Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Santun Berpolitik, Berpolitik Santun
2 Januari 2025 8:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Di era kontestasi politik modern yang penuh dinamika, istilah “politik santun” sering terdengar di ruang publik, tetapi penerapannya kerap menjadi paradoks. Santun berpolitik tidak lagi dipahami sebagai keutamaan, tetapi sekadar alat pencitraan yang melayani kepentingan pragmatis. Akibatnya, politik kehilangan esensinya sebagai seni mencapai kebaikan bersama (summum bonum), sebagaimana digagas Aristoteles. Artikel ini mengajak kita merenungkan kembali makna dan urgensi santun dalam berpolitik, bukan hanya sebagai praktik etika, tetapi sebagai strategi keberlanjutan demokrasi dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Kesantunan: Pilar Etika Politik
Kesantunan adalah cermin nilai kemanusiaan yang mengakar dalam tradisi kebudayaan kita. Dalam falsafah Jawa, konsep “tepa selira” mengajarkan penghormatan terhadap orang lain, meskipun berbeda pandangan. Kesantunan bukan sekadar soal bahasa yang halus atau gestur ramah, melainkan cara pandang yang menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek politik.
Politik tanpa kesantunan adalah politik yang kehilangan pijakan moralnya. Dalam konteks modern, kita melihat bagaimana retorika politik yang kasar dan agresif menciptakan polarisasi. Ini bukan hanya membahayakan kohesi sosial, tetapi juga menghancurkan fondasi kepercayaan antara rakyat dan pemimpinnya. Sebaliknya, kesantunan dalam politik memungkinkan terciptanya ruang dialog yang sehat, di mana perbedaan pandangan tidak berujung pada permusuhan, melainkan melahirkan solusi kolektif.
ADVERTISEMENT
Berpolitik di Tengah Krisis Moralitas
Jika kita mengurai akar persoalan politik hari ini, kegagalan terbesar bukanlah pada aspek teknokratis, tetapi moralitas. Pemimpin sering kali lupa bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada nilai-nilai kebaikan universal. Ketika politik kehilangan dimensi moralnya, ia berubah menjadi arena gladiator di mana yang terkuat, bukan yang paling bijaksana, yang bertahan.
Santun berpolitik bukan hanya soal bertindak jujur dan etis, tetapi juga bagaimana seorang pemimpin mampu menyerap aspirasi rakyat tanpa mengorbankan prinsip kebaikan. Dalam demokrasi, mayoritas memang menentukan arah, tetapi politik santun juga memastikan bahwa minoritas tetap mendapat perlindungan. Kebijakan yang diambil harus mencerminkan prinsip keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural.
ADVERTISEMENT
Antara Kesantunan dan Keberanian
Kesantunan sering kali disalahartikan sebagai kelemahan, terutama dalam dunia politik yang serba kompetitif. Padahal, kesantunan memerlukan keberanian yang luar biasa. Pemimpin yang santun adalah mereka yang mampu menahan diri dari godaan untuk menyerang lawan demi popularitas sesaat. Mereka adalah pemimpin yang tetap teguh pada prinsip meskipun menghadapi tekanan luar biasa.
Kesantunan juga menuntut keberanian untuk mengakui kesalahan. Dalam budaya politik kita, meminta maaf sering dianggap sebagai tanda kelemahan. Padahal, dalam politik santun, mengakui kekeliruan adalah bentuk penghormatan kepada rakyat. Dengan demikian, kesantunan adalah wujud keberanian untuk mengutamakan kebenaran di atas ego pribadi.
Ketika Politik Kehilangan Kesantunan
Politik yang kehilangan kesantunan akan menciptakan iklim yang berbahaya. Polarisasi yang tajam, ujaran kebencian, dan manipulasi informasi adalah produk dari politik yang mengabaikan etika. Sayangnya, fenomena ini semakin mengakar, terutama di era digital. Media sosial menjadi medan perang baru di mana politisi dan pendukungnya saling menyerang tanpa batas, sering kali dengan narasi yang destruktif.
ADVERTISEMENT
Ketika politik kehilangan kesantunan, rakyatlah yang menjadi korban utama. Polarisasi yang terjadi di tingkat elit akhirnya merembes ke masyarakat, menciptakan fragmentasi sosial yang sulit disembuhkan. Dalam jangka panjang, ini tidak hanya melemahkan demokrasi, tetapi juga menghancurkan kohesi sosial yang menjadi fondasi negara.
Menghidupkan Kembali Kesantunan
Kebangkitan kesantunan dalam politik tidak akan terjadi tanpa kesadaran kolektif. Pemimpin harus memulai dengan memberikan teladan. Dalam tradisi Ki Hadjar Dewantara, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” pemimpin adalah sosok yang memberi contoh di depan, menginspirasi di tengah, dan mendukung di belakang.
Namun, tanggung jawab ini tidak hanya ada di tangan pemimpin. Masyarakat juga memiliki peran penting. Ketika masyarakat lebih kritis dalam memilih pemimpin, yang mereka cari bukan hanya retorika santun, tetapi juga tindakan nyata yang mencerminkan integritas dan keberpihakan pada rakyat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pendidikan politik menjadi kunci. Kita perlu menanamkan nilai-nilai kesantunan sejak dini, bukan hanya dalam teori, tetapi juga dalam praktik. Sekolah, keluarga, dan komunitas harus menjadi ruang di mana nilai-nilai demokrasi yang santun diajarkan dan dipraktikkan.
Politik Sebagai Jalan Kemanusiaan
Santun berpolitik bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan mendesak untuk membangun bangsa yang bermartabat. Kesantunan tidak berarti kehilangan daya saing, tetapi justru menjadi strategi untuk membangun kepercayaan dan legitimasi jangka panjang.
Berpolitik santun adalah wujud penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, di mana kekuasaan bukan menjadi tujuan, tetapi alat untuk melayani. Jika kesantunan dapat kembali menjadi roh dalam politik kita, maka demokrasi akan tumbuh sebagai sistem yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan sekadar permainan para elit.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, politik santun adalah tentang menempatkan martabat manusia di atas segalanya. Inilah politik yang tidak hanya menciptakan perubahan, tetapi juga peradaban. Mari memulainya dari diri kita, dari langkah kecil, untuk menghidupkan kembali kesantunan sebagai nafas dalam kehidupan politik bangsa.