Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menimbang Gubernur Dipilih DPRD
31 Januari 2025 11:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firman Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo kembali melemparkan isu yang cukup reformatif, yakni soal keinginannya agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.
ADVERTISEMENT
Gagasan tersebut berangkat dari keresahan Presiden, melihat cita-cita reformasi untuk mengembangkan demokrasi lokal justru terjerumus pada politik kapitalistik di tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah tak ubahnya sebuah industri politik yang menuntut biaya yang mahal, diperlukan ongkos puluhan hingga ratusan miliar untuk sekali terlibat dalam perhelatannya.
Dilihat dari segi prosesnya yang menguras energi, harga dari sebuah pilkada langsung tidak serta merta sebanding dengan kapasitas kewenangan yang dimiliki suatu jabatan kepala daerah. Untuk jabatan kepala daerah tertentu, pilkada langsung dinilai terlampau inefisien untuk sekadar menghasilkan jabatan kepala daerah yang tidak secara langsung menjalankan fungsi otonomi. Dalam konteks kapasitas jabatan gubernur, misalnya.
Kepala Daerah Dipilih Secara Demokratis
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Jika digali original intent dari ketentuan tersebut, dalam risalah Perubahan Kedua UUD 1945, frase “dipilih secara demokratis” merupakan kompromi dari dua pendapat berbeda mengenai metode pemilihan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Pendapat pertama menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui DPRD. Bahkan para perumus amandemen dengan kata demokratis itu sebenarnya turut membuka ruang bagi diberlakukannya metode pemilihan demokratis lainnya, disesuaikan dengan dinamika kehendak, perkembangan masyarakat dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat daerah. Metode pemilihan kepala daerah yang diatur Pasal 18 merupakan kebijakan hukum terbuka, sepanjang didasarkan pada prinsip-prinsip yang demokratis.
Meski demikian, sejak 2005, desain pemerintahan daerah di Indonesia mengarah pada sistem pilkada langsung oleh rakyat, dengan disahkannya UU No 32/2004.
Pilihan pilkada langsung didasari atas pandangan bahwa pilkada langsung dianggap merepresentasikan derajat desentralisasi yang lebih tinggi, karena rakyat daerah dapat terlibat langsung untuk menentukan kepala daerahnya. Demikian pula, pilkada langsung dianggap menjadi sarana paling optimal agar semakin dekat pada cita-cita demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pilkada langsung memungkinkan terciptanya linkage antara elite politik dan masyarakat. Perkembangan di daerah-daerah dapat terlihat bahwa, selain Pemilu, Pilkada menjadi sarana di mana masyarakat berpartisipasi langsung dalam penentuan politik di daerahnya, setidaknya pada tahap elektoral ini. Dengan pilkada langsung, masyarakat daerah relatif mengetahui dan mengenal siapa kepala daerahnya. Satu linkage yang sulit diperoleh masyarakat ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Meski begitu, segala prospek manfaat yang ditawarkan sistem pilkada langsung, utamanya sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat, dalam perjalanannya selama 20 tahun ini justru menimbulkan beberapa ekses negatif. Pilkada menjadi beban bagi negara dan masyarakat; politik transaksional nyatanya justru berlangsung lebih masif, mahar partai politik menjadi suatu currency pencalonan, hingga kampanye yang mengeksploitasi tatanan sosial, budaya, ekonomi bahkan psikologi publik.
ADVERTISEMENT
Kembali Pada DPRD
Desain mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah merupakan aspek instrumental saja dari desain Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya, untuk menentukan bagaimana mekanisme pemilihan kepala daerah, harus dipahami terlebih dahulu desain rezim otonomi daerah di Indonesia itu sendiri.
Upaya evaluasi kritis harus dilakukan dengan melihat desain otonomi dari pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota. Mekanisme apa yang akan digunakan dalam pengisian jabatan kepala daerah akan ditentukan oleh pertanyaan dasar yaitu; dimanakah titik berat otonomi diletakkan?
UUD 1945 sebenarnya tidak menentukan secara tegas dimanakah titik berat otonomi itu diberlakukan, apakah pada level provinsi atau kabupaten-kota.
Namun demikian, jika digali dinamika pemikiran dalam risalah perumusan amandemen UUD 1945, tercermin semangat dari para perumus sebagaimana disampaikan Bagir Manan yaitu bahwa otonomi daerah yang didasarkan asas otonomi luas ditekankan pada tingkat kabupaten dan kota, bukan pada provinsi.
ADVERTISEMENT
Sebagai referensi, ia menyampaikan mengenai sikap Bung Hatta yang tidak sepakat dengan UU No 1/1957 yang memberikan otonomi kepada provinsi, bukan kepada kabupaten/kota. Bung Hatta bahkan marah-marah terhadap konsep otonomi pada provinsi, atas alasan bahwa tempat dan fungsi pelayanan pada masyarakat itu bukan pada provinsi, tetapi pada kabupaten-kota.
Penekanan otonomi seluas-luasnya pada tingkat kabupaten-kota pada gilirannya tercermin dalam desain UU No 22/1999, UU No 32/2004, hingga yang saat ini berlaku UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasca reformasi, pelaksanaan desentralisasi memang diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota. Sedangkan pemerintah provinsi dijalankan atas asas dekonsentrasi, yang membawa konsekuensi gubernur disebut-sebut sebagai wakil pemerintah pusat.
Secara konsep, desentralisasi lebih diartikan sebagai otonomi, yakni adanya kewenangan kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam dekonsentrasi, wewenang pemerintah provinsi diperoleh berdasarkan delegasi atau mandat pusat, sehingga mengandung implikasi bahwa kekuasaan gubernur bersifat kesatuan wewenang dengan pemerintah pusat. Dalam hubungan dekonsentrasi, urusan yang dikerjakan provinsi sejatinya merupakan urusan pusat.
Dalam pola tersebut, dibanding provinsi, maka pemerintah kabupaten/kota merupakan tingkatan pemerintah daerah yang sejatinya memiliki kewenangan yang didasarkan asas otonomi, menimbang kabupaten/kota memiliki linkage dengan masyarakat secara langsung.
Dengan titik tekan otonomi pada kabupaten/kota mengandung implikasi karenanya yang paling memiliki kepentingan konstitusional (constitutional importance) untuk menyelenggarakan pilkada langsung adalah pemerintahan kabupaten/kota. Gagasan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD tidak relevan diajukan pada kabupaten atau kota. Mengingat hal tersebut justru akan mengurangi kualitas (derajat) pelaksanaan desentralisasi dan otonomi yang diemban oleh kabupaten/kota itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, proposal pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi relevan dalam konteks pemilihan gubernur. Menimbang bahwa Jabatan gubernur didesain sebagai agensi pemerintah pusat, di mana fungsi gubernur sebenarnya cenderung merepresentasi kepentingan pemerintah pusat daripada entitas daerah otonom itu sendiri. Gubernur berperan dalam mengkoordinasi, memfasilitasi, mengawasi dan mengevaluasi pemerintahan kabupaten/kota sebagai aktor utama otonomi di wilayahnya. Maka dari itu, opsi gubernur dipilih DPRD mengandung derajat demokratis yang senilai dengan desain jabatan politik gubernur itu sendiri.
Hal penting yang perlu diingat bahwa legitimasi suatu pemerintahan atau pemimpin tidak melulu diperoleh melalui pilkada langsung, tetapi juga dapat dihasilkan melalui proses institusional yang sah dan diatur konstitusi. Dalam hal ini DPRD yang menurut UUD 1945 sebagai lembaga representasi dan pemegang mandat rakyat daerah itu sendiri.
ADVERTISEMENT