Krisis Iklim, Melihat Masa Depan Kopi dan BNI

firdauscahyadi
Firdaus Cahyadi. Direktur Yayasan SatuDunia. Konsultan knowledge management, monitoring dan evaluasi, analisis media untuk organisasi masyarakat sipil.
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2021 14:07 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari firdauscahyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/photos/TUJud0AWAPI
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/photos/TUJud0AWAPI
ADVERTISEMENT
Bila saat ini kita masih bisa mengawali pagi dengan secangkir kopi, maka bersyukurlah. Mungkin sebentar lagi itu akan menjadi sebuah kemewahan. Besok atau lusa, mungkin harga kopi akan mahal, karena pasokan yang makin berkurang. Ya, perubahan iklim membuat kopi akan menjadi langka.
ADVERTISEMENT
Apa kaitannya perubahan iklim dan kopi? Lembaga riset lingkungan hidup CIFOR (Center for International Forestry Research) memprediksi bahwa pada tahun 2050 jumlah lahan untuk tanaman kopi arabika akan berkurang hingga 80%.
Mungkin tidak perlu menunggu hingga 2050. Laporan IPCC di tahun 2021, yang diluncurkan awal Agustus ini, menyebutkan datangnya perubahan iklim makin cepat. Apa penyebabnya krisis iklim akan semakin cepat terjadi? Tak lain dan bukan karena penggunaan energi fosil yang masih merajalela, salah satunya adalah batu bara.
Bayangkan saja, data inventaris Gas Rumah Kaca Kementerian ESDM menunjukkan di tahun 2015 PLTU batubara menyumbang emisi sebesar 122.5 juta ton CO2e atau 70% dari seluruh emisi pembangkit listrik.
“Jika proyek-proyek batu bara ini terus didanai oleh perbankan, bencana ekologi akan lebih sering terjadi dengan durasi yang lebih lama dan intensitas lebih tinggi,” ungkap Koordinator Indonesia Team Leader 350.org Sisilia Nurmala Dewi, ketika mengawali diskusi dengan penulis beberapa waktu yang lalu. “Kini di berbagai belahan penjuru dunia, telah terjadi banjir, badai, gelombang panas yang menimbulkan korban jiwa. Sementara di Indonesia, berdasarkan data BNPB, di 2020 telah terjadi 2.925 bencana di Indonesia, yang didominasi bencana hidrometeorologi. Dengan rincian, kejadian banjir sebanyak 1.065 kejadian, angin puting beliung sebanyak 873 dan tanah longsor 572 kejadian.”
ADVERTISEMENT
Situasi ini akan makin buruk jika tidak ada aksi sekarang, lanjut Sisil, begitu ia akrab dipanggil. "Laporan lembaga Urgewald, yang berbasis di Jerman, menunjukkan BNI adalah satu di antara 6 bank Indonesia pemberi pinjaman ke perusahaan batu bara selama 2018-2020,” jelasnya. “Ironis, BNI yang katanya memiliki produk yang sesuai untuk anak muda, justru ikut serta membunuh masa depan anak muda”.
Cepat atau lambat, seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat, terutama kaum mudanya, BNI akan ditinggalkan nasabahnya bila tidak segera keluar dari pendanaan batu bara.
Dengan kata lain, menghadapi krisis iklim yang makin cepat datang, semua harus berubah. Cara produksi petani kopi harus berubah. Cara kita menikmati kopi pun mungkin harus berubah. Bukan hanya itu, cara BNI menyalurkan pendanaannya pun harus berubah. BNI tidak bisa lagi terus mendanai proyek-proyek energi kotor seperti batu bara, bila tidak ingin ditinggalkan nasabahnya.
ADVERTISEMENT