Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Senjakala Buruh, Senjakala Negeri
8 Maret 2025 15:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada yang berubah di Sukoharjo. Jalan-jalan yang dulu riuh oleh para buruh yang pulang kerja kini lebih lengang. Warung-warung di sekitar pabrik sepi pelanggan. Di dalam rumah-rumah kontrakan yang dulu penuh oleh suara pekerja yang berbagi kisah selepas shift malam, kini hanya ada bisik-bisik kekhawatiran.
ADVERTISEMENT
Di pabrik itu, mesin-mesin telah berhenti.
Sritex, yang selama bertahun-tahun menjadi simbol industri tekstil nasional, kini tinggal nama. Perusahaan yang pernah berdenyut dalam irama produktivitas, yang pernah menjanjikan stabilitas bagi ribuan buruh, kini hanya meninggalkan jejak langkah yang perlahan-lahan pudar.
Maret 2025, ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Mereka tidak hanya kehilangan gaji, tetapi juga kehilangan pegangan dalam hidup.
Negeri ini terlalu sering menyaksikan senjakala buruh. Dan seperti biasa, negara hadir terlambat, jika tidak sepenuhnya absen.
Dari Mesin ke Sunyi
Ada sesuatu yang ironis dalam setiap cerita PHK massal. Ia tidak terjadi dalam semalam, tidak datang secara tiba-tiba seperti bencana alam. Ia adalah proses yang lambat, hampir tak terasa, hingga akhirnya kita menyadari bahwa semuanya telah berubah.
ADVERTISEMENT
Sritex bukanlah korban pertama, dan hampir pasti bukan yang terakhir. Industri tekstil Indonesia telah lama menghadapi masalah yang sama: ketidaksiapan menghadapi gempuran impor, lemahnya perlindungan terhadap produk lokal, dan kebijakan ekonomi yang sering kali tidak berpihak kepada industri dalam negeri.
Tahun demi tahun, kita melihat bagaimana pabrik tekstil di Bandung mulai mati satu per satu. Bagaimana industri garmen di Tangerang tergerus oleh produk impor yang lebih murah. Dan kini, Sritex, yang dulu dianggap sebagai raksasa industri tekstil nasional, mengalami nasib yang sama.
Di balik setiap mesin yang dimatikan, ada tangan-tangan yang kehilangan pekerjaan. Di balik setiap pabrik yang tutup, ada keluarga yang harus mencari cara baru untuk bertahan.
Tapi di mana negara dalam semua ini?
ADVERTISEMENT
Negara yang Tidak Hadir
Setiap kali ada PHK massal, jawaban pemerintah selalu sama. Mereka akan bicara tentang pelatihan kerja, tentang digitalisasi, tentang bagaimana buruh harus beradaptasi dengan zaman.
Namun, jawaban itu sering kali datang terlambat.
Negara ini terlalu sering datang setelah segalanya terjadi. Setelah ribuan buruh kehilangan pekerjaan, setelah ekonomi lokal terguncang, setelah semuanya sudah terlanjur hancur.
Ada yang salah dalam cara kita memandang industri. Kita terlalu sering bicara tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi lupa bahwa pertumbuhan yang tidak menciptakan stabilitas hanya akan melahirkan ketidakpastian.
Sritex tumbuh besar di tengah arus globalisasi, tetapi tumbang di tengah ketidakberpihakan negara. Kita terlalu lama membiarkan pasar menentukan segalanya, tanpa benar-benar memberikan perlindungan bagi industri yang menopang jutaan pekerja.
ADVERTISEMENT
Di negara-negara lain, industri strategis mendapat perlindungan ketat. China, misalnya, memastikan bahwa sektor manufaktur tetap menjadi tulang punggung ekonominya. Bahkan negara-negara Eropa memiliki kebijakan yang tegas untuk melindungi industri lokal mereka.
Tapi di Indonesia, pabrik-pabrik tekstil seperti Sritex dibiarkan berjalan sendirian. Mereka harus menghadapi impor murah, ketidakpastian kebijakan, dan lemahnya dukungan negara.
Dan ketika mereka tumbang, negara hanya mencatatnya sebagai angka statistik.
Buruh yang Tak Punya Pilihan
Ada sebuah mitos yang sering kita dengar: bahwa buruh yang terkena PHK bisa dengan mudah mencari pekerjaan lain, bisa beradaptasi dengan zaman, bisa memulai usaha sendiri.
Mitos ini terus-menerus diulang dalam narasi resmi, seolah-olah kehilangan pekerjaan hanyalah bagian dari dinamika ekonomi yang wajar.
ADVERTISEMENT
Tapi mari kita lihat kenyataannya.
Seorang buruh Sritex yang telah bekerja selama 20 tahun, yang keahliannya adalah mengoperasikan mesin tekstil, kini harus memulai dari nol. Tidak ada jaminan bahwa ia bisa mendapatkan pekerjaan baru. Tidak ada kepastian bahwa ia bisa menghidupi keluarganya dalam beberapa bulan ke depan.
Buruh bukanlah angka dalam laporan ekonomi. Mereka adalah manusia yang memiliki kehidupan, tanggung jawab, dan harapan.
Dan ketika mereka kehilangan pekerjaan, itu bukan hanya tragedi pribadi. Itu adalah kegagalan kita sebagai sebuah negara.
Ketika Ekonomi Tak Lagi Berpihak
Dampak dari PHK massal tidak hanya dirasakan oleh buruh. Ketika ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, ekonomi lokal juga ikut terpukul.
Pasar tradisional kehilangan pembeli. Warung-warung makan kehilangan pelanggan. Transportasi lokal kehilangan penumpang.
ADVERTISEMENT
Krisis Sritex adalah contoh bagaimana kegagalan industri tidak hanya menghancurkan satu sektor, tetapi juga menghantam ekonomi secara keseluruhan.
Tapi anehnya, kita seperti tidak pernah belajar.
Kita terus membiarkan industri-industri lokal mati tanpa ada strategi nyata untuk mempertahankannya. Kita terlalu sibuk mengejar investasi asing, tetapi lupa bahwa industri dalam negeri juga membutuhkan perlindungan.
Dan inilah yang membuat senjakala buruh menjadi senjakala negeri.
Ketika ribuan buruh kehilangan pekerjaan dan negara tidak berbuat apa-apa, itu bukan hanya kegagalan kebijakan ekonomi. Itu adalah kegagalan moral.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kita tidak bisa terus-menerus menerima PHK massal sebagai sesuatu yang normal. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan jika kita benar-benar ingin melindungi buruh dan industri dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah harus segera membangun sistem perlindungan sosial yang lebih kuat bagi buruh yang terkena PHK. Tidak cukup hanya memberikan bantuan sementara. Kita membutuhkan sistem jaminan sosial yang benar-benar bisa membantu mereka bertahan.
Kedua, regulasi perdagangan harus lebih tegas dalam melindungi produk lokal. Kita tidak bisa terus membiarkan industri tekstil kita kalah bersaing hanya karena produk impor yang lebih murah.
Ketiga, ada kebutuhan untuk merestrukturisasi industri manufaktur nasional. Jika kita ingin tetap memiliki industri yang kuat, maka negara harus berani mengambil langkah untuk melindungi dan mendukung industri lokal.
Keempat, buruh yang terkena PHK harus mendapatkan akses yang lebih baik ke pelatihan kerja yang relevan. Pelatihan kerja tidak bisa sekadar formalitas. Harus ada program nyata yang bisa membantu mereka mendapatkan pekerjaan baru.
ADVERTISEMENT
Senjakala yang Belum Berakhir
Hari ini, Sritex hanyalah satu nama dalam daftar panjang pabrik yang tutup. Tapi jika kita tidak melakukan perubahan, daftar itu akan terus bertambah.
Senjakala buruh adalah cerminan dari senjakala negeri ini—sebuah negeri yang terlalu sibuk mengejar pertumbuhan, tetapi lupa bahwa pertumbuhan yang tidak menciptakan stabilitas hanya akan melahirkan lebih banyak korban.
Di Sukoharjo, di antara bangunan pabrik yang kini sunyi, ada ribuan buruh yang masih mencari jawaban.
Dan pertanyaannya tetap sama: apakah negara ini akan terus menjadi penonton, atau akhirnya akan belajar bahwa ekonomi yang adil bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang manusia?