Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
5 Ramadhan 1446 HRabu, 05 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Ramadan: Sunyi yang Bersuara
1 Maret 2025 19:06 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramadan datang lagi. Seperti angin yang lembut, ia menyusup ke dalam hari-hari kita dengan ketenangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memberi ruang bagi kehadirannya.
ADVERTISEMENT
Di jalanan, spanduk besar mengucapkan selamat berpuasa. Di televisi, iklan sirup berlomba-lomba mengingatkan bahwa Ramadan, pada akhirnya, adalah tentang berbuka. Dan di media sosial, orang-orang mengunggah kutipan hadis, ayat-ayat Al-Qur’an, atau sekadar foto makanan sebelum imsak.
Tapi Ramadan, jika ia benar-benar ingin dihayati, adalah sesuatu yang lain. Ia adalah sunyi yang bersuara.
Dalam banyak hal, Ramadan adalah semacam latihan keheningan. Seorang Muslim yang berpuasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan dirinya dari amarah, dari perkataan yang sia-sia, dari godaan-godaan dunia yang setiap hari berseliweran di sekitarnya.
Dalam dunia yang penuh kebisingan—dengan berita yang tak henti-henti mengabarkan konflik, dengan media sosial yang setiap detik memuntahkan kata-kata tanpa jeda—Ramadan menawarkan sesuatu yang semakin langka: kesunyian yang penuh makna.
Kesunyian itu bukan sekadar diam. Ia adalah ruang untuk berpikir. Untuk mengingat kembali bahwa kita, manusia, bukanlah mesin yang sekadar bergerak dari satu tugas ke tugas berikutnya. Bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang lebih dari sekadar tubuh yang lapar saat siang dan kenyang saat malam.
ADVERTISEMENT
Ramadan, dalam sunyinya, mengajak kita untuk bertanya: siapa kita sebenarnya?
Tentu, puasa bukan sekadar menahan lapar. Sejak kecil, kita sudah diajarkan bahwa puasa adalah latihan pengendalian diri, bahwa ia bukan sekadar urusan perut, melainkan juga soal hati dan pikiran.
Tapi ada yang lebih dalam dari itu.
Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad berkata, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” Sebuah kalimat yang, jika direnungkan, lebih menohok dari sekadar ancaman siksa neraka.
Ia mengingatkan bahwa puasa bisa menjadi sekadar rutinitas, sesuatu yang dilakukan karena semua orang melakukannya. Sesuatu yang, tanpa kesadaran, kehilangan maknanya sendiri.
Kita mungkin berpuasa, tetapi apakah kita benar-benar menahan diri?
ADVERTISEMENT
Kita mungkin tidak makan dan tidak minum, tetapi apakah kita juga tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata kita?
Kita mungkin merasa ringan karena tidak ada makanan di perut, tetapi apakah kita juga membersihkan hati dari kebencian yang diam-diam kita pelihara?
Pertanyaan-pertanyaan ini, jika kita biarkan menggema dalam kesunyian Ramadan, mungkin bisa mengubah cara kita memaknai ibadah ini.
Ramadan juga tentang kesederhanaan.
Setiap tahun, kita melihat fenomena yang sama: harga bahan pokok naik, restoran-restoran penuh saat berbuka, dan mal-mal menawarkan diskon besar-besaran. Ramadan, yang seharusnya menjadi bulan pengendalian diri, justru berubah menjadi bulan konsumsi yang berlebihan.
Di saat siang, kita diajak untuk menahan diri. Tapi di saat malam, seolah-olah ada dorongan untuk membalas dendam.
ADVERTISEMENT
Kita melihat meja-meja yang penuh dengan makanan, lebih banyak dari yang sebenarnya kita butuhkan. Kita melihat antrean di restoran yang lebih panjang dari antrean di masjid. Kita melihat orang-orang membeli pakaian baru, meski lemari mereka masih penuh dengan pakaian yang bahkan belum sempat dipakai.
Di mana letak kesederhanaan dalam semua ini?
Jika Ramadan benar-benar ingin dihayati, maka ia seharusnya menjadi pengingat bahwa kita bisa hidup dengan lebih sedikit. Bahwa kita tidak perlu selalu mengejar lebih banyak, bahwa kepuasan tidak selalu datang dari apa yang kita konsumsi, tetapi dari apa yang kita lepaskan.
Barangkali ini sebabnya Ramadan juga disebut sebagai bulan zakat, bulan di mana kita diajak untuk berbagi. Bukan hanya karena ada kewajiban untuk membayar zakat fitrah, tetapi karena Ramadan sendiri mengajarkan bahwa manusia tidak diciptakan hanya untuk mengumpulkan, tetapi juga untuk memberi.
ADVERTISEMENT
Kita menahan lapar bukan hanya agar kita tahu bagaimana rasanya menjadi miskin, tetapi agar kita belajar untuk tidak menjadikan dunia ini sebagai pusat dari segalanya.
Dalam sunyi Ramadan, ada juga ruang untuk refleksi.
Dunia hari ini adalah dunia yang sibuk. Kita selalu bergerak, selalu mengejar sesuatu—entah itu pekerjaan, popularitas, atau validasi dari orang-orang yang bahkan tidak benar-benar kita kenal.
Ramadan, dalam segala kesederhanaannya, memberi kita kesempatan untuk berhenti.
Untuk bertanya: apakah yang kita kejar selama ini benar-benar berharga?
Apakah pekerjaan yang kita lakukan membuat hidup kita lebih bermakna?
Apakah hubungan-hubungan yang kita jaga benar-benar tulus, atau hanya demi status sosial?
Apakah doa-doa yang kita ucapkan selama ini berasal dari hati, atau hanya dari kebiasaan?
ADVERTISEMENT
Jika kita cukup berani untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur, mungkin Ramadan akan memberi kita sesuatu yang lebih dari sekadar rasa lapar.
Mungkin ia akan memberi kita pemahaman bahwa ada hal-hal yang harus kita lepaskan, dan ada hal-hal yang harus kita pegang lebih erat.
Mungkin ia akan memberi kita keberanian untuk memperbaiki sesuatu yang selama ini kita abaikan.
Mungkin ia akan memberi kita jalan untuk kembali, bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada diri kita sendiri.
Dan ketika Ramadan berlalu, ketika hari raya tiba dengan segala perayaannya, kita akan tahu apakah Ramadan benar-benar meninggalkan jejak dalam hidup kita.
Apakah kita keluar dari Ramadan sebagai seseorang yang lebih baik?
Atau apakah Ramadan hanya menjadi siklus tahunan, yang datang dan pergi tanpa benar-benar mengubah apa pun?
ADVERTISEMENT
Jawaban dari pertanyaan itu tidak bisa ditemukan di masjid-masjid yang penuh di malam-malam Ramadan. Tidak bisa ditemukan di meja-meja makan yang dipenuhi makanan berbuka. Tidak bisa ditemukan di postingan media sosial tentang ibadah kita.
Jawabannya ada di dalam diri kita sendiri.
Di dalam sunyi yang kita izinkan untuk berbicara.