Konten dari Pengguna

Say No to Racism, Kita Sama-Sama Manusia!

Firtian Ramadhani
Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga.
16 September 2023 10:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firtian Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Racism, Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Racism, Pixabay
ADVERTISEMENT
Rasisme. Sistem teknologi yang semakin canggih, serta jejak digital di era sekarang sangat mudah untuk ditemukan. Perilaku sosial (social behavior) yang melekat dan dilakukan oleh manusia dapat secara langsung terekam dan secara mudah untuk dideteksi.
ADVERTISEMENT
Apalagi fitur sharing media sosial yang berguna untuk menemukan motif-motif pelanggaran masyarakat dalam waktu sesingkat mungkin pasti bisa tertangkap.
Melihat kecanggihan itu, seharusnya masyarakat bisa menyikapi dengan baik dan memanfaatkannya secara baik pula. Kemudahan seperti itu bisa meminimalisasi terjadinya kasus pembohongan, pelecehan publik, pencurian serta kasus-kasus lain yang bisa diangkat melalui media sosial. 
Negara Indonesia, memiliki sistem hukum yang cukup kuat, biasanya hukum dibuat bukan untuk ditakuti, tapi untuk dilanggar dan mendapatkan sanksi.
Beranjak dari pembicaraan itu, sejalan dengan kasus rasisme di kalangan dunia sepak bola Indonesia yang masih marak terjadi. Warga Indonesia dan pemain sepak bola lokal berasal dari berbagai macam pulau, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Pemain Persija Jakarta Rico Simanjuntak (kedua kanan) berusaha melewati Persib Bandung pada laga pertandingan Liga 1 2019, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Biasanya, kasus rasisme terjadi kepada masyarakat berkulit hitam dan putih, rambut keriting dan botak, serta postur tubuh yang kecil. Ujaran kebencian yang biasa dilakukan oleh suporter itu membuat Ketua Umum PSSI Erick Thohir geram. Pasalnya pemain sepak bola memang seperti itu, regulasi sepak bola di Indonesia juga mengizinkan pemain luar negeri untuk bermain di sini. 
ADVERTISEMENT
Merespons tanggapan Erick Thohir itu, Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Ferry Paulus mengatakan bahwa kasus rasisme tertuang dalam regulasi hukum ketentuan di Liga 1 2023 saat pertama kali diresmikan beberapa bulan yang lalu.
Lalu, regulasi itu berbunyi bahwa seseorang yang bertindak rasisme melalui media apapun akan ditindak secara tegas dan tidak diberikan toleransi. Muncul isu pula pelaku akan disidang di meja Komdis PSSI untuk diusut lebih lanjut.
Namun, alih-alih mengusut, saya merasa warga Indonesia khususnya PSSI masih memiliki rasa kasihan kepada orang-orang yang berkata rasis. Sejak kasus bek tengah PSM Makassar, Yuran Fernandes, yang pada laga melawan Persija Jakarta sempat berduel dengan Riko Simanjuntak dan tersorot media.
ADVERTISEMENT
Perkataan rasis banyak diungkapkan oleh warga negara Indonesia. Beraneka macam model sosialisasi juga kerap kali dilakukan oleh media-media official, namun kasus rasisme masih saja terulang di laga-laga lain.
Pertandingan PSM Makassar vs Dewa United di Liga 1, Sabtu (8/7/2023). Foto: Twitter @dewaunitedfc_
Walaupun aturan sudah tertuang dalam regulasi hukum, coba saja kita berpikir, mengapa kasus rasisme itu masih banyak terjadi dan sampai kapan akan terus berulang kali.
Sebagai orang lain saja, sebagai sama-sama warga Indonesia pasti akan merasa sakit hati walaupun tidak bersangkutan. Apalagi pihak keluarga atau sanak saudara yang mendengarkan perkataan itu, tidak pernah membayangkan betapa kesedihan yang menimpa. 
Kasus yang sama juga terjadi, baru-baru ini, laga Persebaya Surabaya melawan Borneo FC Samarinda. Ketika saat itu saya menonton langsung pertandingan di Stadion Gelora Bung Tomo merasakan sendiri seperti apa atmosfernya. Persebaya yang mulanya unggul 1-0 dari Borneo FC harus menelan skor imbang menuju penghujung babak pertama.
ADVERTISEMENT
Apalagi, gol dari Borneo FC berasal dari pemain Persebaya yang melakukan kesalahan. Setelah peluit ditiup tanda berakhirnya babak pertama, banyak ujaran kebencian dan rasisme kepada Yohanes Kandaimu, pemain Persebaya yang berasal dari Timur.
Mendengar hal seperti itu saya sungguh-sungguh merasa risih dan berpikir bahwa kesalahan yang dilakukan itu masih dalam kategori wajar, sebelumnya, Kandaimu juga banyak melakukan penyelamatan penting dari serangan lawan. 
Setelah laga selesai, saya mendengar kabar bahwa ada seseorang melalui media sosial yang berkata rasis kepada pemain. Bagaimana tidak semakin kesal, ia mengatakan pemain Persebaya dengan nama hewan, padahal seorang yang mengatakan itu belum tentu bisa bermain bola dan bermain sebagus Kandaimu.
Pertandingan Liga 1 2023/24 antara Persebaya Surabaya vs Borneo FC, Minggu (3/9/2023). Foto: Instagram @borneofc.id
Dengan jejak digital yang sangat canggih, pelaku berhasil ditemukan dan sempat viral di media sosial Instagram, pelaku juga ditunggu untuk mendatangi mess Persebaya yang tidak salah bertempatkan di Tambaksari.
ADVERTISEMENT
Tidak lama kemudian, pelaku pun mendatangi mess dan saya memperoleh informasi bahwa pelaku sudah meminta maaf. Mengingat perkataan yang diungkapkan belum lama setelah pertandingan itu, mengapa dia harus menyamakan manusia dengan hewan yang pada akhirnya berujung meminta maaf. 
Patut ditunggu, apakah dengan kasus ini, PSSI bisa benar-benar mengusut tuntas dan Persebaya bisa melaporkan kejadian ini. Jika tidak, saya rasa kejadian perkataan rasisme akan terus berkelanjutan di laga-laga lain dan tidak hanya di sepakbola saja.
Akan tetapi, bilamana kasus ini benar-benar diselesaikan, tentu masyarakat Indonesia tidak mengulang hal yang sama dan akan mengurangi tindakan rasisme.
Maka dari itu, jika memang suporter atau pendukung kesal dengan pemain, suporter bisa mengkritik pemain untuk membangun, bukan untuk merendahkan dengan perkataan rasisme. Pemain pasti akan terbangun motivasi bila apa yang diberikan itu sebuah kritikan, bukan sebuah ujaran. 
ADVERTISEMENT