Konten dari Pengguna

Prabowo, Hakim, dan Bayang-Bayang Kekuasaan

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
23 Februari 2025 17:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Hakim, Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Hakim, Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Sejarah adalah kisah tentang siapa yang berbicara dan siapa yang mendengar. Pada 20 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto berbicara di hadapan para hakim. Bukan dalam forum debat hukum, bukan dalam ruang pengadilan, melainkan di kompleks Istana Kepresidenan. Ia menyampaikan sebuah permohonan: agar para hakim "membackup" kebijakannya.
ADVERTISEMENT
Dalam politik hukum, bahasa tidak pernah netral. "Membackup" adalah sebuah kata yang menarik. Ia bisa berarti mendukung, mengafirmasi, atau bahkan melindungi. Tapi dalam konteks relasi Presiden dan Hakim, ia bisa berbunyi lebih dalam: sebuah ajakan agar hukum menyesuaikan diri dengan keputusan politik.
Presiden Prabowo telah menandatangani aturan yang mewajibkan para pengusaha menyimpan keuntungan mereka di dalam negeri. Sebuah kebijakan yang tampak nasionalistik, heroik, bahkan patriotik. Namun, dalam negara hukum, bahkan niat yang baik pun harus dibingkai dalam asas legalitas dan keadilan. Pertanyaannya: apakah hukum hadir untuk melayani kebijakan, ataukah kebijakan harus tunduk pada hukum?
Negara Hukum dan Bayang-Bayang Kekuasaan
Sejak Montesquieu berbicara tentang pemisahan kekuasaan, para filsuf hukum memahami bahwa negara bukan hanya tentang siapa yang berkuasa, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan itu dikontrol. Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif berdiri dalam tegangan konstitusional yang dirancang agar tidak ada satu pun yang mendikte yang lain. Setidaknya, demikianlah teori.
ADVERTISEMENT
Namun, teori sering kali terbentur pada praktik. Presiden Prabowo memahami bahwa kebijakan yang keras memerlukan dukungan hukum yang tidak hanya sah, tetapi juga kuat. Di titik ini, pengadilan tidak sekadar menjadi pengadil, tetapi bagian dari arsitektur legitimasi kebijakan negara.
Dalam negara hukum, hakim tidak boleh menjadi perpanjangan tangan eksekutif. Ia harus menjadi penjaga konstitusi, penegak hukum, dan benteng terakhir bagi keadilan. Namun, dalam sejarah banyak negara, peran hakim sering kali berubah menjadi bayang-bayang kekuasaan. Mereka yang seharusnya mengontrol justru ikut dalam permainan politik.
Kekuasaan yang Mencari Legitimasi
Dalam politik, tidak ada yang lebih berharga dari legitimasi. Bagi seorang presiden, keputusan yang sah bukan sekadar soal hukum, tetapi juga soal diterima atau tidaknya oleh masyarakat dan elit yang berpengaruh. Di sinilah peran hakim menjadi strategis: mereka bukan hanya pengadil, tetapi juga pemberi restu bagi jalannya kebijakan.
ADVERTISEMENT
Ketika Presiden meminta hakim untuk "membackup" kebijakannya, ada pertanyaan yang mengemuka: apakah hukum masih berdiri sebagai instrumen keadilan, ataukah ia telah berubah menjadi alat politik?
Sejarah memberi kita banyak contoh bagaimana hukum bisa menjadi alat kekuasaan. Di era Orde Baru, hakim sering kali tidak lebih dari pelengkap bagi kebijakan negara. Di bawah berbagai rezim otoriter di dunia, hukum adalah tangan panjang negara, bukan cermin keadilan. Apakah kita kembali ke pola yang sama?
Hukum, Kekuasaan, dan Keberanian Hakim
Hukum seharusnya berdiri di atas politik, tetapi realitas sering kali membalikkan keadaan. Hakim, yang seharusnya menjadi penafsir netral, kerap kali berada dalam posisi sulit: antara menegakkan keadilan atau mengikuti arus kekuasaan.
Tapi, ada juga momen-momen ketika hakim menunjukkan keberanian. Dalam sejarah hukum dunia, kita mengenal keputusan-keputusan yang menentang kehendak penguasa. Di Amerika Serikat, Mahkamah Agung dalam kasus Marbury v. Madison (1803) menetapkan prinsip judicial review, yang memungkinkan pengadilan untuk membatalkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Di Jerman, Mahkamah Konstitusi menolak kebijakan pemerintah yang dianggap merusak nilai-nilai demokrasi. Di Indonesia, kita memiliki momen ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi.
ADVERTISEMENT
Namun, keberanian hakim tidak selalu muncul. Dalam banyak kasus, hakim memilih untuk tidak berhadapan dengan kekuasaan. Mereka yang berani menolak sering kali harus menghadapi tekanan politik, ancaman, atau bahkan kehilangan jabatan. Keberanian dalam dunia hukum, sering kali, adalah tindakan yang memiliki harga.
Ke Mana Hukum Akan Berpihak?
Kita hidup dalam negara hukum, bukan negara kekuasaan. Tapi hukum bukan entitas yang hidup sendiri; ia bernafas melalui interpretasi para hakim dan bagaimana mereka memahami relasi antara hukum dan politik.
Ketika seorang presiden berbicara kepada para hakim dan meminta mereka untuk "membackup" kebijakannya, kita harus bertanya: apakah ini sekadar komunikasi politik, atau sebuah tanda bahwa hukum sedang diarahkan untuk melayani kepentingan eksekutif?
Kebijakan yang memaksa modal tetap di dalam negeri mungkin adalah kebijakan yang baik. Namun, dalam negara hukum, tidak ada kebijakan yang boleh mengesampingkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Hakim, dalam tugasnya, harus memastikan bahwa mereka tidak menjadi alat kekuasaan, tetapi tetap sebagai penjaga konstitusi.
ADVERTISEMENT
Di titik ini, hakim memiliki pilihan: mereka bisa menjadi bagian dari sistem yang memastikan hukum tetap menjadi panglima, atau mereka bisa larut dalam arus kekuasaan dan menjadi bayang-bayang eksekutif.
Prabowo telah berbicara. Hakim telah mendengar. Pertanyaannya sekarang, apakah hukum masih memiliki suara?