Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Supremasi Hukum
19 Februari 2025 13:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di negeri yang konon berdiri di atas prinsip hukum, kita sering bertanya: apakah hukum benar-benar berdaulat, ataukah ia hanya menjadi alat yang lentur bagi kepentingan yang lebih tinggi? Supremasi hukum, sebuah istilah yang kerap diulang-ulang dalam pidato para pejabat dan dalam teks akademik, masih terasa seperti slogan kosong. Ia sering dikutip, tetapi jarang dihidupi.
ADVERTISEMENT
Dalam pengertian yang paling ideal, supremasi hukum adalah prinsip bahwa hukum harus menjadi otoritas tertinggi dalam kehidupan bernegara. Semua orang—tanpa kecuali, tanpa prerogatif khusus, tanpa hak istimewa yang diam-diam diakui oleh kekuasaan—harus tunduk pada hukum. Tak boleh ada peradilan yang berhenti pada batas tertentu karena seseorang terlalu berkuasa untuk disentuh. Tak boleh ada keadilan yang berat sebelah karena hukum hanya tegas terhadap yang lemah dan tumpul terhadap yang kuat.
Namun, kenyataan tak selalu bersesuaian dengan idealitas. Hukum seringkali tidak lebih dari aksara yang mati di dalam dokumen-dokumen negara. Ia terpenjara dalam pasal-pasal yang indah tetapi tak bertaring. Atau lebih buruk lagi, ia menjelma menjadi instrumen yang melayani kepentingan politik dan ekonomi, menjadi kendaraan bagi kekuasaan untuk bertahan.
ADVERTISEMENT
Ketika Hukum Tak Lagi Berdaulat
Sejarah memberi kita cukup banyak contoh tentang bagaimana hukum kehilangan supremasinya. Di negeri ini, kita melihat bagaimana korupsi bisa dijalankan dengan begitu sistematis dan bagaimana hukum kerap kali tampak seperti panggung sandiwara.
Ketika seorang petani mencuri setandan pisang karena lapar, hukum dapat bertindak cepat. Tapi ketika seorang pejabat mencuri miliaran rupiah dari uang rakyat, hukum tiba-tiba menemukan beragam alasan untuk melunak. Ada negosiasi di balik meja, ada pasal yang diinterpretasikan dengan longgar, ada putusan yang dibuat dengan pertimbangan yang hanya dimengerti oleh mereka yang berkepentingan.
Di sinilah hukum kehilangan maknanya. Ia bukan lagi penjaga keadilan, melainkan alat yang dipakai untuk menertibkan yang kecil dan melindungi yang besar. Supremasi hukum, dalam kondisi semacam ini, bukanlah kenyataan yang dapat dipercaya, melainkan mitos yang terus-menerus didaur ulang.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat bagaimana supremasi hukum melemah ketika putusan pengadilan lebih mencerminkan kompromi politik ketimbang keadilan yang objektif. Dalam kasus-kasus besar, ada kalanya hakim seakan dihadapkan pada pilihan antara menegakkan hukum atau mempertahankan posisi dan keselamatannya sendiri. Dan dalam banyak situasi, hukum hanya berjalan sejauh kepentingan politik mengizinkan.
Di negeri ini, politik lebih sering menjadi aktor utama dalam drama hukum. Hukum tak bisa berdiri sendiri; ia memerlukan perlindungan dari aktor politik yang lebih besar. Inilah yang membuat supremasi hukum lebih sering menjadi impian ketimbang kenyataan.
Kekuasaan di Atas Hukum
Banyak negara yang secara formal menganut prinsip supremasi hukum, tetapi dalam praktiknya dikuasai oleh hukum supremasi—hukum yang dibuat dan ditegakkan demi kepentingan penguasa.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihatnya dalam berbagai kasus yang berulang dari waktu ke waktu: bagaimana lembaga penegak hukum dapat dengan mudah digunakan untuk menargetkan lawan politik, bagaimana revisi undang-undang bisa dibuat secara kilat ketika kekuasaan merasa terancam, bagaimana lembaga-lembaga negara bisa tiba-tiba menjadi partisan ketika kepentingan politik bermain.
Ada saat-saat ketika hukum tampak tak lebih dari alat bagi yang berkuasa untuk memastikan posisinya tetap aman. Ketika sebuah undang-undang dibuat untuk mengontrol kebebasan berekspresi, ketika pasal-pasal tertentu digunakan untuk membungkam kritik, atau ketika aparat penegak hukum lebih sibuk mengurusi kasus-kasus yang beraroma politik ketimbang menangani kejahatan yang merugikan publik, maka kita tahu bahwa hukum tidak lagi memiliki supremasi sejati.
Hukum yang seharusnya netral menjadi partisan. Ia bukan lagi alat untuk menjaga ketertiban dan keadilan, tetapi menjadi instrumen untuk melayani kehendak mereka yang berkuasa. Dan pada titik itu, supremasi hukum hanya menjadi ilusi yang dipelihara oleh propaganda.
ADVERTISEMENT
Supremasi Hukum yang Sejati
Tapi apakah kita harus menyerah pada kenyataan ini? Apakah supremasi hukum hanyalah utopia yang tak mungkin diwujudkan?
Barangkali tidak. Setidaknya, ada momen-momen di mana hukum masih menunjukkan keberaniannya. Ada hakim yang tetap setia pada integritas meski di bawah tekanan. Ada jaksa yang menolak intervensi meski diancam dengan mutasi. Ada advokat yang berani membela kebenaran meski tahu bahwa risikonya adalah kehilangan karier, bahkan kebebasan.
Namun keberanian individual tak cukup. Supremasi hukum tidak akan tegak hanya dengan mengandalkan sedikit individu yang jujur. Ia membutuhkan sistem yang memungkinkan hukum berdiri di atas segala kepentingan politik dan ekonomi.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Pertama, hukum harus memiliki daya paksa yang benar-benar bekerja. Hukum tidak boleh menjadi sekadar teks yang hanya berlaku bagi mereka yang tak punya akses ke kekuasaan. Jika hukum bisa menjerat petani dan pedagang kecil, maka ia juga harus bisa menjerat oligarki dan pejabat tinggi yang bermain curang.
ADVERTISEMENT
Kedua, supremasi hukum harus memiliki ekosistem yang menopangnya. Ini berarti adanya institusi yang independen, yang tak bisa diintervensi oleh politik. Ini berarti adanya pers yang bebas, yang bisa mengawasi jalannya hukum tanpa takut dibungkam. Ini berarti adanya publik yang sadar hukum, yang tak mudah terperdaya oleh propaganda kekuasaan.
Ketiga, supremasi hukum menuntut keberanian kolektif. Keberanian untuk menolak kompromi yang merusak integritas hukum. Keberanian untuk melawan ketika hukum mulai dipermainkan oleh mereka yang berkuasa. Keberanian untuk mempertahankan keadilan meski taruhannya tinggi.
Supremasi hukum bukan sesuatu yang bisa terjadi dengan sendirinya. Ia bukanlah kenyataan yang akan muncul hanya karena kita mengulang-ulang istilah itu dalam pidato dan dokumen resmi. Ia harus diperjuangkan, ia harus dipertahankan, dan ia harus dilindungi dari tangan-tangan yang ingin menjadikannya sekadar alat kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Barangkali, pada akhirnya, supremasi hukum memang tak akan pernah sempurna. Akan selalu ada ketidaksempurnaan, akan selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang licik. Tapi selama kita masih percaya bahwa hukum adalah benteng terakhir bagi keadilan, maka kita tak boleh berhenti memperjuangkannya.
Sebab tanpa supremasi hukum, yang tersisa hanyalah kekuasaan yang telanjang—dan di bawah kekuasaan yang telanjang, tak ada yang benar-benar aman.