukum akan semakin rapuh.
ADVERTISEMENT
Hakim dan Dilema Moral
Hakim, dalam menjalankan tugasnya, berada dalam dilema moral yang kompleks. Di satu sisi, mereka terikat pada hukum positif yang sering kali tidak sempurna dan bisa dimanipulasi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjunjung tinggi keadilan.
Dalam teori hukum Gustav Radbruch, terdapat tiga elemen fundamental dalam hukum: kepastian hukum (Rechtssicherheit), keadilan (Gerechtigkeit), dan kemanfaatan hukum (Zweckmäßigkeit). Namun, dalam praktiknya, sering kali kepastian hukum lebih diutamakan daripada keadilan. Ini menyebabkan putusan hukum terasa kaku dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Seorang hakim yang ideal bukan hanya sekadar penerjemah undang-undang secara mekanis, tetapi juga harus mampu memahami konteks sosial, politik, dan ekonomi dari perkara yang dihadapinya. Hakim bukanlah robot hukum yang hanya menjalankan teks undang-undang tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan substantif. Dalam tradisi hukum progresif, hakim memiliki peran aktif dalam memastikan bahwa putusannya mencerminkan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, di Indonesia, sering kali hakim menghadapi tekanan dari berbagai pihak. Baik tekanan politik, tekanan dari atasan di lingkungan peradilan, maupun tekanan ekonomi yang berkaitan dengan praktik korupsi dalam lembaga peradilan. Tekanan ini membuat hakim berada dalam situasi sulit, di mana mereka harus memilih antara menjunjung tinggi keadilan atau tunduk pada kepentingan tertentu.
Krisis Kepercayaan terhadap Institusi Peradilan
Ketika putusan-putusan hakim semakin jauh dari rasa keadilan publik, maka krisis kepercayaan terhadap institusi peradilan pun tak terhindarkan. Masyarakat mulai mempertanyakan kredibilitas lembaga hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan.
Dalam sejarah hukum di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana krisis kepercayaan terhadap peradilan sering kali berujung pada munculnya praktik main hakim sendiri (vigilantism). Ketika masyarakat merasa hukum tidak lagi berpihak pada mereka, maka mereka akan mencari jalan lain untuk mendapatkan keadilan, baik melalui kekerasan, tekanan sosial, maupun aksi massa.
ADVERTISEMENT
Selain itu, krisis kepercayaan ini juga dapat menyebabkan peningkatan praktik mafia peradilan, di mana hukum dijadikan barang dagangan yang bisa dinegosiasikan. Jika ini dibiarkan terus berlanjut, maka supremasi hukum yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi akan runtuh dan digantikan oleh sistem yang korup.
Menegakkan Independensi Hakim
Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, menegakkan independensi hakim merupakan langkah utama yang harus dilakukan. Hakim harus terbebas dari segala bentuk intervensi politik dan ekonomi agar dapat memutus perkara secara objektif dan berkeadilan.
Salah satu aspek krusial dalam memperkuat independensi hakim adalah reformasi dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim. Proses ini harus berlangsung secara transparan dan berbasis meritokrasi, sehingga tidak terpengaruh oleh kedekatan politik atau nepotisme. Dengan demikian, hakim yang terpilih benar-benar memiliki kapasitas, integritas, dan profesionalisme yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Komisi Yudisial perlu diperkuat agar memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengawasi serta menindak hakim yang terbukti menyalahgunakan wewenang. Pengawasan yang ketat dan independen dapat mencegah praktik-praktik yang merusak kredibilitas peradilan.
Transparansi dalam putusan hakim juga menjadi elemen penting dalam menjaga independensi peradilan. Putusan pengadilan harus mudah diakses oleh publik, sehingga masyarakat dapat mengawasi dan mengevaluasi kinerja peradilan secara terbuka. Dengan keterbukaan ini, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat terus ditingkatkan.
Tidak kalah penting, hakim yang berintegritas dan berani melawan tekanan politik maupun ekonomi harus mendapatkan perlindungan yang memadai, baik dari negara maupun dukungan masyarakat sipil. Perlindungan ini akan memastikan bahwa hakim dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut dan tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan.
ADVERTISEMENT
Independensi hakim bukan sekadar prinsip normatif, tetapi merupakan fondasi utama dalam menegakkan keadilan dan supremasi hukum. Oleh karena itu, segala upaya untuk memperkuatnya harus menjadi prioritas dalam reformasi peradilan.
Kembalikan Sakralitas Palu Hakim
Palu hakim bukan sekadar alat mekanis untuk mengetuk meja sidang, tetapi simbol keadilan yang harus dijaga kehormatannya. Ketika palu hakim berubah menjadi palu tukang kayu yang bisa dipahat sesuai kepentingan tertentu, maka hukum kehilangan maknanya sebagai penjaga keadilan.
Untuk itu, upaya memperkuat independensi peradilan harus menjadi prioritas utama dalam reformasi hukum di Indonesia. Jika tidak, maka hukum akan terus menjadi alat permainan kekuasaan, dan keadilan hanya akan menjadi ilusi bagi masyarakat.
Sebagai negara hukum, kita tidak boleh membiarkan hukum tunduk pada kepentingan politik atau ekonomi. Palu hakim harus kembali menjadi simbol keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar alat yang bisa dimanipulasi sesuai kehendak pihak yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
Palu hakim adalah suara keadilan, bukan alat tukang kayu yang bisa dibentuk sesuka hati