news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Ramadan, Bulan Tadarus Al Quran

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
2 Maret 2025 17:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramadan datang lagi. Seperti cahaya yang jatuh perlahan ke bumi, ia menyentuh hati yang haus akan ketenangan. Bulan yang penuh berkah, begitu kita menyebutnya. Bulan di mana umat Islam berpuasa dari fajar hingga magrib, menahan lapar, haus, dan keinginan duniawi. Tetapi Ramadan bukan hanya soal menahan diri. Ia adalah bulan tadarus—bulan membaca, bulan merenung, bulan mengingat kembali apa yang sering kita lupakan.
ADVERTISEMENT
Tadarus, dalam makna harfiahnya, adalah membaca Al-Qur’an. Tetapi membaca, jika kita pahami lebih jauh, bukan hanya soal menelusuri kata demi kata. Tadarus adalah perjumpaan. Perjumpaan antara manusia dan firman-Nya, antara akal dan wahyu, antara keheningan dan makna yang dalam.
Kita hidup di zaman yang penuh hiruk-pikuk. Dunia bergerak cepat, seperti ombak yang tak henti-hentinya menghantam pantai. Berita datang tanpa jeda, opini melintas di layar gawai, manusia berbicara lebih banyak daripada mendengar. Tetapi Ramadan, dengan segala kesederhanaannya, menawarkan sesuatu yang langka: kesempatan untuk berhenti sejenak. Untuk membaca, bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hati.
Ilustrasi Al Quran, Sumber: Freepik
Tadarus sebagai Perjalanan
Dalam sejarahnya, Al-Qur’an tidak diturunkan dalam satu waktu. Ia datang berangsur-angsur, turun dalam berbagai peristiwa, berbicara kepada manusia yang hidup dalam realitas sosial, politik, dan budaya mereka. Ia bukan sekadar kitab yang harus dihafal, tetapi juga harus direnungkan.
ADVERTISEMENT
Tadarus, dalam makna yang lebih luas, adalah perjalanan intelektual dan spiritual. Ia bukan hanya membaca ayat-ayat suci, tetapi juga membaca kehidupan. Ia adalah upaya untuk memahami, bukan sekadar mengulang. Sebab kata-kata, betapapun suci dan indahnya, tidak akan bermakna jika hanya berhenti di bibir tanpa menyentuh jiwa.
Ramadan mengajak kita untuk kembali kepada Al-Qur’an. Tetapi lebih dari itu, ia mengajak kita untuk merenungi apa yang telah kita lakukan dengan hidup kita. Apakah kita benar-benar membaca tanda-tanda zaman? Apakah kita memahami pesan yang terkandung dalam setiap kejadian? Apakah kita masih memiliki kepekaan untuk melihat mana yang benar dan mana yang hanya ilusi?
Membaca Diri, Membaca Zaman
Dalam kesibukan sehari-hari, kita sering lupa membaca diri sendiri. Kita berlari dari satu tujuan ke tujuan lain, mengejar sesuatu yang kita sebut kesuksesan, tanpa pernah benar-benar bertanya: ke mana kita sebenarnya menuju?
ADVERTISEMENT
Ramadan adalah kesempatan untuk berhenti dan membaca ulang perjalanan kita. Ia seperti cermin yang diletakkan di hadapan kita, mengingatkan siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi.
Tetapi tadarus tidak hanya tentang membaca diri sendiri. Ia juga tentang membaca zaman.
Hari ini, dunia dipenuhi dengan kontradiksi. Kita hidup dalam era digital, tetapi sering kali kehilangan makna komunikasi. Kita dikelilingi oleh informasi, tetapi sulit menemukan kebenaran. Kita lebih mudah terhubung dengan orang-orang yang jauh, tetapi sering merasa asing dengan mereka yang ada di dekat kita.
Di tengah semua ini, Ramadan mengingatkan kita bahwa membaca bukan hanya soal menambah pengetahuan, tetapi juga soal mencari kebijaksanaan. Ia mengajarkan bahwa tidak semua yang tampak benar itu benar, dan tidak semua yang terlihat kuat itu akan bertahan.
ADVERTISEMENT
Maka, tadarus di bulan Ramadan tidak hanya berarti membaca Al-Qur’an secara rutin, tetapi juga membaca dunia dengan cara yang lebih dalam. Ia adalah usaha untuk mencari makna di balik peristiwa, untuk memahami ke mana arah perubahan sedang bergerak, dan untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan zaman.
Tadarus sebagai Keheningan
Di tengah dunia yang bising, Ramadan menawarkan keheningan. Saat azan magrib berkumandang, kita berhenti sejenak. Makanan di depan mata, tetapi sebelum menyentuhnya, ada doa yang dipanjatkan. Di masjid-masjid, setelah isya, ada lantunan ayat-ayat yang mengalun. Suara imam yang membaca surat demi surat, mengingatkan kita bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Keheningan dalam tadarus bukan berarti ketiadaan suara. Ia adalah ruang yang diciptakan untuk merenung. Ia adalah jeda di antara riuhnya kehidupan.
ADVERTISEMENT
Di saat manusia semakin sibuk berbicara, Ramadan mengajak kita untuk lebih banyak mendengar. Mendengar ayat-ayat yang telah lama kita lupakan. Mendengar suara hati yang sering kita abaikan. Mendengar bisikan kebenaran yang mungkin tenggelam dalam kebisingan dunia.
Ramadan dan Harapan
Setiap kali Ramadan datang, ada perasaan haru yang sulit dijelaskan. Seperti bertemu kembali dengan sahabat lama, seperti menemukan sesuatu yang dulu hilang.
Ramadan selalu membawa harapan. Harapan bahwa kita bisa menjadi lebih baik. Harapan bahwa dunia yang kacau ini masih memiliki peluang untuk diperbaiki. Harapan bahwa, meskipun kita sering gagal, masih ada kesempatan untuk kembali kepada jalan yang benar.
Tetapi harapan bukan sekadar perasaan. Ia adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.
Tadarus, jika ia hanya berhenti pada kata-kata, tidak akan mengubah apa-apa. Ia harus menjadi tindakan. Ia harus menjadi kesadaran. Ia harus menjelma dalam cara kita hidup, dalam cara kita memperlakukan orang lain, dalam cara kita memahami dunia.
ADVERTISEMENT
Ramadan, pada akhirnya, bukan hanya tentang menahan lapar. Ia adalah tentang bagaimana kita belajar membaca kembali—bukan hanya kitab suci, tetapi juga kehidupan itu sendiri.
Dan di dalam membaca itu, kita menemukan sesuatu yang lebih dalam: bahwa hidup, dengan segala kepedihan dan kebahagiaannya, adalah bagian dari perjalanan menuju yang abadi.